Sebelumnya: A Way to Find You (Part 18)
***
Novel: A Way to Find You (Part 19)
BAB 19
Bukan tugas yang mudah untuk menggendong seseorang bertubuh tinggi dan besar, apalagi sambil menuruni gunung. Rizki sempat kewalahan saat harus berjalan turun sambil membawa Bima di punggungnya. Namun, ia tidak mengeluh. Teman-temannya juga bergantian membantu memegangi saat ia hampir kehilangan keseimbangan.
Hari sudah terang benderang saat mereka tiba di sebuah area camp bernama Watu Talang. Area ini terletak di antara pintu masuk Gajah Mungkur dan pos dua. Keempat orang itu memutuskan untuk beristirahat dulu. Mereka sudah berjalan kurang lebih dua setengah jam.
“Sarapan mi instan aja, ya, biar cepet,” kata Gilang yang tengah menyiapkan peralatan memasak dibantu oleh Giska. Teman-temannya mengangguk setuju. Mereka tidak bisa berlama-lama. Cuaca hari ini sepertinya tidak akan secerah kemarin. Kalau sampai turun hujan, mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan. Akan sangat berbahaya bagi Bima yang memiliki gejala hipotermia apabila tubuhnya basah.
Bima dibaringkan di atas tikar yang telah disiapkan oleh Malik. Rizki langsung meregangkan otot-otot tubuhnya. Untuk sejenak, ia bisa bernapas sebelum kembali melanjutkan tugas mulianya.
“Sini, Mbak, biar saya yang bantu masak. Mbak Giska nemenin Mas Bima aja,” kata Malik. Ia pun mengambil alih pisau di tangan Giska dan meneruskan tugas memotong daun bawang. “Mbak mau teh? Atau kopi?”
“Teh panas aja buat Mas Bima.”
“Oke.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Giska berjalan menyusul sang suami. Bima tengah berbaring telentang berbantalkan jaket entah milik siapa. Kedua mata lelaki itu terbuka sayu dan menatap kosong ke langit. Bibirnya terlihat pucat. Kondisi itu membuat Giska kembali khawatir.
“Mas, tahan dulu, ya. Nanti begitu sampai bawah, kita langsung ke rumah sakit.” Giska menahan agar air matanya tidak tumpah. Ia memijat lembut tungkai lengan dan kaki sang suami. Berulang kali ia juga memeriksa suhu tubuh lelaki itu.
“Mas, bisa jalan nggak?” tanya Rizki yang tiba-tiba sudah berjongkok di dekat pasutri itu. “Kalau bisa, kita jalan sebentar biar tubuh tetep anget. Keliling area sini aja.”
“Ah, bener.” Giska langsung berdiri. “Tolong bantu saya, Mas.”
Berdua dengan Rizki, Giska memapah Bima untuk berjalan di sekeliling area camp. Mereka mencari tanah yang agak datar agar Bima tidak terlalu lelah. Keringat yang membasahi pakaian justru akan menambah rasa dingin. Mereka sangat berhati-hati menjaga suhu tubuh Bima tetap stabil.
Setelah beristirahat hampir satu jam lamanya, mereka pun melanjutkan perjalanan. Di dekat mata air tempat Bima dan Giska berhenti kemarin, jalan yang tadinya menurun kini berubah menjadi tanjakan. Mereka menyusun strategi bagaimana caranya membawa Bima naik.
“Kalian naik dulu, taruh carrier di atas, abis itu turun bantuin aku,” perintah Rizki.
Giska menyaksikan perjuangan para penolongnya itu dengan berlinang air mata. Di saat ia tak berdaya seperti ini, Tuhan mengirimkan bantuan yang luar biasa baginya dan sang suami. Tak henti-henti ia mengucapkan terima kasih pada para pemuda tadi.
Mereka akhirnya berhasil membawa Bima melewati tanjakan tersebut. Di atas, mereka berhenti untuk mengambil napas sejenak sebelum lanjut berjalan.
“Mbak, Mbak Giska ini artis, ya?” tanya Gilang penasaran. “Kok, kayaknya saya pernah lihat wajah Mbak di mana gitu.”
Giska tersenyum. “Saya beauty vlogger, Mas.”
“Oalah, pantes nggak asing!” Gilang menepuk tangannya satu kali. “Yang punya channel ‘Putri Bethari’, kan? Mbak Anggiska? Pacar saya sering nontonin Mbak, lho! Gara-gara Mbak Giska, sekarang pacar saya jago make up.”
“Oh, ya?” Giska tertawa tulus dari hati. Perasaannya jadi sedikit ringan. Ia selalu merasakan hangat dalam dada setiap kali bertemu langsung dengan orang-orang yang mengapresiasi karyanya. “Salam buat pacar kamu, ya.”
