Novel : Bertahan di Atas Luka Part 30
Amira Dzakiya
Aku setuju pergi makan malam untuk menghibur diri. Kami makan di restoran mi yang sederhana, tapi terkenal enak. Mas Bayu memilih tempat dekat jendela kaca, sehingga kami bisa menikmati kelap-kelip lampu dan pemandangan kota Depok di waktu malam. Pengunjung yang beragam—dari pasangan kekasih, suami istri, dan keluarga—memenuhi restoran bernuansa minimalis ini. Mereka bersenda gurau dan asyik bercengkerama, terlihat bahagia menikmati hidangan dan suasana restoran yang nyaman.
“Kamu serius mau kerja lagi, Mir?” Tiba-tiba Mas Bayu bertanya setelah memesan makanan.
Aku terkejut. Kutatap mata sipitnya, mencari kesungguhan di sana.
“Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu, Mas?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Dari kata-katamu tadi sore, aku jadi kepikiran kalau aku memang terlalu memaksakan kehendak. Kamu benar juga, dari wanita karier yang sibuk …, tiba-tiba harus tinggal di rumah, pasti ada rasa tertekan. Makanya aku berpikir, apa kamu benar mau kerja lagi?” Mas Bayu menarik napas sebelum melanjutkan, “Tapi mungkin kamu bisa cari pekerjaan yang tidak full di kantor. Jadi semacam freelance gitu.”
Aku masih tidak bersuara. Kuaduk mi ayam di depanku untuk menghilangkan rasa bingung. Kenapa tiba-tiba Mas Bayu begitu baik sampai mengizinkan aku kerja kembali?
“Gimana, Mir? Kalau nggak mau ya, nggak apa-apa. Kamu kan masih bisa lanjutin sekolah Bahasa Arab nanti,” lanjutnya.
“Kerjaan freelance apa kalau aku di Riyadh?”
“Kamu bisa ngajar private Bahasa Inggris anak-anak Indonesia, atau bisa bantu-bantu di sekolah Indonesia. Apa aja, yang penting kamu bisa ada kegiatan lagi,” tutur Mas Bayu sambil menikmati mi ayamnya. “Bisa juga kerjaan yang online, jadi kamu bisa kerja dari mana aja.”
“Kok jadi berubah gini? Dulu kamu yang nyuruh aku berhenti, sekarang malah nyaranin aku cari kerja. Ada apa, Mas?” Aku tak kuasa menahan rasa penasaran.
Mas Bayu meletakkan sendok dan memandangku.
“Kamu ini aneh, suami udah kasih kesempatan untuk bikin kamu senang, bukannya terima kasih malah nggak berhenti nanya,” ucapnya mulai ketus, “jangan sampai aku berubah pikiran, Mir!”
“Nah, kan mulai galak lagi. Aku kan cuma tanya, Mas. Soalnya aneh aja, kok tiba-tiba kamu berubah sikap.”
“Aku berusaha jadi suami yang baik, seperti yang kamu mau,” kata Mas Bayu singkat.
Jadi kamu ingin berubah karena terpaksa, karena mengikuti keinginanku, bukan karena kesadaran sendiri. Kamu nggak harus melakukannya kalau nggak mau, Mas, kataku dalam hati.
“Iya. Makasih, Mas. Sudah mau berkorban untuk aku.” Akhirnya kalimat ini yang keluar. “Besok jadi cari oleh-oleh lagi?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Boleh. Pagi aja, ya, biar nggak macet.”
Aku mengangguk dan menghabiskan makananku.
Hari-hari menjelang kepulangan Mas Bayu, kami lewatkan bersama di rumah Depok. Setiap pagi, ia selalu mengajakku jalan pagi sekaligus mengeratkan kembali hubungan kami. Mas Bayu punya rencana untuk kembali bekerja di Indonesia. Namun, kali ini ia mengajakku bicara soal keinginannya itu. Tentu saja aku merasa terkejut sekaligus senang melihat perubahan yang terjadi padanya.
Akhirnya tiba waktunya Mas Bayu harus kembali ke Riyadh karena cutinya sudah habis. Aku, Ibu dan si kembar mengantarkannya ke bandara.
“Mas, sampai saat ini Ibu dan kedua adikku nggak tahu tentang masalah kita. Mama dan Papamu juga nggak tahu, kan? Kita jaga supaya tetap kayak gini, ya? Mereka nggak perlu tahu.” Aku berkata pelan saat duduk berdua menunggu pesawat Mas Bayu berangkat. Ibu dan si kembar sedang membeli makanan.
Mas Bayu menatapku lama.
“Aku memang tidak ada niat untuk memberi tahu masalah kita karena aku percaya kamu akan kembali padaku—nggak tahu kapan—dan kita akan bahagia seperti dulu. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Semoga setelah lama berlibur di sini dan saat nanti kembali ke Riyadh, pikiranmu sudah lebih terbuka. Kamu sudah bisa memaafkan aku.”
Aku termangu. Kualihkan pandangan kepada orang-orang yang lalu lalang dengan tujuan masing-masing. Ada yang menarik koper kecil sambil bergegas ke tempat check-in, ada juga yang terlihat sedang menghibur keluarga yang dengan berat hati terpaksa melepaskan suami atau istrinya pergi. Setiap pergi ke bandara, aku selalu disuguhi pemandangan yang mengharukan. Pertemuan dan perpisahan memang selalu terjadi dalam kehidupan, melengkapi cerita perjalanan anak manusia.
Mas Bayu melihat jam di tangannya, “Aku masuk sekarang, ya? Takut antre di imigrasi. Kamu baik-baik di sini, renungkan lagi keinginan untuk pisah. Aku masih sayang banget sama kamu dan nggak mau kalau pernikahan kita harus kandas. Percayalah, aku nggak pernah nyalahin kamu karena belum hamil. Buatku, semua itu Allah yang mengatur. Kita hanya bisa berusaha.”
Mas Bayu lalu meraih koper kecilnya dan segera berpamitan pada Ibu, Shanaz, dan Sasha. Kemudian ia mencium lembut keningku. Kubiarkan air mataku mengalir membasahi pipi saat kuraih dan kucium tangannya.
“Hati-hati, ya, Mas! Kita sama-sama berdoa semoga Allah membuka hati kita untuk kembali terpaut dalam cinta. Aku juga masih mencintaimu,” bisikku lirih.
Tinggalkan Komentar