“Lho,” ucapnya sambil menyeka air mataku, “kirain udah tidur. Kok malah nangis?”
Aku membalikkan badan, membelakanginya.
“Mir, aku kan bukan pergi keluyuran, tapi nolong orang lain. Masa kamu keberatan? Kalau aku batalin janji karena mau nongkrong sama teman-teman di kafe, baru aku salah,” ujarnya lembut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku memilih untuk membisu.
“Ya udah deh, aku mau tidur aja. Capek seharian di luar rumah. Jangan lama-lama ngambeknya, ya?” Sambil meraih guling, Mas Bayu bersiap tidur.
Aku hanya bisa menahan sakit hati. Semua yang dia katakana benar, aku tahu itu. Namun, apakah aku tidak boleh merasa kecewa karena sudah berharap makan malam di tempat romantis? Menikmati malam dengan suami terkasih? Aku membiarkan semua pertanyaan timbul di benakku tanpa mendapatkan jawaban.
Apakah begini rasanya menikah dan menjadi seorang istri? Harus banyak mengalah dan bersabar? Aku tahu, Mas Bayu adalah seorang suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku juga tidak ingin menjadi istri manja yang merepotkan. Akan tetapi, salahkah bila terkadang aku merasa tidak dihiraukan? Salahkah bila aku berharap Mas Bayu bisa sedikit romantis, seperti suami teman-temanku?
Batinku masih berkecamuk. Sementara itu, kudengar suara dengkur halus Mas Bayu yang sudah terlelap. Aku menatap wajah terkasih itu. Lihat saja, bahkan di saat aku marah, ia memilih untuk tidur dan tidak meladeniku. Ya Allah, aku tahu kalau seorang istri harus menaati suaminya. Rida Allah adalah rida suami. Namun, bagaimana dengan rasa sakit dan kecewa ini? Aku menguatkan hati dengan terus berdoa. Karena merasa lelah menangis, akhirnya aku pun ikut terlelap membawa hati yang mulai terluka.
-bersambung-
Halaman : 1 2