Di saat Ratih berdarmawisata bersama keluarga kecil Sutini, Toni sibuk memanfaatkan hari liburnya untuk mempersiapkan lamaran resmi. Toni benar-benar bucin. Untuk menaikkan prestise calon mertuanya di mata keluarganya, dia sudah mengeluarkan banyak uang.
Jauh sebelumnya, Toni membelikan calon mertua sebuah kios di pertokoan komplek perumahan baru. Letak kios tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Paling akhir dia merenovasi rumah tinggal calon mertuanya sekaligus mengisinya dengan perabotan baru. Toni memang menjadi calon menantu kebanggaan, yang membuat iri warga kampung.
“Beruntungnya mempunyai putri jelita dengan tubuh seksi,” begitu pikir mereka.
Setelah menerima cincin pertunangan, Erlika semakin manja dan menggemaskan, kadang sedikit keterlaluan. Dia tak mau ditinggal, bahkan berpura-pura sakit hingga menyebabkan Toni terpaksa harus menginap. Sudah barang tentu dengan alasan mengontrol cabang di luar kota. Perbuatan Erlika tentu saja mendapat dukungan keluarganya.
Sebagai putra tunggal, pewaris perusahaan besar di kota itu, Toni merupakan calon menantu idaman para orang tua. Terutama bagi keluarga Erlika, dia diharapkan dapat mengentaskan kehidupan perekonomian mereka.
Seminggu setelah lamaran, Toni berencana akan meminta kedua orang tuanya, melamar secara resmi. Tanpa sepengetahuannya, Ratih calon istrinya, menyaksikan lamaran itu. Seandainya dia mengetahuinya pun, Toni pasti tak akan peduli. Dia sudah bertekad menikahi Erlika, wanita yang telah mencairkan hatinya yang beku.
Semua dipersiapkan sesuai hari yang telah disepakati. Lamaran akan dilangsungkan hari Sabtu besok, sehari sebelum pertemuan antara keluarga Sumbogo dan keluarga Danusaputra. Toni berharap perjodohan yang diatur mamahnya dibatalkan. Dia dan tunangannya merasa puas dengan rencana mereka. Keduanya merayakannya di sebuah kafe yang baru buka.
Malam itu di kediaman keluarga Sumbogo, kedua orang tua Toni, sedang duduk meneruskan obrolan selepas santap malam. Mereka menikmati dessert puding nanas, hidangan penutup favorit keluarga. Akhir-akhir ini Toni lebih sering menginap di vila keluarga. Orang tuanya tidak berkeberatan.
“Bagaimana Mah, persiapan hari Minggu?”
“Beres, Pah. Oh iya, cincin pertunangannya cantik banget setelah jadi. Perasaan lebih cantik daripada contohnya.”
“Maafkan Papah, ya, Sayang? Dulu aku tidak mampu memberimu cincin pertunangan. Bahkan cincin kawin kita …,” kata Barman dengan suara tersendat sambil menyodorkan cincin kawin berbentuk belah rotan polos di jari manis tangan kirinya, “dibeli dari hasil patungan bersama teman-teman,” lanjutnya. Sebutir air mata meluncur dari sudut matanya. Barman segera menghapusnya.
Ninit langsung mengangkat tangan kirinya, mengelus cincin kawin sederhana, lalu mengecupnya lembut. Matanya berkaca-kaca. Dia menoleh menatap suaminya sambil tersenyum. Sampai kini senyum lembutnya masih mampu menaikkan debaran jantung Barman.
“Ini pusaka kita, Mas! Yang mempertautkan cinta kita selamanya. Memakai cincin ini, kita menjadi tangguh dalam menghadapi segala rintangan kehidupan kita.”
Barman langsung memeluk bahu Ninit, lalu mengecup ujung kepala istrinya dengan sepenuh hati, sambil berbisik mesra, “I love You ever and ever.”
Ninit menaruh kepala di dada suaminya dengan nyaman. Keduanya tenggelam dalam kenangan.
Dulu, percintaan mereka mendapat penolakan dari kedua orang tua Barman. Banyak perbedaan dari keduanya, baik masalah ras, keyakinan dan status. Namun, kelembutan dan kesantunan Ninit, meluluhkan hati mertua dan ketiga adik iparnya. Barman, putra sulung laki-laki yang akan meneruskan bisnis ayahnya.
“Mas, si Toni sekarang jarang pulang. Apakah dia menolak perjodohannya dengan Ratih? Aku takut itu terjadi.”
“Sampai saat ini dia belum pernah berhubungan serius dengan perempuan. Entah kalau di Amrik sana. Tapi, dia mengaku belum menentukan pilihan.”
“Tapi, aku cemas!”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh musik yang menghoror dari televisi, lalu ‘duaaar’ bunyi senapan memecah keheningan hutan. Seekor harimau jawa terkapar. Musik berhenti, keadaan sunyi. Musik sedih ngelangut diputar.
Tiga orang pemburu, salah satunya membawa senapan berlari sekencangnya. Pemburu kedua membuang bambu ukuran sedang yang mengganggu larinya. Pemburu ketiga membawa segulung tambang besar di bahunya. Mereka berlarian dikejar oleh beberapa petugas hutan.
Musik sendu masih terdengar. Seorang wanita dan seorang laki-laki membawa kamera besar berlarian menuju harimau. Kemudian seorang lagi menyusul membawa kotak kesehatan. Keduanya memeriksa keadaan harimau yang masih bernapas. Kameramen sibuk mengabadikan.
“Masih saja ada yang membunuh binatang yang sudah langka!” kata Barman geram.
“Yaaah, begitulah manusia, Pah. Mudah-mudahan dugaanku tentang Toni salah, ya. Bantu doa dong, Pah!”
“Pastilah, aku kan ayahnya! Persiapkan saja semua dengan baik. Pokoknya yang terbaiklah untuk anak-anak kita. Ratih juga anak kita, kan? Ingat nggak, Mah? Dulu, waktu anak-anak masih kecil, mas Rangga sampai cemburu karena Ratih lebih memilih digendong Papah? Hihihi ….”
Tinggalkan Komentar