Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 22)
Robert mengerutkan dahi, menoleh pada Daniel. Dia mencolek lengannya lalu berbisik, “segawat itukah?” Daniel hanya mengangguk. Keduanya lalu berbisik-bisik.
“Apa perlu minta bantuan …,” tanya Robert sangat khawatir.
“Jangan terlalu ramai! Nama baik juga harus dilindungi. Terlalu banyak yang mengetahui, masalah akan semakin terbuka. Lebih sulit menanganinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Robert, Daniel, aku pamit, urusan perusahaan kuserahkan pada kalian,” kata Barman pamit.
Robert dan Daniel mengantar sampai lobi. Keduanya menunggu hingga Barman berangkat. Kepada Sekuriti Robert menanyakan, anggota direksi yang masih di kantor.
“Sepertinya belum pada pulang, Tuan” jawab sekuriti dengan sikap tentara.
Keduanya langsung masuk lift menuju ruang kerjanya. “Dan, aku mau ke Direktur Keuangan, untuk memblokir semua rekening atas nama Toni, sementara dialihkan atas nama Ko Barman.”
“Sebaiknya memang begitu! Aku heran bisa-bisanya Toni seperti kerbau dicucuk hidungnya!” kata Daniel sambil geleng kepala sambil mengeluarkan napas dalam keluhan.
“Sepertinya memang ada sesuatu mengendalikannya,” gumamnya lirih.
***
Langit malam sudah gelap saat Barman akhirnya tiba di rumahnya. Hatinya penuh kecemasan, berdebar tak karuan setelah mendengar peringatan dari Mpek An Cong. Dia tidak pernah membayangkan Toni bisa terjerat dalam permainan sihir Erlika, apalagi sampai membahayakan keluarganya. Saat keluar dari mobil, dia melihat Ninit berdiri di depan pintu rumah dengan wajah penuh kecemasan.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Mah?” tanya Barman setelah turun dari mobil dan menghampiri istrinya.
Ninit memeluk Barman erat-erat. “Aku tidak tahu, Pah. Tapi ada yang tidak beres dengan diriku,” katanya tersendat lalu menangis.
Keduanya lalu duduk di sofa ruang keluarga. Sambil menahan tangis, Ninit berkisah saat suaminya berada di Semarang.
“Saat Papah tidak di rumah, Isah selalu menanyakan ketidak sukaanku pada Ratih. Aku selalu menjawab tidak. Aku memang merasa tidak seperti itu.”
“Terus …?” tanya Barman serius.
Ninit menangis sesenggukan. Dia menceritakan apa yang terjadi hari ini. “Tadi, Mas … tadi … Mamah tidak sadar menyiksa Ratih dengan ikat pinggang Toni, tubuh dan kaki serta tangan lebam-lebam, Dan tadi Ratih … Aaah, Pah, kenapa aku begini?”
Jeda sebentar untuk membersihkan hidung. Barman terkejut sekali sampai melebarkan mata dan membuka mulut tidak bisa bicara. Istrinya yang periang dan penyayang bisa sesadis itu kepada menantu kesayangannya.
“Sekarang Isah menjaganya, tapi keadaannya makin memburuk. Aku takut, Mas. Ratih terus meracau dalam tidurnya, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya,” pungkasnya.
“Anak itu tidak pernah mengeluh. Dia memendam semua yang menimpa dirinya. Kesedihan diabaikan Toni, dan sekarang kamu malah menyiksanya! Ratih mengalami depresi berat.”
Barman menghela napas panjang. Dia sedikit menyesal kurang memperhatikan menantunya. Dia tahu ini pasti ulah Erlika. Entah dukun sakti mana yang dia bayar. Seiring waktu, kekuatan jahatnya semakin menyebar dan memengaruhi orang-orang di sekitar Toni.
“Mpek An Cong sedang mencoba mencari Toni,” kata Barman. “Aku harap kita tidak terlambat.”
Malam itu, mereka semua duduk berjaga di kamar Ratih. Isah terus berzikir jika lelah matanya membaca ayat-ayat al-Quran. Ninit juga khusuk menghitung biji-biji tasbihnya dalam zikir. Barman menekuni al-Quran meskipun masih terbata-bata.
Wajah Ratih pucat pasi, tubuhnya tampak lemah dan kesakitan. Setiap kali ia bergerak, peluh dingin membasahi dahinya, bibirnya mendesis menahan sakit. Kadang dia meracau mengucapkan kata-kata yang tak bisa dimengerti.
Ninit dan Isah terus berada di sampingnya, mengusap lembut rambutnya dan menggumamkan doa-doa pelindung. Air mata Ninit tak habis-habisnya mengalir dari sudut-sudut matanya. Namun, keheningan malam yang mencekam tidak membawa ketenangan bagi siapapun di rumah itu.
Di tempat lain, Mpek An Cong berusaha dengan keras untuk melacak keberadaan Toni. Dengan kekuatan batinnya, ia sudah memerintahkan beberapa orang untuk mencari Toni di vila, tetapi sampai sekarang Toni belum ditemukan. Suasana di sekitarnya begitu mencekam, seolah-olah ada energi gelap yang menutupi segala gerak-geriknya. Namun, Mpek An Cong tahu ia tidak boleh mundur.
Di tengah-tengah meditasinya, bayangan Toni muncul samar-samar. Toni tampak duduk di suatu tempat yang gelap, wajahnya kusut tertunduk seperti tak berdaya. Seolah ada tali tak terlihat yang mengekang tubuh dan pikirannya
Dukun itu semakin kuat, gumam Mpek An Cong dalam hati. Dia merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar guna-guna biasa. Ini bukan hanya urusan asmara, tapi sudah melibatkan kekuatan gaib yang berusaha menghancurkan seluruh hidup Toni, bahkan keluarganya. Mpek tahu dia harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat.
Keesokan paginya, Mbok Isah sedang sibuk melaksanakan tugas sehari-hari, Barman sedang di kamar mandi, dan Ninit menyiapkan baju ganti, Ratih terbangun dengan kepala terasa berat. Tubuhnya lemah, namun ada sesuatu yang lebih mengerikan. Pandangannya kabur dan seluruh tubuhnya merasakan hawa dingin yang menusuk. Beberapa saat dia duduk di bibir tempat tidur. Sementara kedua mertuanya menuju ruang makan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya