Novel: A Way to Find You (Part 20)

Novel: A Way to Find You (Part 22)
Novel: A Way to Find You (Part 22)

Sebelumnya: A Way to Find You (Part 19)

***

BAB 20

 

Tenggorokan Giska seolah tersekat. Secepat kilat ia berlari menghampiri sang suami. “Mas udah sadar?” tanyanya lirih. Air mata menggenangi sudut-sudut matanya.

Bima, masih dengan tatapan penuh kebingungan, balik bertanya, “Emangnya aku kenapa? Bukannya tadi kita baru tidur di tenda?”

Giska menangkup kedua pipi Bima. Terasa hangat, begitu pun dengan kedua tangannya. Warna di kulit wajah lelaki itu juga telah kembali. Matanya sudah tampak fokus. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa Bima baru saja jatuh sakit. Semuanya menghilang begitu saja bagaikan mimpi.

“Mas Bima pusing? Rasanya dingin, nggak? Badan kamu sakit, nggak? Apa ada yang nggak nyaman?”

“Nanyanya satu-satu, dong,” sahut Bima dengan kening berkerut. “Aku baik-baik aja, kok. Sehat bugar gini.”

“Nggak mungkin,” desis Giska. Siapa pula yang akan percaya setelah melihat kondisi lelaki itu semalam? Untuk bangkit duduk saja ia harus dibantu. Mana mungkin bisa tiba-tiba sehat seperti ini?

Bima makin bingung melihat istrinya mendadak terisak. “Hei, Gis, kamu kenapa? Kok nangis?”

“Mas, kamu … kamu sakit. Kamu … keluar, terus … ilang … aku khawatir.”

Bima tidak memahami perkataan Giska. Ia pun memeluk perempuan itu untuk menenangkannya dulu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia ingat adalah ia sedang tidur bersama Giska di tenda. Lalu, kenapa tiba-tiba mereka sudah ada di basecamp?

“Udah, dong, nangisnya,” pinta Bima lembut. Ia mendongakkan wajah sang istri dan mengusap air matanya. “Malu, tuh, diliatin orang.”

Giska pun berhasil meredakan isakannya. Bima memintanya untuk minum dulu agar benar-benar tenang. “Udah? Sekarang, coba cerita ke aku, apa yang terjadi semalem,” kata lelaki itu.

Giska menceritakan secara runtut apa yang mereka alami semalam, mulai dari saat ia terbangun karena mendengar suara gamelan, sampai bagaimana mereka turun dengan dibantu oleh Rizki, Gilang, dan Malik. Bima mendengarkan penuturan istrinya dengan wajah tak percaya.

“Mas Bima ngapain, sih, keluar malem-malem, gitu?” Omelan yang telah ditahan oleh Giska sejak malam tadi kini berhasil ia suarakan. “Nggak pakai jaket, lagi. Di atas, kan, dingin banget.”

“Tapi, aku nggak ke mana-mana, Gis. Sumpah,” bantah Bima. “Aku nggak ngerasa keluar dari tenda. Orang aku tidur lelap gara-gara kecapekan.”

“Kebelet pipis, mungkin.”

“Ya, kalau kebelet pasti aku sadar, dong.”

“Atau mimpi?”

“Aku nggak pernah sleep walking, kamu tahu sendiri, kan?

“Lah, terus?”

Keduanya berpandangan dengan bingung. Mereka sama-sama tak mengerti apa yang terjadi. Ada banyak sekali kejanggalan dalam pengalaman mereka kali ini. Yang pertama, Giska mendengar suara gamelan di atas gunung. Yang kedua, Bima tidak sadar ia berjalan keluar dari tenda. Dan yang paling mengherankan adalah bagaimana bisa lelaki itu jatuh sakit, lalu tiba-tiba sembuh dengan sendirinya.

‘Ada yang nggak beres,’ pikir keduanya berbarengan. Setelah diam sejenak, Bima pun bertanya, “Terus, sekarang gimana?”

“Kita pergi,” putus Giska. “Kita harus turun dari sini dan cari tempat yang lebih anget. Kamu harus periksa ke dokter, pokoknya.”

“Yah, kita nggak jadi summit, dong, hari ini?” kata Bima dengan nada kecewa.

Giska langsung memukul lengan lelaki itu. “Bisa-bisanya kamu masih mikirin puncak di kondisi kayak gini?”

Bima terkekeh pelan. Ia mengusap kepala sang istri dengan halus. “Iya, maaf. Kamu pasti khawatir banget, ya?”

“Bukan khawatir lagi, Mas. Aku hampir gila, tahu, nggak?” gerutu Giska. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Bima. “Tapi, kamu beneran nggak pa-pa?”

“Serius, aku sehat, Gis. Kamu mau aku lari ke Gapura Rahayu buat buktiin?”

“Jangan gila!” Giska kembali menggerutu sambil memukul lengan suaminya. Setelah sekali lagi memeriksa kondisi Bima, ia baru yakin bahwa lelaki itu memang baik-baik saja. “Ya udah, kita kemas-kemas sekarang. Kamu nggak usah mandi dulu, Mas. Cuci muka sama gosok gigi aja.”

Lima belas menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil. Giska yang menyetir karena khawatir Bima tiba-tiba kehilangan fokus lagi di tengah jalan. Di sebuah SPBU, keduanya berhenti untuk mencari informasi tentang klinik atau rumah sakit terdekat.

“Tuh, kan? Aku beneran sehat, Gis,” kata Bima usai pemeriksaannya selesai. Dokter sudah mengecek kondisinya, termasuk suhu tubuh, detak jantung, dan tekanan darah. Semuanya normal.

“Iya, syukurlah kalau gitu.” Giska tersenyum lega. “Kita cari penginapan aja sekarang. Karena udah kesorean, nggak mungkin kita mendadak pesen tiket bus.”

“Berarti tetep pulang besok, kan? Gimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke Dieng?”

“Kita lihat kondisi kamu dulu. Kalau emang beneran sehat, kita berangkat. Dokter, kan, tadi bilang kamu harus banyak istirahat, Mas.”

Bima menggerutu, bersikeras bahwa ia bukan pasien yang sedang sakit. Namun, Giska tidak menanggapi. Kesehatan suaminya adalah prioritas utama. Ia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa pada belahan jiwanya tersebut.

***

Akhirnya, pasutri itu tiba kembali di rumah. Kekhawatiran Giska tidak terbukti. Sampai mereka pulang, Bima tetap sehat dan bugar. Semua pengalaman buruk hari kemarin seakan tidak pernah terjadi. Rasa heran masih menggelayut di hati, tapi Giska lebih memilih untuk bersyukur. Yang penting, suaminya tidak kenapa-napa.

Karena hari itu hari Minggu, keduanya menghabiskan waktu untuk tidur dan beristirahat. Giska yang biasanya rajin mengurus pekerjaan tanpa kenal waktu juga tidak menyentuh media sosialnya sama sekali. Ia kelelahan bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.

Malam belum terlalu larut. Keduanya baru saja selesai makan malam bersama dan tengah menonton televisi di ruang bawah. Seharian ini, Giska terus menempeli sang suami seolah tidak mau terpisah barang sebentar dengan lelaki itu.

Mereka duduk saling berdempetan di atas sofa. Giska menyandarkan tubuh di dada Bima, menikmati kenyamanan penuh yang ditawarkan oleh sang suami. Satu tangan Bima tiba-tiba berpindah menuju paha Giska. Jemarinya mengelus kulit istrinya dengan gerakan menggoda, kemudian mulai memijatnya lembut.

“Geli, ah, Mas!” Giska terkikik menahan gelenyar geli di pahanya.

“Orang cuma mijitin,” kilah Bima santai. Bukannya berhenti, kali ini ia justru berpindah naik ke dada sang istri.

“Oo, mulai nakal, nih. Tiba-tiba banget mijitin dada aku.” Giska pura-pura mengomel, padahal jantungnya mulai berdebar penuh antisipasi. Ia tahu persis ke mana arah yang dituju suaminya itu.

Bima tersenyum tanpa dosa. Ia menundukkan kepala dan mulai menciumi sisi wajah istrinya. “Hadap sini, dong,” pintanya.

“Aku belum sikat gigi, Mas. Cium pipi aja, ya.”

“Emang mulut kamu bau? Coba sini, aku cek.”

Bima menangkup pipi Giska dan menghadapkan wajah perempuan itu ke arahnya. Tanpa aba-aba, ia mengecup bibir sang istri. “Nggak bau, kok,” ucapnya dengan seringai jahil. “Coba, lagi.” Sekali lagi, ia mendaratkan bibirnya di bibir Giska, kali ini lebih lama. “Beneran, mulut kamu wangi. Wangi bawang maksudnya.”

Tawa Bima pecah melihat raut wajah istrinya yang berkerut kesal.

“Orang tadi aku cuma makan roti! Masa bau bawang?” protes Giska.

Bima menangkap tangan sang istri yang sudah akan mendaratkan pukulan di dadanya. Masih sambil tertawa, ia menarik perempuan itu mendekat. “Nggak, nggak. Cuma bercanda. Yaelah, gitu aja ngambek.”

Bima mengangkat tubuh Giska dan memosisikan perempuan itu di pangkuannya. Tanpa perlu bertukar kata, pasutri itu secara naluriah saling menautkan bibir mereka. Hasrat yang telah lama terpendam kini meluap keluar. Apa yang telah tertahan selama ini menuntut untuk dibebaskan.

Bima melumat bibir istrinya nyaris tanpa jeda. Ia pun bangkit berdiri sambil membawa Giska dalam gendongannya. “Ke kamar tamu aja, ya,” bisiknya di sela ciuman mereka.

Giska hanya mengangguk. Kepalanya telah tertutup oleh kabut gairah. Ia tidak peduli ke mana pun Bima membawanya, asalkan mereka bisa menyalurkan rindu yang menggebu. Sekarang, ia tidak perlu khawatir lagi akan adanya penolakan. Ia yakin hubungan mereka sudah baik-baik saja.

Lewat tengah malam, Giska terbangun karena haus. Kerongkongannya terasa kering kerontang. Saat bangkit duduk, ia mengernyit menahan nyeri di punggung dan pinggang belakangnya. Entah berapa kali ia dan Bima melakukannya tadi. Sang suami benar-benar membuatnya kewalahan. Api gairahnya seolah tidak padam-padam. Kini, setelah puas mengarungi samudra kenikmatan, lelaki itu tertidur lelap dengan wajah tak berdosa.

Giska meraih kaus Bima yang tergeletak di ujung kasur. Ia tidak melihat lokasi bajunya sendiri, jadi ia memakai kaus sang suami untuk menutupi tubuhnya. Dengan langkah terseok, perempuan itu berjalan menuju dapur. Segelas air putih dingin mengguyur kerongkongannya, membuatnya mendesah lega.

Giska sudah akan meneguk gelas kedua. Namun, tangannya terhenti di udara saat tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Perempuan itu langsung menajamkan telinga. Di tengah kesunyian malam, samar-samar Giska menangkap ada suara gemerincing, seperti lonceng-lonceng kecil yang bergoyang. Arahnya dari luar rumah, di jalanan kompleks. Suara tersebut disusul dengan suara tapak sepatu kuda yang saling bersahutan.

‘Kok, kayak ada suara delman di depan?’ Giska mengerutkan kening. Mana mungkin ada delman yang masuk ke dalam perumahannya tengah malam begini?

Semakin lama, suara itu terdengar semakin jelas. Terakhir, Giska mendengar suara ringkikan kuda yang berhenti tepat di depan rumahnya. Setelah itu semuanya mendadak hening. Karena tidak bisa menahan rasa penasaran, Giska pun melangkah ke pintu depan.

‘Lho? Sepi?’ batinnya heran saat ia mengintip melalui jendela di sebelah pintu utama. Area depan rumahnya kosong melompong. Tidak ada delman atau apa pun di luar sana. Suara-suara tadi juga sudah menghilang. Giska memutuskan untuk bertanya pada satpam kompleks besok pagi.

Baru saja ia membalikkan badan hendak kembali ke dapur, ia merasakan embusan angin menerpa punggungnya. Angin tersebut cukup kencang hingga membuat rambutnya berkibar ke depan. Namun, lagi-lagi, hilang sama sekali setelah hanya berembus satu kali.

Giska celingukan ke depan dan belakang. Dari mana datangnya angin itu? Rumahnya dalam keadaan tertutup rapat. Tidak mungkin angin sekencang itu masuk dari ventilasi kecil yang ada di dinding atas. Kipas besar yang terpasang di langit-langit ruang tamu juga dalam keadaan mati.

Giska pun mengubah tujuan. Yang tadinya ia ingin minum lagi di dapur, sekarang langsung berjalan menuju kamar. Hatinya kembali tenang begitu melihat sang suami. Lelaki itu masih nyenyak dengan kondisi bertelanjang dada. Giska membenahi posisi selimut mereka sebelum berbaring di sebelah Bima.

Tidak ada yang tahu bahwa malam itu, entitas tak dikenal telah hadir di rumah mereka.

***

Selanjutnya: A Way to Find You (Part 21)