Setiap desis kesakitan Ratih seperti sembilu yang menoreh dinding hati Ninit. Mata Ratih yang sembab menatap ke arah mertuanya. Ibu mertuanya tampak sedang menanggung penyesalan yang sangat mendalam. Ratih tahu bahwa ini bukan sepenuhnya salah Mamah Ninit, tapi tetap saja, rasa sakitnya nyata.
“Sabar ya, Sayang. Maafkan Mamah … Mamah benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Bisa-bisanya Mamah kesetanan begitu. Rasanya seperti ada yang mengendalikan Mamah. Tapi, bagaimanapun ini kesalahan Mamah,” gumam lirih Ninit. Tangannya bergetar saat mengoleskan obat ke kulit Ratih yang memar. Setiap kali salep menyentuh kulit Ratih, dia tersentak kesakitan. Ratih tetap diam tidak mengeluh. Dia tidak ingin membuat mamahnya semakin sedih.
Isah ikut membantu, menenangkan Ratih dengan sentuhan lembut dan kata-kata penuh kasih. “Den Ratih, njenengan kuat. Semua akan berlalu. Kita semua tau ini bukan salah Ndoro Putri.” Isah juga memberinya teh manis hangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ninit hanya bisa menangis di samping Ratih sambil menggenggam tangannya dengan erat. “Maafkan Mamah, Sayang … maafkan Mamah …,” ucapnya berkali-kali. Azan magrib berkumandang dari HP Ratih. “Sah, tolong ambilkan mukena dan sajadah di kamarku,” pintanya, sambil bangkit mengambil kerudung instan di gantungan baju.
Ninit menyuruh Ratih untuk tayamum, lalu memakaikan kerudung dan merapikan selimut. Ratih berniat salat sambil duduk, tiba-tiba merasakan mulas yang luar biasa di perut bagian bawah. Dia terus mendesis. Begitu keluar kamar mandi sehabis wudhu, Ninit mendapati Ratih meringkuk kesakitan langsung berlari mendapatkannya.
“Ratih, kenapa Sayang?”
“Perutku Mah, perutku mulas sekali.”
“Ayo Mamah bantu ke kamar mandi!”
Ninit tidak tega meninggalkannya, dia berdiri di depan pintu. Begitu mendengar sentoran air, hatinya sedikit lega. Kemudian Ratih berwudhu sempurna. Dia keluar, keduanya salat Magrib berjamaah. Terdengar desahan dan desisan dari bibir Ratih. Hati Ninit terasa teriris-iris. Dalam sujudnya dia memohon pertolongan Allah yang mahakuasa untuk melindungi diri dan keluarganya.
Dengan tertatih Ratih bangun melepas mukena. Ketika hendak melipat, Ninit melarangnya. Menyuruhnya kembali rebahan di tempat tidur. Ninit membantu menumpuk bantal untuk meninggikan kepala.
Ratih menatap mertuanya dengan pandangan sulit ditebak. Dalam keheningan malam itu, ia berusaha memahami bahwa Mamahnya juga sedang terjebak dalam kegelapan yang sama dengan Toni. Kegelapan yang disebabkan oleh pengaruh sihir dukun suruhan Erlika.
Setelah beberapa lama, Ratih akhirnya tertidur karena kelelahan, tubuhnya yang lemah akhirnya menyerah pada rasa sakit dan keletihan. Namun, meski ia tertidur, wajahnya masih tampak cemas, seolah-olah jiwanya masih berjuang di alam bawah sadarnya.
Malam itu, Ninit tidak meninggalkan Ratih. Dia duduk di samping tempat tidur, memegangi tangan menantunya yang babak belur, sambil sesekali menangis lirih. Mamah Toni menyesali semua yang telah terjadi, tapi dalam hatinya, dia juga mulai merasa takut. Dia tahu ada sesuatu yang mengendalikan dirinya, sesuatu yang membuatnya bertindak di luar kendali.
Di sudut ruangan, Isah ikut berjaga, sesekali menatap ke arah ndoro putrinya dan den Ratih. Isah tahu bahwa semua ini bukan sekadar masalah rumah tangga biasa. Dia merasakan adanya sesuatu yang lebih jahat, sesuatu yang berasal dari luar.
Sementara di atas pohon peneduh tepi jalan depan rumah, bertengger bayangan hitam pekat tidak berbentuk. Kedua mata merahnya tajam mengawasi jendela kamar Toni di lantai dua. Tidak ada seorang pun menyadari kehadirannya.
“Ndoro, semua ini bukan salah Ndoro,” bisik Isah akhirnya. “Ada kekuatan jahat yang bermain. Kita harus hati-hati, Ndoro.”
Ninit menatap Isah dengan mata yang masih sembab. “Aku tahu, Sah … Aku tahu. Tapi bagaimana caranya kita melawan sesuatu yang tak kasat mata? Aku merasa begitu lemah … Aku bahkan tak bisa mengendalikan diriku sendiri.”
“Sebaiknya kita tuguran, perbanyak zikir. Kalau bisa tadarus Quran,” kata Isah lirih, takut membangunkan Ratih.
“Baiklah, Sah. Kamu tidur di sini. Kita tidur bertiga. Aku tidak bisa meninggalkan Ratih sendiri, dan juga untuk berjaga-jaga takut terjadi seperti tadi.”
“Menurut saya, sebaiknya, matur Ndoro Kakung. Kita harus segera mencari bantuan,” kata Isah serius, “sebelum semuanya makin parah.”
Sementara itu, di tempat lain, entah di mana, Toni duduk di lantai sambil memeluk lutut. Dia berada di sebuah ruangan gelap sendirian. Toni merasa berada jauh dari rumah dan vila yang kini dikuasai Erlika. Pengaruh Erlika semakin kuat. Di setiap detik, Toni merasa jiwanya diambil sedikit demi sedikit. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya mulai kabur, seolah-olah ada kabut yang menghalangi pikirannya.
Di dalam hatinya, dia tahu sesuatu sedang terjadi pada Ratih. Namun, tubuhnya tak mampu bergerak. Seperti boneka yang dikendalikan, Toni tak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi menolong istri yang sebenarnya mulai dia cintai. Cinta yang tersemai kini makin subur. Dalam kegelapan, Toni mendengar suara Erlika bergema di kepalanya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya