“Iya. Lho, sekarang bulan apa, ya … ? Oktober.” Wajah Papa tiba-tiba berubah seperti mengingat sesuatu.
“Ya ampun, minggu lalu anniversary kita, Ma! Kok bisa lupa, ya?” Papa terkekeh geli, menertawakan kecerobohan mereka. “Ayo, lanjut makannya, Mir! Jangan kaget ya. Kami memang begini. Kalau nggak ada yang mengingatkan, ya lupa tanggal pernikahan. Maklum sudah sama-sama semakin tua,” lanjut Papa sambil memandang Mama dengan mesra.
Amira tampak kaget.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Terus yang suka mengingatkan siapa, Pa?” tanya Amira polos.
“Biasanya Mama yang ingat, terus bilang ke Papa. Tumben kamu nggak kasih tahu aku soal hari ini, Ma?” Papa memandang Mama lekat.
“Udah males, Pa. Kamu selalu lupa dan lupa lagi. Ya sudah, nggak usah diingetin lagi.”
“Jadi Papa sering lupa hari penting dalam keluarga, ya, Ma?” tanya Amira antusias.
“Iya. Karena Papa selalu lupa, akhirnya dalam keluarga kami nggak ada lagi perayaan pernikahan atau ulang tahun. Paling Mama bikin nasi kuning pas hari itu.”
Amira melirikku, sementara aku pura-pura mengaduk makanan di piring. Pasti dia berpikir, semua sifatku karena pengaruh keluarga. Memang, di keluargaku tidak ada acara khusus ulang tahun atau hari jadi pernikahan. Bukan apa-apa, memang kedua orang tuaku tipe orang yang tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal seperti itu. Bagi kami, yang penting saling mendoakan dan saling menyayangi.
Kami pamit pulang usai salat tarawih.
“Jadi ternyata, sikap tidak acuh kamu turun dari keluarga, ya?” ujar Amira ketika kami dalam perjalanan pulang.
Aku menoleh sekilas dan tersenyum.
“Kenapa?”
“Iya, kok bisa hari jadi pernikahan sampai nggak ingat. Itu kan momen penting dalam hidup suami istri. Masak iya sama sekali nggak ada yang ingat?” Ia memandangku takjub. “Kamu juga nggak ingat atau berusaha mengingat? Terus beliin sesuatu untuk mereka?”
“Orang kan beda-beda, Mir. Mungkin bagi kamu dan sebagian orang, ada tanggal-tanggal tertentu yang sangat berarti sehingga harus dirayakan. Namun, sebagian lagi menganggap itu hal biasa aja, yang nggak perlu diistimewakan.”
“Tapi itu kan memang istimewa? Saat pertama kali kamu lahir, kamu menikah, masa nggak ada artinya sama sekali?” tanyanya tidak terima.
“Iya. Mereka menganggap istimewa, tapi mengingatnya dalam bentuk lain. Misalnya aja, mereka saling mendoakan, saling menyayangi, saling menjaga. Dan itu semua tidak hanya saat tanggal tertentu, tapi setiap saat, setiap hari. Lebih indah mana?”
Sepanjang perjalanan pulang, Amira lebih banyak diam. Ia memalingkan wajahnya menghadap jendela, menikmati kerlap kerlip lampu yang menerangi gelapnya malam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya.
“Mir?” Akhirnya aku tak tahan dan menegurnya.
Amira tersentak. Perempuan tercinta itu menoleh.
“Eh …, iya?” jawabnya sambil memandangku.
“Kok diem aja? Marah, ya?”
Amira menggeleng, “Nggak kok, aku nggak apa-apa.”
“Terus kok diem aja?” cecarku.
-bersambung-
Halaman : 1 2