Gilang mengangguk. “Nanti saya minta foto bareng, ya, Mbak. Mau saya pamerin ke doi.”
“Iya, boleh.”
Setibanya di pos dua, mereka kembali beristirahat. Gilang menawarkan diri untuk ganti menggendong Bima karena jalur sudah tidak se-ekstrem tadi.
“Kita usahain sampe Gapura Rahayu sebelum zuhur. Kayaknya kalau kesiangan keburu ujan,” kata Malik. Ia pun mengomando teman-temannya untuk kembali berjalan.
Beruntung, mereka tidak menemui kendala yang berarti dalam perjalanan turun. Beberapa pendaki yang berpapasan dengan mereka bertanya apa yang terjadi. Mereka pun turut mendoakan keselamatan Bima sampai ke bawah nanti.
Akhirnya, Gapura Rahayu sudah terlihat di depan mata. Mereka semua mengembuskan napas penuh rasa syukur. Sambil menunggu ojek datang, keempat orang itu duduk meluruskan kaki dan berusaha meredakan lutut yang gemetar. Saat ojek datang, Rizki dan Gilang membantu Bima naik ke boncengan.
“Mas, ini masnya lagi sakit. Tolong, bawa motornya pelan-pelan aja, ya,” pinta Rizki pada abang ojek. Ia pun meminta izin untuk mengikatkan syal di tubuh Bima dan si tukang ojek agar Bima tidak jatuh. Empat ojek yang lain pun ikut berjalan pelan di belakang.
“Itu masnya kenapa, Mbak?” tanya abang ojek yang memboncengkan Giska. Karena motor melaju tidak terlalu kencang, mereka bisa mengobrol santai.
“Itu suami saya, Mas. Semalem, dia tiba-tiba keluar dari tenda dan sempet ilang satu jam lebih. Kayak orang nggak sadar gitu.” Giska pun menceritakan kisah yang mereka alami semalam, termasuk perjuangan mereka turun bersama ketiga pemuda asal Solo itu.
“Wah, lebih baik dibawa ke orang pinter, Mbak. Kayaknya, mas itu ada yang ganggu. Takutnya dia ketempelan sesuatu,” saran si tukang ojek.
Giska tersenyum kecut. Sejujurnya, dari dulu ia tidak begitu memercayai hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib. Ia selalu berpikir bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa dijelaskan dengan akal dan logika. Ia lebih percaya bahwa Bima sedang dikendalikan alam bawah sadarnya saat keluar dari tenda semalam. Daripada memercayai orang yang tidak jelas ilmunya, lebih baik ia membawa Bima ke dokter. “Maaf, tapi saya nggak percaya gitu-gituan, Mas.”
“Banyak orang bilang begitu karena emang belum ngalamin sendiri, Mbak. Saya cuma kasih saran aja sebelum terlambat,” sahut si tukang ojek. “Gunung itu tempat keramat, tempat yang asing dari kehidupan manusia. Kami percaya bahwa di sana adalah pusat jagat lelembut, sama seperti pantai dan samudra. Kalau orang punya kelebihan, biasanya mereka lihat di gunung-gunung atau lautan itu ada yang namanya kerajaan gaib.”
Giska hanya manggut-manggut. Ia tetap menghargai kepercayaan orang meski ia sendiri tidak percaya. Giska memaklumi karena orang-orang ini memang hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat-istiadat. Mereka masih menganut ajaran nenek moyang dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau Mbaknya asli mana?” tanya si tukang ojek lagi.
“Ayah-Ibu saya asli orang Jawa, Mas. Tapi, dari lahir sampai besar, saya hidupnya di Jakarta karena ortu kerja di sana. Habis nikah, saya pindah ke Tangerang Selatan sama suami, sementara Ayah sama Ibu sekarang balik ke Semarang. Udah pensiun mereka.”
“Oh, berarti Mbaknya nggak bisa Bahasa Jawa, ya?”
“Kalau orang ngomong Jawa saya ngerti dikit-dikit, Mas. Tapi, kalau disuruh ngomong, saya nggak bisa.” Giska tertawa sungkan.
Si tukang ojek pun menceritakan tentang seorang penumpangnya yang juga berasal Jakarta, tapi perhatian Giska mendadak teralihkan. Matanya menangkap sesosok perempuan yang berdiri di tepi jalan, dekat dengan area persawahan. Giska menyipitkan mata. Semakin dekat jarak antara mereka, Giska semakin yakin. Perempuan itu adalah si cewek pendaki yang berpapasan dengannya kemarin pagi di basecamp!
