Urusan Penting
“Aku sudah nikah siri dengan Lydia.”
Duar! Seakan pukulan keras menghantam dadanya. Tubuh Ayyara langsung terasa lemah lunglai. Tangannya terkulai lemas, tas yang berada dalam genggaman pun terlepas jatuh ke lantai. Dirinya menatap nanar pada sosok Abyan yang sekarang sudah menghilang di balik pintu.
Matanya terasa menghangat dan terlihat makin memerah. Genangan air yang sejak tadi sudah berkumpul di sudut-sudut matanya pun mulai meluncur satu per satu. Tubuhnya tak sanggup lagi berpijak hingga sedikit terhuyung-huyung, mundur beberapa langkah, lalu terduduk di ujung kasur. Tak pernah terpikir—bahkan membayangkan saja rasanya tidak berani—untuk mendengar kalimat tersebut, terlontar dari mulut suaminya sendiri.
‘Ya, Allah … apalagi ini? Kenapa permasalahan rumah tanggaku jadi semakin runyam begini?’ batin Ayyara nelangsa.
Wanita itu tersedu di sudut tempat tidurnya untuk waktu yang cukup lama. Sampai kemudian, sebuah ketukan di pintu memaksanya untuk bangkit. Dia berjalan menuju meja riasnya. Dengan tangan yang masih gemetar, Ayyara mengambil beberapa lembar tisu.
Lalu, tangannya menepuk-nepuk lembut sekitar mata dan pipi menggunakan tisu tersebut. Setelah dirasa kering, dia pun membubuhkan bedak powder agar matanya yang sedikit sembab bisa tersamarkan.
“Bundaaa ….” Tsabita langsung memeluk Ayyara begitu pintu terbuka. “Aku kok, nggak tahu kalau Bunda sudah pulang.”
Ayyara menundukkan kepala, menatap Tsabita yang sedang mendongakkan kepala sambil memeluk pahanya. Dia berusaha untuk tersenyum, lalu melepaskan pelukannya dan berjongkok di hadapan Tsabita. “Maaf, ya Sayang … Bunda tadi sedikit pusing, jadi langsung masuk kamar tanpa menyapa dulu Tsa sama Abang.”
“Kepala Bunda sakit lagi?” tanyanya yang dijawab gelengan kepala oleh Ayyara.
Tsabita kembali memeluk ibunya. “Ya sudah, Bunda istirahat lagi saja.”
Ayyara memejamkan mata sembari memeluk erat putrinya. Dia berusaha menata hatinya yang masih bergejolak agar air mata itu tak kembali tumpah di hadapan Tsabita. “Nggak apa-apa, kok. Bunda sudah sehat lagi setelah Tsa peluk,” akunya bohong. “Abang Zay, mana?”
Tsabita melepas pelukannya. “Abang masih di dapur sama Ayah. Bunda mau makan sekarang?”
Ayyara mengerutkan kening. ‘Jadi, daritadi dia nggak pergi?’ Ayyara membatin.
“Bunda, ditanya kok, diam saja?” Tsabita menepuk pundak ibunya.
“Eh, iya, maaf. Ayo, kita makan sekarang.” Ayyara bangkit, lalu saling berpegangan tangan dengan putri kesayangannya itu menuju ruang makan.
Sampai di sana, Ayyara melihat Zayyan sedang duduk di depan beraneka masakan yang tersaji di atas meja dengan wajah cemberut. “Ayahnya mana, Bang?” tanya Ayyara sambil celingukan mencari sang suami.
“Pergi, barusan Ayah dapat telpon, katanya ada urusan penting di kantor.”
Ayyara menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruangan tersebut. Waktu menujukkan pukul 17:30. ‘Urusan apa? Orang lain pulang, ini malah balik lagi,’ gerutu Ayyara dalam hati.
Keluarga kecil ini memang membiasakan makan malamnya sebelum maghrib, kecuali kalau ada acara tertentu atau kedatangan tamu di rumah mereka.
Mengingat kesibukan Abyan di kantor membuatnya menjadi orang yang paling sering melewatkan momen ini. Jadi, pantas saja kalau kali ini Zayyan cemberut karena harus kembali kehilangan kesempatan makan malam lengkap sekeluarga.
