“Lho? Mas kenapa?” Ratih terkejut melihat suaminya yang pulang dengan wajah merah. Lelaki itu juga terlihat lemas seperti orang yang sedang sakit.
Buru-buru dia meletakkan sapu dan menghampiri suaminya itu. Dipeluknya lelaki kekar bertubuh jangkung itu dengan lembut. Eh, lelaki itu langsung terisak.
Tidak biasanya Surya pulang dalam keadaan seperti ini. Lagi pula, ini masih pukul tiga. Biasanya, Surya selalu pulang pukul lima atau malah tengah malam baru pulang. Katanya lembur sebagai bentuk loyalitas untuk perusahaan itu penting sekali. Ratih yang harus mengerti posisi suaminya.
Lalu, kenapa hari ini Surya malah pulang terlalu cepat, sambil menangis pula.
“Mas dipecat?” tanyanya pelan dengan khawatir.
“Bu-bukan,” jawab suaminya yang sudah terisak.
“Terus? Kenapa, Mas?” Dia membelai lengan suaminya. “Cerita aja, Mas. Apa pun itu, aku akan berusaha memahami semua cerita Mas.”
Lelaki itu menarik napas dalam. “Sani meninggal, Tih.”
“Sani yang mantan kamu itu?”
“Iya, Tih.”
“Innalilillahi wainna illaihi rojiun. Gimana meninggalnya, Mas?” Ratih menggandeng tangan suaminya ke sofa dan buru-buru mengambil es teh dari dalam kulkas. “Minum dulu, baru cerita, Mas. Kasih Mas baru pulang ini.”
“Makasih, Tih.”
Perempuan muda itu mengangguk. Dia membiarkan suaminya menenggak teh manis itu banyak-banyak dulu, baru meminta suaminya untuk melanjutkan cerita sedih itu lagi.
“Mereka nemuin Sani di kos-kosannya sudah busuk. Tiga hari ini Sani nggak ada hubungi aku. Kukira, dia sudah balikan sama pacarnya yang itu. Ternyata dia malah mati, Tih. Astaga! Aku sama sekali nggak ngira. Katanya si Sani minum racun. Ada racun di dekatnya dan ada surat yang bilang maaf. Aku nggak ngerti. Kenapa juga dia sampai bunuh diri gitu?”
Ratih menepuk punggung tangan suaminya dengan lembut. “Sudah. Kita nggak tahu apa yang dipikirkan orang lain. Mending sekarang Mas ganti baju dulu. Kita obrolin lagi ini nanti. Mau mandi sekalian? Tadi kelihatannya Mas Syok banget gitu. Siapa tahu habis mandi jadi segeran lagi, Mas.”
Surya mengangguk. “Iya. Aku mandi dulu. Jujur aja, kepalaku sudah sebulan ini sering sakit nggak jelas.”
“Nanti kupijat, Mas. Gampang itu. Paling kecapekan. Mas sering pulang malam kemarin, kan?”
“Iya. Makasih, ya,” ucap Surya dengan senyum tulus, bahagia.
“Aku siapin baju gantinya. Habis ini kita minum kopi di belakang sambil ngobrol, ya. Mas ceritain apa aja ke aku. Siapa tahu Mas jadi enakan habis ini.”
Surya mengangguk setuju. Dia bahagia sekali bisa memiliki istri yang pengertian seperti Ratih. Dia pikir Ratih akan mengamuk saat melihatnya menangisi Sani, seperti saat melihat isi chat dengan Sani dulu.
Suami mana yang tidak senang melihat istrinya telah belajar banyak dan berubah menjadi lebih bijak? Sejak mengetahui chat mesra antara dia dengan Sani, Ratih tidak berhenti marah. Namun, sudah semingguan ini–mungkin juga lebih–Ratih bersikap sebaliknya. Dia jadi periang dan sangat ramah padanya.
Setelah mandi, dia melihat Ratih mengaduk kopi sambil menyiapkan pisang goreng untuknya. Dia membatin, ‘Mungkin ada hikmahnya kematian Sani ini. Aku bisa kembali pada istriku.’
Buru-buru Surya memakai kaus dan celana pendek yang biasa dia pakai di rumah. Dia ingin berbicara dengan Ratih lagi. Dia ingin menumpahkan semua yang ada di dalam kepalanya pada perempuan keibuan itu. Istrinya sudah menjadi sosok yang sangat menyenangkan, sosok yang bukan hanya memikirkan tentang anak-anak saja.
Sementara itu, Ratih yang sedang bersenandung lirih tersenyum bahagia melihat sajian yang telah disiapkannya. Tidak percuma dia merencanakan semua sampai tidak bisa tidur. Tidak ada yang mencurigainya. Tidak ada yang akan menyangkutpautkannya dengan kematian Sani.
Dia memilih waktu yang tepat untuk bertamu. Dengan suara lemah lembut dia meminta gadis itu menuliskan kata “maaf” dan meminum racun yang dia sebut sebagai vitamin kecantikan yang aman itu.
“Hati-hati, orang yang hamil biasanya bisa jadi jelek. Kalau kamu jelek, nanti Mas Surya bisa nyari yang lain. Kan aku juga yang susah. Kalau jelas Mas Surya mainnya cuma sama kamu kan enak. Aku bisa tahu kalau dia nggak bawa penyakit ke rumah,” kata Ratih dengan senyum lebar sampai membuat Sani terpana. “Sudah kubersihkan botol ini. Kamu bisa minum. Pastikan semua yang masuk ke tubuhmu steril, ya,” ucap perempuan itu lagi setelah membersihkan sidik jarinya dari botol kaca kecil itu.
Semua yang dilakukan benar-benar bersih.
Kini, hanya tinggal menunggu suaminya itu saja. Racun yang dia berikan sedikit demi sedikit di dalam teh dan kopi setiap hari suatu saat akan menghancurkan tubuh pengkhianat itu. Dia hanya perlu menunggu dengan sabar sampai semua racun itu merusak darah dan jantung suaminnya.
Ratih duduk di halaman belakang. Dua tangannya di paha. Dia tersenyum saat suaminya datang, senyum yang sama yang dia perlihatkan saat Sani mengakui kehamilannya.
Surya menatap istrinya cukup lama. Dia jadi memikirkan apa yang nyaris saja dibuangnya. Dalam hati, dia benar-benar bersyukur memiliki istri yang mau menerimanya kembali.
“Terima kasih, ya, sudah jadi istri yang sabar,” ucap Surya dengan kesungguhan yang mmebuat dirinya sendiri terharu.
Tinggalkan Komentar