Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 21)
Ratih terbangun dengan tubuh lemah dan hati yang hancur. Rumah mertuanya tempat perlindungannya kini berubah menjadi tempat penuh teror. Kehidupannya kian tersiksa setelah Toni menikahi Erlika. Ibu mertuanya, yang dia panggil Mamah, yang dulu sangat menyayanginya, kini berbalik memusuhi tanpa alasan yang jelas. Setiap kata dan tindakan Ratih selalu salah di mata Ninit, dan perasaan Ratih semakin hancur tiap harinya.
Namun, Ratih tahu ini bukan sikap asli mamahnya. Perlahan ia menyadari bahwa pengaruh jahat Erlika tak hanya menjerat suaminya, tapi kini juga menyebar ke orang-orang di sekitarnya. Termasuk Mamah, sikapnya berubah drastis, sekarang, tiap pertemuan terasa seperti perang dingin, bahkan penuh dengan kemarahan yang tak beralasan. Ini hanya terjadi saat Barman tidak berada di rumah. Sudah dua bulan ini perusahaan kembali ditangani Barman.
Keadaan di rumah semakin parah ketika Barman sibuk mengurus bisnisnya. Dia lebih sering berada di kantor Semarang. Setiap hari Ratih merasa seperti orang asing di rumah yang dulu ia huni dengan penuh kebahagiaan. Erlika tidak hanya mengambil Toni, tapi juga mencoba menghancurkan segala yang ia miliki, termasuk hubungan harmonisnya dengan keluarga Sumbogo.
Senja itu, Ninit datang ke kamar Ratih tanpa salam. Matanya berkilat penuh kebencian yang tak dapat dijelaskan. “Apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau tidak berguna! Kau hanya membawa sial untuk anakku!”
Ratih terdiam, menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya hancur mendengar kata-kata tajam itu.
“Apa maksud Mamah? Ratih tidak berbuat apa pun! Mana yang Mamah maksud dengan Ratih membawa sial? Mah, pernikahan ini kemauan Mamah! Kalau saja dulu Mamah tidak masuk ICCU, kami tidak pernah menikah!” katanya pelan mencoba mengingatkan mertuanya kejadian awal dia masuk ke keluarga Sumbogo. Dia mencoba mempertahankan ketenangan.
Akan tetapi kata-kata Ratih bukannya me-rewind masa lalu, malah membuat amarah Ninit semakin membara. Tanpa peringatan, Ninit mengayunkan ikat pinggang yang diambil dari gantungan baju, lalu memukul Ratih dengan penuh amarah. Ratih terjatuh, tubuhnya memar-memar terkena cambukan keras.
“Aku tidak mau tau! Dulu ya dulu, yang pasti sekarang! Kamu hanya wanita pembawa sial!” teriak Ninit, terus memukuli Ratih dengan membabi buta.
Ratih kini meringkuk di sudut kamar, tubuhnya gemetar kesakitan. Dia hanya bisa menangis, mencoba melindungi tubuhnya dengan tangan, tetapi ikat pinggang itu terus mendera kulitnya.
Ratih tidak melawan. Ia tahu bahwa bukan Mamah sebenarnya yang melakukan ini, tapi karena pengaruh Erlika yang menguasainya. Namun, rasa sakitnya sungguh nyata, dan makin lama, makin tak tertahankan.
Teriakan kesakitan Ratih terdengar hingga ke seluruh rumah. Di luar kamar, Mbok Isah, pembantu yang sudah puluhan tahun mengabdi di keluarga Toni, mendengar suara jeritan Ratih di antara bentakan-bentakan ibu mertuanya. Isah baru saja masuk dari dapur.
Tanpa pikir panjang, Isah segera berlari menuju kamar Ratih dan menggedor pintu dengan keras. “Ndoro, buka Ndoro, buka pintunya! Apa yang Ndoro Putri lakukan? Den Ratih, Den! Apa yang terjadi?”
Gedoran Mbok Isah menghentikan gerakan Ninit. Da terdiam, tangannya yang memegang ikat pinggang tiba-tiba lemas. Tatapan matanya yang tadinya penuh kebencian perlahan-lahan berubah menjadi kosong, kemudian tergantikan oleh kebingungan. Seolah-olah ia baru saja tersadar dari mimpi buruk.
“Apa yang sudah aku lakukan?” bisiknya lirih, suaranya bergetar tangannya gemetar. “Ratih … maafkan Mamah … maafkan Mamah … Mamah tidak tau apa yang terjadi pada diri Mamah.”
Air mata mulai mengalir dari mata Ninit yang kebingungan. Dia segera melepaskan ikat pinggang dari tangannya, membuangnya ke lantai, lalu bergegas memeluk Ratih yang masih terisak kesakitan di lantai.
“Oh, Ratih … Mamah mohon maafkan Mamah … Mamah tidak bermaksud, sungguh … Mamah tidak pernah berpikir untuk menyakitimu!” tangisnya, sambil menggenggam tangan Ratih erat-erat, penuh penyesalan. Keduanya bertangisan.
Ratih yang kesakitan hanya bisa mengangguk lemah, matanya masih berurai air mata. Dalam pelukan mertuanya, ia merasakan kepedihan yang dalam. Mertuanya, sekaligus bunda kedua baginya, kini kembali menjadi wanita penyayang yang dia kenal, tapi luka fisik dan emosi yang dia alami sulit untuk dilupakan. Ratih menangis nelangsa, dia ingin pulang.
Isah yang akhirnya berhasil masuk melihat pemandangan yang memilukan itu. Ia segera menghampiri mereka dan membantu menenangkan Ratih. “Den Ratih, sabar Den. Ndoro, mari kita bawa den Ratih ketempat tidur, biar bisa istirahat.”
Dengan hati-hati, Ninit berdua ART-nya, membantu Ratih bangkit dari lantai, lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Bilur-bilur biru kemerahan mulai tampak jelas di lengan dan punggung Ratih. Ninit yang masih berderai air matanya, segera mengambil obat dari lemari dan mulai mengoleskan salep ke semua bagian yang biru kemerahan di tubuh Ratih.
“Sakit sekali, Mah…” bisik Ratih lirih, air mata masih mengalir di pipinya, disertai desisan-desisan kesakitan.
Tinggalkan Komentar