“Ibu bilang apa?” tanya Mas Bayu sambil fokus mengemudi mobil.
“Kata Ibu, aku harus nurut apa kata suami,” jawabku, “meskipun dari hati yang paling dalam aku belum benar-benar ikhlas untuk melepaskan karierku,” lanjutku dalam hati.
“Alhamdulillah. Berarti sekarang tinggal kamu yang harus memutuskan. Kamu udah salat, udah minta nasihat Ibu, seharusnya kamu sudah bisa ambil keputusan,” ujarnya sambil menoleh sejenak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku diam. Entah kenapa, sejak pulang dari rumah Ibu, perasaanku tidak enak. Seperti ada yang salah. Berkali-kali aku berusaha meyakinkan diri sendiri, kalau semua yang aku lakukan hanya ingin mencari rida Allah. Namun, mengapa sukar sekali rasanya untuk ikhlas? Tiba-tiba air mataku mengalir begitu saja.
Mas Bayu melirik, lalu dengan tangan kirinya ia menggenggam tanganku. Aku membiarkannya. Semakin lama, linangan air mataku semakin deras, hingga mengaburkan pandangan. Aku tidak berusaha menyeka mataku, biar saja. Aku ingin mengeluarkan semua rasa kecewa dan marah dari dalam dada. Apakah begini menjadi seorang istri yang belum berhasil hamil? Menjadi manusia yang tidak punya hak untuk bersuara?
“Udah, dong, nangisnya. Kan aku minta kamu berhenti kerja juga untuk kebaikan kita? Supaya kamu nggak perlu capek harus pulang malam, harus lembur ngurus kerjaan. Belum lagi kalau ada yang nggak beres, kamu kena marah.”
Aku masih membisu.
“Jangan khawatir, semua gajiku akan aku kasih ke kamu. Kamu yang pegang dan ngatur semua pengeluaran sehari-hari, termasuk untuk Ibu.”
“Aku nggak enak sama keluargamu. Kan kamu juga harus ngasih Mama sama Papa? Nanti apa kata mereka, kesannya Ibu jadi seperti benalu,” ujarku terbata-bata diantara isak tangis.
Mas Bayu tersenyum.
“Nggak perlu ngomong gitu. Ibumu kan ibuku juga. Kita udah suami istri, keluargamu ya keluargaku. Baik, gini aja, aku ambil untuk Mama dulu, setelah itu kamu simpan. Gimana?”
Ragu aku mengangguk, nggak mungkin terus terang kalau sebenarnya aku juga takut kalau tidak pegang uang. Biasanya kalau mau membeli apa-apa, aku cukup izin Mas Bayu—sekedar memberi tahu saja—untuk memakai uangku sendiri. Aku bisa memutuskan sendiri, tidak perlu minta pada suami. Kalau nanti aku tidak kerja, mau nggak mau aku akan bergantung pada Mas Bayu.
“Dah, stop nangisnya! Jalanin aja dulu, kalau nanti misalnya udah nyoba nggak kerja, tapi malah tertekan, kamu boleh kerja lagi. Aku janji.”
Aku merasa agak terhibur. Alhamdulillah.
“Baiklah, Mas. Setelah selesai acara di kantor, aku akan masukkan surat pengunduran diri. Bismillah, semoga Allah rida dengan keputusanku dan ngasih kita momongan.”
“Aamiin.” Mas Bayu terlihat lega.
Aku mulai menyiapkan diri, terutama menata hatiku, menyusun rencana apa yang akan aku lakukan ketika tidak bekerja lagi. Akhirnya saat itu tiba juga. Selesai acara besar di kantor, aku memberikan surat pengunduran diri. Semua kaget karena aku memang tidak bicara apa-apa sebelumnya. Aku bahkan tidak memberi tahu Marisa. Wajar kalau ia marah dan sempat tidak mau bicara padaku. Namun, setelah mendengar alasanku, ia menjadi pendukung utama. Ia yang selalu memberikan nasihat untuk membuatku tetap semangat.
Masa-masa awal di rumah, aku gunakan untuk membereskan barang-barang yang selama ini tidak sempat aku rapikan. Tanpa terasa, hari sudah beranjak siang. Berikutnya, aku memasak untuk Mas Bayu. Ternyata, walaupun berada di rumah, waktu bergulir dengan cepat. Kesibukan menata rumah cukup menyita waktu. Menjelang sore, aku istirahat sambil membaca. Sungguh, semuanya tidak seburuk yang kubayangkan.
Aku memutuskan untuk menikmati hari-hariku di rumah. Mas Bayu juga tampak bahagia. Hubungan kami yang sempat dingin, perlahan mulai menghangat. Kami banyak melakukan kegiatan bersama. Setiap pagi, sebelum berangkat bekerja, Mas Bayu menyempatkan diri mengajakku jalan pagi.
Bulan demi bulan, aku nikmati sambil mencari kesibukan apa yang akan aku lakukan. Meskipun sudah berusaha menerima keadaan, rasa kecewa masih sering hadir dalam hatiku. Aku merindukan suasana hiruk pikuk di kantor, suara saling debat, dan pujian kalau bisa bekerja dengan baik. Juga rasa khawatir tidak bisa menepati deadline. Suasana itu yang membuat hidupku bergairah. Aku kehilangan semua itu. Namun, aku langsung teringat tujuanku tinggal di rumah. Sekali lagi kecewa itu harus aku simpan baik-baik.
Menjelang setahun aku di rumah, suatu hari Mas Bayu pulang dan membawa berita mengejutkan. Saat itu kami sedang menikmati makan malam.
“Kamu mau umrah nggak, Mir?” Tiba-tiba Mas Bayu bertanya dengan wajah sungguh-sungguh.
“Siapa yang nggak pingin, Mas. Semua juga mau, tapi kan biayanya mahal. Kayaknya nggak mungkin dalam waktu dekat ini, kan? Apalagi aku kan udah nggak kerja, penghasilan kita berkurang.”
“Bismillah. Kalau Allah berkehendak, semua jadi mungkin,” cetus Mas Bayu dengan yakin.
“Aku ‘amin’ aja, deh. Kalau beneran bisa, pasti senang banget. Sekalian ajak orang tua kita,” jawabku sambil menikmati soto ceker lamongan.
“Doa kamu langsung terkabul, Mir! Serius, ini. Aku diterima kerja di perusahaan asing di Riyadh!” pekiknya gembira.
Halaman : 1 2 Selanjutnya