“Mungkin memang kerjaan Ayah sangat mendesak. Kita makan duluan aja,” ajak Ayyara. “Jangan ngambek terus, dong Bang … kan, Ayah sudah masakin banyak buat kita.” Dia mencoba menghibur putranya itu.
Zayyan pun mengangguk sambil tersenyum. Ketiganya kemudian, makan bersama sambil sesekali bercerita tentang kegiatan mereka hari itu. Sementara Abyan, baru tiba kembali di kantornya yang berada di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan pada pukul 18:35.
“Malam, Pak Lee!” sapa satu dari dua satpam yang sedang berjaga saat Abyan akan memasuki lobi. “Kok, balik lagi, Pak?”
“Malam Pak Her … iya, nih, ada urusan mendesak.” Abyan memjawab pertanyaan tersebut dengan sangat ramah. “Mari, Pak … saya langsung ke atas.”
Satpam itu hanya mengangguk dan tersenyum dengan badan sedikit membungkuk dan posisi tangan mempersilakan.
“Her, memang Pak Lee selalu ramah begitu kalau disapa?” tanya Nono. Dia sebagai satpam baru, cukup penasaran melihat sikap bosnya itu.
“Justru itu salah satu alasan Pak Lee sangat disukai para karyawan. Sikapnya sangat ramah, tidak membedakan orang berdasarkan statusnya,” jawab Heri sambil tersenyum.
“Dia sudah berkeluarga?” Nono masih penasaran. “Kelihatannya masih muda.”
“Iya, baru 28 tahun. Dia sudah menikah dan punya anak … dua malah. Meskipun ramah, tapi Pak Lee itu terlihat menjaga batasan dengan karyawan perempuan.” Heri menjelaskan sembari matanya mengekori langkah Abyan yang sekarang sudah menghilang di balik pintu lift.
Abyan menuju lantai 15, di mana ruangannya berada. Sampai di sana, sudah ada Hardi, rekan kerja sekaligus sahabat baiknya sejak kuliah dulu.
“Gue salat Maghrib dulu,” ujar Abyan begitu memasuki ruangan. Dia langsung menuju ruang pribadi yang berada di belakang meja kerjanya.
“Oh, oke, kalau gitu gue pastiin dulu staf inti bisa langsung stand by di ruang meeting jam tujuh nanti.” Hardi menanggapi sembari bersiap mengetikkan informasi tersebut ke timnya.
“Jam setengah delapan atau delapan kurang lima belaslah, gue mau makan dulu. Lapar! Lo, tolong sekalian orderin makanan yang deket sini-sini saja, biar cepat!” titah Abyan sebelum masuk ruang pribadinya.
“Wuih, tahu aja lo … kalau gue juga belum makan,” celetuknya sambil mesem-mesem. Hardi langsung memesan makanan siap antar untuk menu makan malam keduanya.
Dia memilih masakan khas Indonesia, kebetulan lokasi restorannya berada di samping gedung tersebut. Inilah salah satu keuntungan berkantor di kompleks gedung yang berada pada pusat bisnis Sudirman, memiliki kemudahan mengakses beragam fasilitas termasuk urusan makanan dan minuman.
Setelah selesai salat, Abyan masih sempat meluruskan badannya di kursi santai yang ada di ruang pribadinya tersebut. Awalnya, dalam ruangan itu hanya ada kamar mandi dan lemari pakaian untuk baju ganti, tapi kemudian Abyan menambahkan sofa santai hanya untuk sekedar rebahan mengusir penat.
Abyan keluar saat Hardi memanggilnya karena makanan sudah datang. “Pesan apa, lo?” tanya Abyan sambil mengancingkan kembali lengan kemeja panjangnya. Dia menyugar rambut gondrongnya yang masih terlihat basah sisa-sisa air wudhu.
“Nasi goreng kambing buat lo, kalau gue nasi goreng rendang.” Hardi mengatakan itu sambil menyodorkan kotak makannya pada Abyan yang sekarang sudah duduk di depannya. “Oh, iya, gue juga pesan wedang uwuh buat lo.” Dia mengacungkan segelas minuman rempah.
“Wuih, thanks Har, tahu aja kalau gue lagi butuh yang hangat-hangat.” Abyan langsung meraih gelas tersebut dan meneguknya.
