Novel : Bertahan di Atas Luka Part 37
Amira Dzakiya
Sejak itu hari-hariku menjadi lebih berwarna. Hatiku berbunga oleh segala bentuk perhatian Pras. Ia penuh dengan kejutan menyenangkan. Setiap pagi selalu ada pesan di ponsel sekedar mengingatkan supaya aku tidak lupa makan dan selalu menjaga kesehatan. Ia juga selalu memberi tahu kegiatannya hari itu. Bahkan ia sering mengirim hadiah-hadiah kecil, seperti makanan kesukaanku, es krim, atau jus segar. Semua itu membuatku seperti berada di atas awan, terbang tak menjejak bumi, dan melupakan semua luka dan masalahku.
Kami juga sering keluar bersama, sekedar makan dan berbincang. Seperti hari itu, kami pergi untuk menemui orang dari katering karena Sasha tidak bisa menemuinya. Adikku itu ada rapat penting. Sasha dan Bintang akhirnya memutuskan untuk segera menikah. Aku sangat bersyukur karena ia mau mendengarkan saran dan nasihatku. Bintang juga pemuda yang baik. Ia sudah lama ingin melamar Sasha, tapi belum punya keberanian untuk mengatakannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku memutuskan mengajak Pras untuk menemaniku. Semua berjalan lancar, hingga dalam perjalanan pulang, aku menerima beberapa kali panggilan telepon. Awalnya aku tidak mendengar karena ponsel ada di dalam tas. Namun, karena harus mengirim pesan ke Sasha, aku mengambil ponsel dan saat itulah ada panggilan telepon masuk. Ternyata dari Mas Bayu! Tentu saja aku terkejut. Tumben ia menelepon di saat jam kantor.
Aku segera mengangkatnya dan mengatakan kalau berada di rumah, memang saat itu aku baru saja sampai. Masalahnya, aku tidak tahu kalau ternyata Mas Bayu sudah ada di teras, terkunci di luar karena rumah kosong. Itu yang membuatnya kesal. Rasa kesal yang berubah menjadi amarah ketika melihat aku pulang bersama Pras! Mas Bayu murka! Aku bisa melihat perubahan wajahnya. Mata sipitnya memandangku tajam dan rahangnya mengeras dengan napas memburu. Pras yang serba salah segera pamit pulang. Aku pun membuka pintu dan bersiap-siap akan ada perang besar malam ini.
Tiba-tiba suara Shanaz membangunkanku. Aku tergagap dan melihat jam. Sudah lewat waktu Isya. Ternyata selesai salat Magrib tadi aku melamun hingga tertidur.
“Mbak! Mbak Mir, bangun!” Suara Shanaz mengetuk pintu.
“Ya, Naz.”
“Mbak belum makan. Yuk, makan dulu! Itu udah ditunggu Mas Bayu.”
Aku menghapus sisa air mata, lalu perlahan membuka pintu. Shanaz memandangku penuh keheranan.
“Kok, salat di kamar Ibu? Kan ada Mas Bayu?” tanyanya dengan kening berkerut. Namun, ketika melihatku hanya membisu, ia berhenti bertanya. Shanaz pasti bisa melihat sisa-sisa air mata di mataku yang bengkak. Adikku itu mengerti dan tidak akan bertanya lagi sampai aku bercerita sendiri.
Di meja makan kulihat Mas Bayu sedang menikmati hidangan makan malam. Untunglah, sebelum aku pergi tadi siang, aku sempat memasak. Aku duduk di depan Mas Bayu. Ia bahkan tidak memandangku, hanya sibuk dengan makanan yang ada di piringnya. Shanaz menyendok nasi, mengambil lauk, dan pamit untuk ke kamar.
“Maaf, aku tinggal ya, Mas. Ada film bagus di Netflix, pingin nonton sambil makan.”
“Iya, Naz. Film apa?” tanya Mas Bayu memandang adikku.
“The Notebook.”
“Tentang apa, tuh? Mas udah lama banget nggak pernah nonton. Nggak sempet. Sibuk cari nafkah,” jawab Mas Bayu sambil melirikku.
“Nanti nonton aja sama Mbak Mir. Kayaknya kisah roman gitu, Mas. Cinta sejati,” sahut Shanaz. “Cocok deh buat Mas sama Mbak, biar tetap romantis sampai tua!” imbuhnya lagi sambil terkekeh.
Aku tersenyum kecut, tapi tak urung wajahku terasa hangat.
“Besok aku ke rumah Depok. Biar lebih konsentrasi kerja,” kata Mas Bayu sambil lalu. Ia menyudahi makannya dan bergegas masuk kamar, meninggalkanku sendirian.
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Tiba-tiba selera makanku hilang. Aku segera menyimpan piring dan bergegas menyusul Mas Bayu ke kamar.
“Kamu memang ada kerjaan apa di sini, Mas?” tanyaku takut-takut.
Mas Bayu tak menjawab. Ia sibuk dengan laptopnya.
“Mas!” Aku tak menyerah. Biarlah kalau ia masih mau menumpahkan amarahnya.
“Pak Abdurrahman punya rencana membuka restoran timur tengah di Jakarta dan ia memintaku untuk menjadi penanggung jawabnya,” jawab Mas Bayu singkat.
Mataku terbeliak antara percaya dan tidak. Bagaimana mungkin semuanya seperti sebuah kebetulan? Aku bukan orang yang percaya kebetulan. Ini pasti sudah jalan Allah sebagai jawaban atas masalahku dan Mas Bayu. Cara Allah memberikan jalan keluar dari ujian pernikahanku.
“Kenapa diam? Kaget, ya? Nggak sesuai rencana kamu yang mau melarikan diri dariku?” Suara Mas Bayu memecah keheningan.
“Aku nggak melarikan diri! Aku sedang ingin introspeksi aja.”
“Introspeksi sama Pras? Introspeksi apa? Kadar cinta kamu? Karena sekarang ada dua lelaki dalam hidupmu? Ingat, Mir, aku masih suamimu!”
Dadaku bergemuruh mendengar tuduhan-tuduhan suamiku.
“Besok kamu nggak usah ikut ke Depok. Kamu kan ingin lepas dariku, ya sudah tetap di sini aja. Aku juga butuh waktu untuk sendiri. Kamu juga kan ingin intropeksi.”
Hatiku terasa disiram air es mendengar suara dingin Mas Bayu.
“Perlu aku tegaskan sekali lagi, Mas, aku tidak ada hubungan apa-apa sama Pras. Kami hanya berteman, sahabat lama. Lagipula, cinta Pras hanya pada Safira. Jadi tolong berhenti menuduhku yang nggak-nggak!” Akhirnya aku beranikan diri untuk bersuara.
Halaman : 1 2 Selanjutnya