“Yaitu, kamu itu, lho! Masa umur segini nggak punya pacar? Kamu kan seharusnya sekarang ini bisa gandengan sama cowok gitu. Kamu itu cantik, sukses. Mobil kamu punya, rumah juga ada. Apa lagi yang kurang?”
Aku cuma bisa tertawa saat mendengar ucapan Bude Mira itu. Belum sempat aku memberikan tanggapan, Bude Tini ikut menyambung pernyataan itu dengan pemikirannya sendiri.
“Kalau kamu terus mikirin soal nyari orang yang sempurna, jelas nggak akan bisa dapat suami sampai umur berapa pun, Nduk. Jangan nyari yang sempurna. Pokoknya, kalau kamu merasa ada yang cocok, langsung tangkap,” kata Bude Tini yang langsung ditanggapi dengan persetujuan Bude Mira.
“Bener! Kalau bisa, langsung kamu ikat. Jangan biarkan kabur pokoknya. Umurmu sudah tiga puluhan. Sudah saatnya kamu mikirin soal keturunan. Nanti kalau kamu sibuk kerja terus, keburu kering itu rahim. Ngerti?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bener, Ri. Kami ngomong begini karena peduli sama kamu. Hidup ini harus diupayakan. Laki-laki itu mau berapa pun umurnya pas nikah, ya, pas aja, nggak ada yang namanya expired. Kalau perempuan, aduh … umur tiga lima aja sudah nggak bisa beranak, Ri.”
“Lagian, Ri, mau sampai kapan kamu sendirian? Nggak kesepian apa di rumah sendirian? Rumahmu besar gini, masa mau hidup sendirian terus?”
Aku mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Iya, Bude. Riri ngerti,” jawabku, benar-benar berusaha untuk memasukkan omongan bude-bude itu ke dalam kepala.
Tentu saja aku sadar kalau aku salah. Selama ini aku sama sekali tidak memikirkan tentang pernikahan. Bagiku, pernikahan itu nomor kesekian
. Sejak kedua orang tuaku bercerai dan aku tinggal bergantian di rumah Ayah dan Ibu, yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya belajar dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Aku ingin punya rumah yang hanya milikku sendiri agar aku bisa tidur dengan tenang tanpa mendengar suara yang menyesakkan hati.
Yah, kurasa para budeku tidak tahu kalau setiap hari yang kudengar di rumah ayahku adalah sindiran dari ibu tiriku yang tidak senang aku tinggal di sana. Di rumah ibuku malah lebih parah. Saudara tiriku sering berkata kalau aku ini tidak pantas menjadi bagian dari keluarga mereka.
Lalu, aku harus jadi keluarga siapa?
Daripada aku terus memikirkan tentang mereka, lebih baik aku berpikir tentang kehidupanku sendiri. Setiap hari aku bekerja keras agar bisa mendapatkan beasiswa. Aku tidak mau meminta uang terus pada mereka karena aku tahu mereka sudah punya keluarga sendiri. Aku hanya beban dalam rumah mereka.
Guruku di SMA juga pernah berkata kalau aku memang seharusnya mandiri. Aku harus membuktikan pada mereka kalau aku bisa jadi anak yang membanggakan orang tua.
Semua rasa kesepian dan sakit hati yang dulu kutelan bulat-bulat sekarang memberikan hasil luar biasa. Aku bisa menjadi akuntan dan mendapatkan klien orang-orang hebat. Penghasilanku bisa mencapai ratusan juta untuk satu proyek pembuatan atau modifikasi laporan keuangan. Harus kuakui, ada banyak sekali pengusaha yang ingin laporan keuangan mereka dimodifikasi agar mereka bisa menghindari pajak yang bikin gila. Ada juga direktur yang ingin menyembunyikan penggelapan uang dari pemilik perusahaan dan auditor.
Kata-kata bude membuatku memikirkan kembali hidupku. Memang benar, aku kesepian. Setiap malam aku selalu berpikir tentang orang yang bisa kuajak berbicara.
Tapi, bagaimana caraku mendapatkan lelaki untuk kuajak tinggal di rumah? Aku sama sekali tidak pernah punya pacar. Bagaimana kalau orang itu ternyata meninggalkanku atau berselingkuh seperti Ayah?
“Udah, nggak usah mikir yang jelek. Kamu cari aja cowok yang kamu suka, langsung ajak ke rumah. Kalau dia mau, langsung ikat biar nggak lepas lagi. Kalau ayahmu itu rewel soal nikahkan kamu, ya nanti aja nikahnya. Paling nggak kamu nggak bakalan kesepian lagi di rumah,” begitu petunjuk yang diberikan Bude Tini saat aku bertanya cara mendapatkan lelaki yang baik.
Dari petunjuk itulah aku akhirnya memberanikan diri mengajak Pak Ziyad datang ke rumahku. Awalnya dia memang menolak, tapi aku berhasil meyakinkannya.“Cuma acara kecil, kok. Mungkin makan malam karena Pak Ziyad sudah menjadi klien yang sudah beberapa kali menggunakan jasa saya. Yah, semacam syukuran, Pak.” Aku berusaha memberikan senyum terbaikku.
“Tapi …,” Pak Ziyad menarik napas dalam, seperti orang yang sedang berpikir keras, “saya sudah tunangan, lho.”
“Terus kenapa memangnya, Pak? Saya kan nggak mau jadi tunangan Bapak.”
Dai mengerjap sebentar. “Oke. Oke. Saya minta maaf. Saya pikir kamu mau … ah, sudahlah. Baik, saya akan datang nanti malam.”
Aku mengangguk. “Terima kasih banyak, Pak. Saya hargai kesediaan Bapak untuk datang ke rumah saya,” ucapku dengan senyum lebar, senang sekali.
Ternyata memang benar kata Bude Tini, mudah sekali mengajak orang datang ke rumah. Tinggal sekarang, apa yang harus kulakukan untuk membuat Pak Ziyad tetap berada di rumahku untuk menemaniku?
Aku berdandan cantik, bahkan ke salon untuk melakukan perawatan rambut, wajah, dan tubuh. Aku menggunakan parfum dengan aroma vanila yang katanya seksi dan disukai sama lelaki. Aku juga menggunakan pakaian yang menurut penjaga toko seksi; gaun panjang dengan belahan tinggi sampai ke paha dan belahan dada yang rendah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya