Kekasaran Toni menyakiti hati dan raga pasangannya. Ratih sangat tidak berdaya, dia seperti mayat hidup yang diperlakukan semena-mena. Air mata derita mengalir di sudut-sudut matanya sambil terus berusaha untuk menahan tangis dan rasa sakit. Entah sampai berapa kali, Toni merudapaksa dirinya. Kesakitan yang amat sangat di sekujur tubuh terutama di pangkal paha menderanya tanpa ampun.
Setelah terpuaskan berkali-kali, Toni kelelahan dan terguling di samping istrinya lalu tertidur nyenyak. Tertatih-tatih Ratih bangkit menuju kamar mandi. Dia jatuh terduduk di lantai memeluk kakinya, menyembunyikan wajah di lututnya. Menangis nelangsa dalam guyuran shower yang memancarkan air dengan volume maksimum.
Ratih begitu terpuruk dalam keputusasaan. Kesucian yang dipertahankan untuk dipersembahkan kepada suami pilihannya, kini direnggut dengan semena-mena oleh laki-laki yang sempat menempati hatinya. Toni, suami yang terpaksa Ratih pilih sebagai pendamping hidupnya, kini menjadi laki-laki yang paling dibencinya. Perasaan cinta kepada Toni yang telah tersemai indah di dalam hati, kini tercerabut habis, tergantikan rasa nista dan kotor yang menghujam kalbu. Benih cinta yang menyubur kini layu mengenaskan.
Kesadaran Ratih akan kebersamaan mereka hanyalah sebuah perkawinan kontrak, kebersamaan yang hanya sebuah sandiwara sangat menyakitkan hatinya. Sandiwara yang dengan sadar mereka mainkan demi menyelamatkan hidup seseorang. Permainan sandiwara untuk memenuhi janji ibu mereka. Sebuah kenyataan yang memilukan. Tragis!