“Tahulah, pas datang lihat muka lo suntuk gitu pasti butuh kehangatan, hahaha.” Hardi tergelak puas, menggoda sahabatnya itu.
Abyan menarik napas dalam. Kemudian, dia mulai menyuapkan nasi gorengnya ke dalam mulut, tapi matanya menerawang jauh.
“Kenapa lagi, sih, lo?” Hardi mulai melancarkan interogasinya.
“Ayya ngamuk,” jawabnya singkat.
“Sebab?” Hardi menatap sahabatnya itu, tapi mulutnya tetap mengunyah.
Abyan kembali menarik napas. “Dia tahu kalau sebulan lalu gue telat jemput ke rumah sakit gara-gara ketemuan dulu sama Lidya.”
Hardi berdecak sambil meletakkan sendoknya agak kasar. “Kan, gue sudah pernah ngingetin lo soal ini. Jangan main api kalau lo nggak mau kebakar!”
Abyan pun meletakkan sendoknya. Menatap Hardi, menghela napas sambil menyadarkan punggungnya ke sandaran sofa. “Tapi, lo juga tahu, Har … gue nggak pernah bermaksud mengkhianati Ayya.”
Hardi mangangguk-anggukan kepala. “Ya, ya, gue tahu, tapi orang lain yang lihat nggak akan percaya begitu saja. Buktinya, bini gue saja curiga.”
Abyan langsung menoleh, menatap Hardi dengan sorot mata curiga. “Maksud lo?”
Hardi memang bukan hanya sahabat yang baik buat Abyan. Dia juga partner bisnis yang sangat loyal. Bahkan, untuk urusan pribadi pun, sahabatnya ini akan tutup mulut termasuk pada istrinya sendiri.
“Sebulan lalu, dia pernah tanya gue, apa lo lagi dekat sama cewek lain?”
Abyan mengerutkan dahi. “Sebulan lalu? Jangan-jangan bini lo juga yang ngasih foto itu ke Ayya?”
“Tunggu, tunggu! Sekarang, malah jadi gue yang nggak paham. Maksud lo, gimana?” Hardi balik bertanya dengan ekspresi bingung.
“Jadi, sebulan lalu pas jadwal Ayya keluar rumah sakit, gue sempat ketemuan duiu sama Lidya di kafe daerah Sentul. Nah, pas gue mau balik, sebelum buka pintu kafe tuh, berasa kayak ada yang lihatin gitu. Tapi, waktu gue cek nggak ada yang kenal juga.” Abyan berbicara sambil mengingat kejadian detail siang menjelang sore waktu itu.
“Terus?” Hardi tak sabar.
“Nah, foto-foto yang tadi ditunjukkan Ayya itu, angelnya dari arah dekat pintu keluar masuk kafe. Gue curiga, jangan-jangan ada hubungannya sama bini lo?” Abyan mencoba menganalisa.
Hardi terlihat sedang berpikir. “Bisa jadi, sih,” tanggapnya sambil manggut-manggut, “soalnya sejak itu, dia jadi sering kepoin kegiatan gue sama lo. Dia juga lumayan bawel tanya-tanya klien kita siapa saja?” Hardi mengucapkan itu sambil memperhatikan gerak-gerik sahabatnya ini.
Abyan malah terlihat cuek. Dia sudah menyelesaikan makannya dan tengah membereskan kotak kemasan makanan tadi. “Tapi, lo nggak jawab yang aneh-aneh, kan?” tanyanya sembari berjalan ke arah jendela besar di ruangan tersebut. Lalu, dia berdiri mematung di sana sambil menikmati pemandangan kota Jakarta di malam hari.
“Ya, gue jawab jujurlah soal siapa klien kita—”
“Termasuk soal Lidya?” Abyan memotong ucapan Hardi.
“Nggak sebut nama, sih … gue cuma bilang, ada juga yang pemilik bisnisnya itu perempuan,” jawab Hardi. “Memang, sebenarnya hubungan lo sama Lidya itu macam mana, sih?”
Abyan terdiam untuk beberapa saat. “Awalnya, memang murni urusan kerjaan, tapi—”
“Tapi, apa?” sambar Hardi sedikit deg-degan. Dia khawatir sahabatnya ini salah langkah.
Tinggalkan Komentar