‘Kok, dia bisa ada di situ sekarang? Bajunya juga belum ganti dari kemarin,’ batin Giska. Yang makin membuatnya heran, perempuan itu menatap lekat pada Bima yang berada di ojek paling depan.
Kini, jarak mereka tinggal beberapa meter. Giska terus mengawasi perempuan misterius itu. Saat motor yang ia tumpangi melewati si perempuan, mendadak mata mereka bersirobok. Giska agak tersentak. Tatapan perempuan itu begitu tajam hingga mampu mengirim getar ketakutan pada seluruh tubuhnya. Badan Giska meremang hebat. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menekan kesadarannya. Saat ia mengedip satu kali, tiba-tiba saja perempuan itu lenyap dari pandangan.
‘Hah?’ Giska melongo. ‘Apa itu tadi?’
Giska ingin bertanya apakah abang tukang ojek juga melihat sosok perempuan itu. Namun, ia mengurungkan niat. Giska berusaha meyakinkan diri bahwa ia hanya kelelahan. Efek dari kurang tidur dan perjalanan jauh yang ia tempuh sejak kemarin membuatnya mulai berhalusinasi.
Lima menit kemudian, mereka tiba dengan selamat di basecamp. Giska membayari semua tarif ojek tersebut sebagai ucapan terima kasih. Bersama-sama, mereka membawa Bima masuk dan membaringkannya di sudut ruang basecamp. Beberapa orang langsung bertanya apa yang terjadi pada Bima, tapi Giska menjawab kalau lelaki itu hanya masuk angin.
“Hati-hati di jalan, ya, Mbak. Maaf, kami nggak bisa anter Mas Bima ke rumah sakit,” pamit Rizki di depan basecamp. “Atau mungkin, Mbak Giska minta nomor petugas medis aja ke Pak Pram, biar mereka yang dateng ke sini.”
Ketiga pemuda itu hanya bisa membantu Giska sampai di sini. Rizki dan teman-temannya berpamitan untuk segera pulang ke Solo agar tidak kemalaman. Langit juga sudah semakin mendung.
Giska meraih tangan Rizki dan menggenggamnya erat. “Makasih banyak, Mas. Saya nggak tahu harus gimana kalau nggak ada Mas Rizki sama temen-temen,” ujarnya penuh haru. “Saya bener-bener utang budi sama kalian. Bisa dibilang utang nyawa, malah. Kalau boleh, saya minta nomor telepon sama nomor rekening Mas Rizki.”
“Eh, nggak usah, Mbak! Nggak usah!” tolak Rizki buru-buru. “Kami ikhlas. Lillahita’ala, niat kami cuma mau bantu.”
“Saya nggak meragukan keikhlasan kalian sedikit pun, Mas. Tapi, ini sebagai ungkapan rasa syukur saya atas pengorbanan kalian. Rasanya berat banget kalau saya nggak membalas kebaikan kalian.”
Setelah terus dipaksa, akhirnya Rizki bersedia memberi Giska nomor telepon dan nomor rekening pribadinya. Beruntung, sinyal di basecamp cukup bagus. Giska langsung mengirim nominal uang berjumlah tujuh digit angka untuk masing-masing dari mereka.
“Pokoknya, jangan dilihat dari jumlahnya, ya, Mas. Itu cuma secuil rasa terima kasih saya buat kalian. Kalau kapan-kapan kalian main ke Tangerang, hubungi saya aja. Nanti saya ajak kalian jalan-jalan di sana.”
Keempat orang itu pun saling berpamitan. Tidak lupa, sesuai janji, Gilang berfoto bersama Giska untuk ia pamerkan pada pacarnya.
‘Gila, nggak capek apa, ya, mereka?’ pikir Giska begitu tiga pemuda tadi meninggalkan basecamp dengan sepeda motor masing-masing. Ia pun bergegas masuk, teringat akan kondisi sang suami. Karena tidak ingin menimbulkan kegaduhan dengan memanggil petugas medis ke sini, Giska memutuskan untuk membawa Bima ke rumah sakit terdekat.
Setibanya di dalam basecamp, langkah Giska mendadak terhenti. Mata dan bibirnya terbuka kaget. Ia nyaris tidak memercayai penglihatannya.
Di sana, di tempat Bima tadi dibaringkan, lelaki itu kini telah duduk dengan tegak. Kepalanya menoleh melihat sekitar. Saat tatap matanya bertemu dengan Giska, lelaki itu ikut terkejut.
“Gis?” panggil Bima dengan wajah bingung. “Kok, kita udah di basecamp lagi?”
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 20)
Tinggalkan Komentar