Toni diantar pulang dalam keadaan payah. Keluarganya terkejut. Ayahnya langsung merangkul menggantikan pengantar putranya. Ninit jelas berteriak heboh memanggil menantunya.
“Mas Toni kenapa Pah?” tanya Ratih panik sambil membantu Papahnya membawa suaminya ke kamar.
“Nak, kenapa bisa begini? Silakan duduk, Nak ….?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Barman kembali ke ruang tamu. Simbok menghidangkan teh manis panas. Saat Ratih sedang berusaha melepas baju suaminya, Simbok mengetuk pintu sambil membawa secangkir teh manis panas. Ratih membukanya lalu menaruh cangkir di nakas. Ratih harus berusaha keras melepas baju Toni, badannya berat sekali. Sementara di ruang tamu Endro memperkenalkan diri
“Om, Tante, saya teman Toni di UGM. Setelah lulus, saya ke Jakarta mencari kerja. Sempat kerja serabutan, alhamdulillah direkrut sebuah perusahaan swasta asing,” kata Endro. Dia sengaja mengatakan siapa dirinya, untuk mengungkapkan bahwa dia murni menolong tanpa mengharap imbalan.
“Matur nuwun sanget, lho, Nak Endro. Untung Njenengan ada disana. Ini tadi ceritanya bagaimana?” tanya Barman.
“Tadi kami tidak sengaja bertemu. Saya sedang bertemu kawan-kawan UGM yang tinggal di sini. Seingat saya Toni berada di luar negeri, jadi kami tidak mengundangnya.”
“Benar, Nak. Toni baru setahunan pulang, terus mengurus perusahaan. Mungkin dia sibuk jadi belum sempat kontak lagi sama teman-temannya,” jelas Barman.
“Kami duduk di bagian dalam, sama sekali tidak melihat putra ibu. Kemungkinan kami datang lebih dahulu. Saat kami mau pulang, saya melihat ada orang seperti kesakitan, ternyata Toni. Teman saya juga mengenalinya. Jadi saya bawa pulang.” lanjut Endro.
“Bagaimana dengan bill-nya?” tanya Ninit.
“Sudah dibereskan teman saya.”
“Lha … gimana ini, Pah?”
“Nggak apa-apa Tante. Saat kami kuliah, Toni selalu membantu mahasiswa sekampungnya,” jawab Endro tersenyum.
Barman langsung berterima kasih. Kemudian menyuruh supir untuk mengantarkan ke hotel tempat Endro menginap.
“Matur nuwun, Om. Teman saya menunggu di luar. Kami masih mau ngobrol rencana reunian SMP.”
“Lho, Nak Endro SMP di sini?”
“Iya, Om. Lulus SMP kami pindah ke Surabaya karena Ayah ditugaskan di sana. Setelah pensiun, orang tua pulang kampung ke Pacitan. Saya pamit dulu, Om, Tante.”
“Wah, matur nuwun sanget, lho. Kalau tidak ketemu Nak Endro entah bagaimana Toni,” kata Barman.
Sepeninggal Endro keduanya berniat untuk menjenguk putra mereka. Barman menggamit istrinya. Sambil menunjuk jam dinding, “biarkan mereka istirahat. Besok kita tanyai si Toni.”
***
Setelah melepas sepatu, dasi dan baju Toni, Ratih menyeka tubuh suaminya. Jantungnya berdebar-debar tidak menentu. Dia tertegun menatap dada bidang dan sixpack perut suaminya. Perlahan matanya berpindah ke wajahnya. ‘Wajah Papah waktu muda. Alis dan dagunya seperti Mamah. Mas Toni mengambil semua yang bagus dari Papah dan Mamah! Tapi keangkuhannya dapet dari mana, ya?’ Ratih membatin. Rasa cinta di hatinya mulai merimbun. Senyum merekah di bibirnya. Sejak pulang dari pengambilan foto, sikap Toni agak lebih manis. Meski angin-anginan, komunikasi mereka membaik.
Ratih terkejut melihat, Toni bergerak dan bergumam lirih tidak jelas, lamunannya buyar. Dia segera menyeka tubuh suaminya. Mula-mula wajah diseka lembut, lalu ke leher, kemudian kedua tangan. Toni masih pulas. Begitu menyeka dada lalu perut, tiba-tiba Toni terbangun. Kedua tangan Toni langsung mencengkram tangan istrinya. Secara reflek Ratih berusaha melepaskan tangan suaminya.
Toni bergeming cengkraman makin kuat. Dia menatap wajah yang tak asing baginya. Hasratnya bergejolak menuntut dipuaskan. Tonjolan di lehernya naik turun, dia langsung bangkit. Ratih ketakutan melihat mata Toni yang merah menatapnya dengan buas. Secara reflek Ratih mundur bersiap kabur. Secepat kilat dengan penuh nafsu Toni menarik gadis itu ke dalam pelukan, melahap bibirnya sambil melucuti pakaiannya.
Dengan sekuat tenaga Ratih memberontak, tapi perlawanannya malah mengobarkan nafsu suaminya. Dia tidak bisa berteriak, mulutnya terkunci oleh gempuran bibir Toni, bahkan untuk bernapas pun sulit. Pikiran Ratih masih waras, dia takut teriakannya terdengar mertuanya.
Ratih marah sekali, dadanya terasa mau meledak. Dia benar-benar tidak berdaya. Dia juga merasa dikhianati. Keduanya telah membuat perjanjian sebelum menikah, dan sepakat untuk menepatinya. Hanya air mata duka yang terus mengalir tanpa hambatan.
Seperti kesetanan Toni mencopot celananya. Kesempatan dipergunakan Ratih untuk melepaskan diri. Dia berusaha segera bangkit. Baru saja tubuhnya sedikit terangkat, Toni langsung mendorongnya sambil menduduki kedua kaki Ratih.
“Tolong, Mas! Jangan lakukan. Lepaskan aku,” rintihnya nelangsa ditengah isak tangisnya.
Toni tidak peduli. Rintihan pasangannya seperti gemerisik angin senja mengusik gairah yang semakin menggelegak. Gelegak nafsu syetan yang minta dipuaskan. Dengan kasar Toni menggagahinya melampiaskan nafsunya yang bergejolak liar. Seperti jaguar kelaparan yang sudah seminggu tidak bertemu mangsa. Dia melumat tubuh pasangannya tanpa ampun. Toni meninggalkan jejak asmara di sekujur tubuh Ratih yang kesakitan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya