Bayu Ramadhan.
Aku bergegas meninggalkan rumah Ustazah Maryam tanpa sempat berpamitan. Terserah. Aku tak peduli. Darahku terasa mendidih melihat Amira begitu mudahnya menceritakan masalah kami.
‘Bagaimana bisa ia begitu percaya pada orang lain, meskipun itu perempuan yang amanah? Ustazah itu tidak tahu bagaimana keadaan kami sesungguhnya. Apa yang sebetulnya terjadi dalam rumah tangga kami.’ Aku bersungut-sungut dalam hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mas, tunggu! Lari aja terus dari masalah!” Kudengar suara Amira berteriak memanggil. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki mengejarku. Aku tidak ingin bertengkar di tempat umum, itu sebabnya aku memilih diam.
“Mas! Kamu kenapa, sih?” Amira masih terus bertanya.
Aku tak menggubrisnya. Tiba di mobil, aku segera menyalakan mesin dan menunggu sampai Amira masuk, lalu kupacu Toyota Camry hitam dengan kecepatan tinggi.
“Sampai kapan kamu terus lari dari masalah, Mas?” tanya Amira lirih.
Aku bergeming. Kutarik napas panjang sambil terus mengemudi. Aku tidak ingin menyakiti Amira dalam situasi seperti ini, makanya aku memilih diam.
Melihatku terdiam, akhirnya istriku itu ikut diam. Kulirik sepintas, ada air bening menitik di pipi halusnya. Hatiku terasa diiris pisau tajam. Sungguh, aku tidak ingin menyakitinya. Aku hanya tidak bisa mengeluarkan kesedihan dan kecewaku akan masalah rumah tangga kami akhir-akhir ini.
Amira adalah cinta pertamaku, satu-satunya perempuan yang aku cintai. Perempuan langsing berkulit putih itu aku kenal ketika kami sama-sama menjadi peserta sebuah seminar seorang ustaz terkenal. Dari situ aku seperti menemukan belahan jiwa yang selama ini kucari.
Dengan bantuan ustaz, akhirnya aku bisa berkenalan dengan Amira. Ternyata, Amira juga menyukaiku, hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk berkenalan lebih dalam. Saling merasa cocok satu sama lain, membuat kami memutuskan untuk segera menikah. Kedua orang tuaku tadinya kurang setuju karena Amira belum berjilbab. Namun, aku berhasil meyakinkan mereka kalau aku akan membimbingnya menjadi lebih baik.
“Hati-hati, Mas! Kalau nyetir jangan sambil ngelamun,” seru Amira ketika sebuah Fortuner putih menyalip kendaraanku.
Reflek aku membanting setir ke kiri dan berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran. Suasana hening. Tidak ada yang berbicara. Kami sama-sama diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Aku melirik Amira yang sedang menatap gelapnya malam melalui jendela mobil. Setelah merasa lebih tenang, aku segera menjalankan mobil melanjutkan perjalanan.
Begitu tiba di rumah, kami masih tetap saling diam. Aku pun segera membersihkan diri dan bersiap tidur. Mataku semakin berat, tetapi Amira masih belum menyusul ke tempat tidur. Tak lama aku pun terlelap.
Aku bangun seperti biasa untuk menunaikan salat Tahajud. Kulihat Amira sedang duduk di atas sajadah sambil berdoa dengan suara lirih. Aku segera berwudu dan salat di sampingnya. Amira masih belum bersuara. Rupanya ia masih kecewa dengan sikapku tadi malam. Namun, aku tak peduli. Biarlah untuk sementara kami tidak saling bicara supaya bisa melihat masalah dengan lebih jelas.
Ketika pulang dari masjid, sarapan pagi sudah tersedia di meja.
“Kamu nggak temenin aku sarapan?” tanyaku saat Amira beranjak pergi setelah menyediakan sepiring nasi goreng dengan telur dadar, dan segelas jus jeruk hangat. Dia kembali duduk tanpa berkata apa-apa.
“Kamu masih marah?”
Amira menggelengkan kepala tanpa menatapku.
“Kenapa nggak makan?” tanyaku lagi.
Kembali ia hanya menggelengkan kepala.
Kesabaranku habis. Aku pun diam dan melanjutkan makan. Selesai makan, segera kuambil tas dan kunci mobil lalu bergegas pergi.
Sambil mengemudi, pikiran kembali mengembara tentang kehidupan rumah tanggaku. Tentang sikap Amira yang akhir-akhir ini berubah menjadi pendiam dan tiba-tiba menyatakan ingin berpisah. Tentang tuntutannya untuk menyelesaikan masalah kami dengan bantuan pihak ketiga sebagai penasihat perkawinan. Aku tidak mengerti apa salahku, sehingga Amira memutuskan ingin berpisah. Selama delapan tahun kami menikah semuanya baik-baik saja.
Aku memacu mobil menyusuri jalan besar kota Riyadh. Kurapatkan jaket. Meskipun sudah menyalakan penghangat, tetapi tidak terlalu berpengaruh melawan suhu lima derajat celcius pagi ini. Di luar, matahari masih belum seutuhnya terbit, sepertinya enggan menyinari bumi. Cuaca terlihat suram, seperti suasana hatiku pagi ini. Tak bisa kupungkiri, aku tak mau kehilangan Amira, aku sangat mencintainya. Kami bahagia meskipun belum dikaruniai anak.
Apakah Amira memiliki kekasih? Mungkinkah ia berselingkuh? Bermacam pertanyaan menggayuti benakku. Cepat kutepis pikiran buruk yang melintas. Tidak mungkin. Amira adalah tipe istri setia. Ia selalu melayaniku dengan baik, mengurus rumah, dan tidak pernah mengecewakanku. Bahkan ketika aku memintanya untuk keluar dari pekerjaan dan ikut menemaniku bekerja di kota gurun pasir ini, ia dengan ikhlas melepaskan pekerjaannya.
15 menit kemudian, aku tiba di kantor. Suasana masih sepi karena baru pukul 07:00. Biasanya para karyawan yang terdiri dari bermacam bangsa itu baru akan tiba menjelang pukul 07:30. Aku bergegas menuju ruang kerjaku di lantai 2. Setelah meletakkan tas di meja, segera kukeluarkan laptop dan berniat untuk mulai bekerja. Biasanya dengan bekerja, pikiranku sedikit lebih tenang.
Halaman : 1 2 Selanjutnya