Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 24)
Sambil menatap sekeliling dengan seksama, mpek An Cong mendekati arah suara. Dia ragu harus ke mana. Sambil mempertajam pendengaran, dia terus mencari suara sehalus apapun.
Lamat-lamat terdengar elahan napas sedikit memburu. Mpek An Cong bangkit, lalu menuju kamar tidur utama. Dengan hati-hati membuka pintu kamar. Dia tidak tahu siapa yang berada di situ. Setelah memastikan hanya ada satu orang, Mpek An Cong perlahan masuk.
Toni duduk di lantai pojokan kamar sambil memeluk lutut. Tubuhnya gemetar, menyembunyikan wajah di lutut. Hatinya campur aduk antara senang dan takut. Dia menyesal telah bersuara.
“Jika yang memanggilnya orang suruhan Erlika, habislah aku!” bisiknya lirih.
Mpek An Cong mendekat, lalu berlutut sambil memanggilnya lembut. Toni mengangkat kepala melihat ke arah suara. Melihat siapa yang datang dia langsung memeluk sambil menangis. Mpek An Cong menyambut pelukan cucunya dan mengusap punggungnya dengan lembut menenangkan.
Setelah Toni tenang keduanya melepas pelukan. Toni bersandar dinding. Mpek An Cong lalu memberitahu kalau keluarganya sedang menunggu. Dia akan membawa Toni keluar dari tempat persembunyian gaib yang ternyata ada di dalam vila. Perlahan, semua tampak nyata di mata Toni.
“Mpek Cong, ini …,” katanya sambil melihat sekitar. Dia mengenali tempat itu. Kamar tempatnya memadu kasih dengan Erlika.
“Ya, kamu tak pernah keluar dari vila. Bahkan mungkin kau tak pernah meninggalkan kamar ini. Ayo, kita pulang secepatnya.”
Toni mengingat-ingat kapan terakhir dia pergi keluar, dia tak ingat sama sekali. Dia hanya ingat saat dia dikurung kekasihnya ketika merasa kangen kepada istrinya. Erlika begitu marah, tiba-tiba Toni seperti kehilangan akal tergulung sesuatu, terlempar dan terempas. Kepalanya membentur sesuatu yang keras, lalu dunia menjadi gelap.
Keduanya menuju garasi, ternyata bahan bakarnya kosong. Setelah menawan Toni, Erlika mengusir penjaga vila, lalu mengosongkan tangki bahan bakar mobil suami sirinya. Toni geram sekali.
Ah … sial! Aku benar-benar tolol dan tak berguna! keluhnya dalam hati.
“Mpek Cong, kita naik taksi online saja,” kata Toni, sambil mengambil ponsel di saku celana. Ponsel dalam keadaan mati. Dia mencari penjaga vila, ternyata kamarnya kosong. Dia lalu minta tolong orang-orang di vila milik dinas pemda yang masih tampak duduk di ruang tamu. Di situ juga terdapat sebuah SUV terparkir di samping teras.
“Selamat malam, mobil saya habis bensin, ponsel saya mati. Apa ada yang bersedia memesankan mobil online?”
Toni lalu menyebutkan tempat tinggalnya. Mengetahui alamat tempat tinggal Toni, salah seorang mengenalinya.
“Oh, putra pak Barman Heru Sumbogo?”
“Iya, betul,” jawab Toni senang. Hatinya lega mereka mengenali papahnya.
“Kebetulan sopirnya sedang bersiap mau kembali ke kantor. Sebaiknya pak Toni ikut saja, dari pada kosong,” jawab salah satu dari mereka.
“Perkenalkan ini kakek saya,” kata Toni.
Mpek An Cong menyalami mereka satu persatu. Sejenak kemudian, sopir kantor Pemda keluar, lalu mengajak keduanya berangkat.
Malam itu, Toni akhirnya sampai rumah dengan selamat bersama Mpek An Cong. Tubuh keduanya lemah dan lelah, tenaganya terkuras habis. Ratih yang baru saja terbangun dari mimpi buruk, mendengar suara suaminya, langsung bangkit lalu berlari keluar kamar.
“Mas Toni …,” panggilnya dari pintu kamar.
Mendengar suara istrinya, seperti mendapat kekuatan baru, Toni melesat naik ke kamarnya menyambut pelukan istri yang dirindukan. Keduanya bertangisan mengharu biru semua yang mendengarnya. Tangisan melepas ketegangan dan kerinduan yang selama ini mereka pendam. Namun di balik pelukan itu, Toni tahu, masalah belum selesai. Erlika mungkin tersingkir untuk sementara, tapi tidak ada jaminan jika dia akan berhenti begitu saja.
Peristiwa mengerikan yang dialami Ratih dan Toni, menjadi pupuk yang mujarab menyuburkan benih cinta yang bersemi di hati keduanya. Benih cinta yang menguatkan tekad mereka untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Keduanya masuk kamar. Mereka diberikan waktu untuk berduaan.
“Maafkan aku, Ratih. Aku telah menyakitimu lahir dan batin. Aku mengabaikanmu demi wanita brengsek itu.”
“Sudahlah, Mas. Sekarang yang penting, bagaimana kita terbebas dari perempuan itu!”
Keduanya diam, lalu duduk berdua di tempat tidur. Kesunyian melanda, namun hati bergemuruh tak menentu. Setelah berdeham, Toni merobek keheningan.
“Aku memang tolol! Berapa kali perempuan itu berbuat kesalahan, tapi aku malah memaafkannya, dan meninggalkanmu,” bisik Toni sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Keduanya kembali membisu.
“Mas, ayo kita turun. Mereka pasti ingin mendengar apa yang telah terjadi,” ajak Ratih. Dia sendiri masih kangen pada kedua orang tuanya. Dia ingin kedua orang tuanya menginap, atau dia ikut pulang. Jauh di dalam hatinya dia masih trauma berdekatan dengan suaminya.
Ah, tadi terjadi begitu saja! batinnya mencoba mengingkari bagaimana tadi dia memeluk erat suaminya. Wajahnya merona mengingat itu.
Paling tidak Bunda menemani, biar aku tidak satu kamar dengannya! Ratih terus bersenandika dalam hati. Hampir saja dia terjatuh di tangga, beruntung Toni sigap menarik tangannya hingga jatuh dalam pelukannya. Pasangan itu saling menatap. Kedua orang tua mereka menoleh ke arah kedua pasangan yang masih terkesima dan saling tatap. Mereka tersenyum lega melihat putra putri mereka telah bersatu.
Tinggalkan Komentar