“Kalau begitu, aku ke sana sekarang, Sayang,” kata Fadli begitu mendapat kabar bahwa anaknya harus dirawat inap di rumah sakit.
“Enggak usah, Sayang. Aku tadi sudah berjaga-jaga dan membawa perlengkapan Ihsan. Aku juga sudah membawa beberapa popok untuk Ihsan. Kamu santai saja. Untuk makan nanti, aku bisa membeli di sekitar sini atau memesan melalui aplikasi.” Faik berusaha menenangkan suaminya yang sepertinya langsung panik begitu mendengar kabar anaknya. “Aku minta tolong padamu untuk mengantarkan baju ganti untukku saja sepulangnya kamu dari kantor. Jangan lupa untuk membawa baju dalamku juga. Selain itu, aku juga mau dibawakan peralatan mandi. Aku masih belum tahu Ihsan akan dirawat berapa lama di sini. Kamarnya Ihsan juga cukup nyaman. Ada kamar mandi di dalam dengan pancuran air yang bisa digunakan untuk mandi. Tadi aku juga sudah mengecek ketersediaan air hangat di kamar mandinya. Kamu tenang saja, Sayang.” Faik tersenyum pada suaminya melalui panggilan video itu. “Aku yang minta maaf karena tidak bisa mengurusmu selama Ihsan di sini.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sayang, aku yakin kamu sudah cukup repot mengurus Ihsan di sana. Enggak usah mikir yang lain dulu. Aku orang dewasa dan dalam keadaan sehat. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Bagaimana keadaan Ihsan sekarang?” tanya Fadli.
Faik mengarahkan kamera telepon genggamnya pada anaknya yang sudah tertidur pulas di gendongannya. “Lihat, dia sudah tertidur pulas. Tadi perawat sudah memberikan obat penurun panas melalui pantatnya. Sekarang, dia sudah enggak demam.” Dia mengelap dahi anaknya yang basah karena keringat dengan sapu tangan bayi. “Oh iya, aku juga minta tolong untuk mengambilkan beberapa mainan Ihsan. Ihsan lagi suka main mobil-mobilan dan buku kainnya. Lalu, tolong bawakan popok Ihsan juga. Popok yang kubawa sepertinya hanya cukup sampai nanti malam.”
“Sebentar, Sayang. Pesananmu banyak sekali. Aku tulis dulu semua pesananmu.” Fadli mengambil kertas memo dan mulai mencatat semua pesanan istrinya. Faik tertawa pelan dan mengulang lagi mengatakan apa saja pesanannya satu per satu.
Mereka pun akhirnya memutuskan sambungan telepon setelah Faik berpesan agar mereka tidak perlu menghubungi Bu Atikah. Faik tidak ingin membuat ibu mertuanya itu terlalu khawatir. Lagipula, Ihsan tidak bisa dijenguk.
Setelah menutup telepon, salah seorang rekan kerja Fadli memanggilnya. Rekannya itu meminta Fadli untuk melihat laporan penjualan yang sedang diselesaikannya dan meminta pertimbangan pada Fadli apakah ada hal lain yang perlu ditambahkannya. Fadli merasa laporan itu sudah cukup jelas dan meminta rekannya itu untuk mengirimkannya padanya agar ia bisa menggabungkannya dengan data-data lain yang dipegangnya untuk selanjutnya dilaporkan pada atasannya.
Fadli kembali ke mejanya setelah urusan dengan rekan kerjanya selesai. Ia membuka berkas yang berisi data penjualan barang dalam beberapa tahun yang lalu. Ia harus segera menyelesaikan laporan ini karena atasannya sudah memintanya setelah ia selesai menyampaikan presentasinya tadi. Akan tetapi, otaknya tidak bisa diajak bekerja sama.
Fadli memikirkan anaknya. Tadi Faik menyebutkan bahwa Ihsan terkena penyakit karena terinfeksi virus. Selama ini Ihsan selalu dijaga Faik dengan sebaik-baiknya. Fadli bertanya-tanya sendiri dari mana Ihsan bisa tertular penyakit itu.
‘Jangan-jangan Ihsan tertular saat dia ikut denganku dan Faik sewaktu menghadiri pesta pernikahan Robi seminggu lalu itu.’ Fadli bergumam dalam hati. ‘Waktu itu memang tidak ada yang terlihat memiliki ruam-ruam seperti yang dimiliki Ihsan, tapi siapa yang tahu.’
Fadli mengembuskan napas keras, ‘Bodohnya aku. Waktu itu Faik sudah meminta agar dia tidak usah ikut saja dengan Ihsan. Tapi aku malah memaksanya. Sekarang, Ihsan jadi sakit begini. Ini semua salahku. Apa yang sudah kulakukan?’ Dia menutup mukanya dengan kedua tangan karena merasa sangat frustasi. ‘Seharusnya aku tidak sok tahu dengan mengatakan bahwa Ihsan tidak akan kenapa-napa kalau hanya ikut kami menghadiri pernikahan. Jelas, ini semua salahku. Mungkin memang kata Mama. Peranku saat ini yang utama adalah sebagai pencari nafkah.’
Fadli menyisir rambutnya dengan kedua tangannya. ‘Mungkin memang tugasku yang utama saat ini adalah mencari nafkah sebanyak-banyaknya agar bisa membuat istri dan anakku hidup nyaman. Mungkin aku juga perlu mencarikan pengasuh bayi yang benar-benar berilmu dan berpengalaman untuk membantu Faik agar ia tidak kerepotan mengasuh Ihsan sendiri.’ Ia tertawa hambar, ‘Aku bahkan sebenarnya selama ini tidak tahu apa yang harus kulakukan saat mengasuh Ihsan. Mungkin sebaiknya aku memang tidak perlu sok tahu dan menyerahkan saja urusan pengasuhan ini kepada orang yang benar-benar ahli di bidangnya.’
Fadli berusaha memantapkan dirinya walaupun ia sebenarnya juga merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dengan keputusannya ini. ‘Ya. Aku akan bekerja lebih keras. Biaya pengasuh bayi yang benar-benar berkompeten tidaklah murah. Nanti aku akan bertanya juga pada teman-taman yang sudah berkeluarga tentang cara mereka untuk menemukan pengasuh bayi yang bagus.’
Halaman : 1 2 Selanjutnya