Redaksiku.com – Belakangan penduduk sedang dihebohkan dengan isu bahaya nyamuk Wolbachia atau nyamnuk Bill Gates.
Klaim di tempat sosial menyatakan bahwa penyebaran nyamuk Wolbachia merupakan misi Bill Gates untuk membentuk genetik LGBT.
Pakar kesegaran IDI, Profesor Zubairi Djoerban, ikut menanggapi kabar penyebaran nyamuk Bill Gates di Indonesia.
Dia menyatakan bahwa nyamuk yang bernama Wolbachia merupakan sebuah proyek yang dikembangkan oleh World Mosquito Program (WMP) yaitu perusahaan punya Monash University.
“Mungkin sebab proyek ini memperoleh bantuan dari Bill & Melinda Gates Foundation, maka banyak dikenal sebagai nyamuk Bill Gates,” kata Prof Zubairi dikutip dari account tempat sosial X miliknya @ProfesorZubairi, Jumat (17/11/2023).
Tapi jauh sebelum saat isu ini muncul, The New York Times secara terang-terangan pernah menulis berkenaan nyamuk Wolbachia ini, apalagi memberikan informasi mengenai pabriknya.
Dalam ulasan yang ditulis pda 29 September 2023 lalu, pabrik nyamuk Wolbachia berlokasi di sebuah laboratorium di pusat kota Medellín, Kolombia.
“Ini adalah pabrik nyamuk. Setiap minggunya, kota ini menghasilkan lebih dari 30 juta nyamuk Aedes aegypti dewasa, dengan bintik-bintik putih khas di kaki hitamnya yang kurus. Induk betina diberi makan dari sumbangan bank darah yang dibuang, dan darah kuda. Pada akhirnya, beberapa keturunan mereka bakal dilepaskan ke Medellín, Cali dan kota-kota besar dan kecil di lembah sungai hijau Kolombia. Serangga lain bakal kedinginan sampai pingsan di dalam perjalanan ke Honduras,” bunyi info ulasan The New York Times tersebut.
Penggambaran yang berbeda
Berbeda dengan isu yang berkembang akhir-akhir ini, The New York Times melukiskan nyamuk Wolbachia dengan langkah yang berbeda.
Bukannya berbahaya, nyamuk Wolbachia malah diakui sebagai “penyelamat”.
Hal selanjutnya wajar sebab nyamuk Wolbachia ini dibuat untuk mematikan vorus aedes aegypti yang telah banyak menelan korban sejak pernah kala.
“Upaya rumit ini merupakan bagian dari percobaan yang menghasilkan kemajuan mengasyikkan di dalam perjuangan jangka panjang melawan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk,” tulis mereka.
Aedes aegypti menyebarkan arbovirus, juga demam berdarah dan demam kuning, yang dapat memicu penyakit kronis atau membunuh orang.
Tapi nyamuk Wolbachia diakui sebagai nyamuk Aedes aegyptis yang istimewa sebab mereka dapat mempunyai sejenis bakteri yang dapat menetralisir virus mematikan tersebut.
Ya, alih-alih membunuh nyamuk Aedes aegyptis dengan pestisida yang merusak lingkungan, ilmuwan mengambil keputusan untuk “melucuti senjata mereka”.
Jadi meskipun nyamuk Aedes aegypti mengingit manusia, tetapi mereka yang digigit tak bakal mengalami penyakit demam berdarah yang mematikan seperti sebelumnya.
Wolbachia disebut menjadi counter dari virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti ini.
Meski para ilmuwan tahun bahwa Wolbachia dapat turunkan penyebaran demam berdarah, tetapi Wolbachia tidak secara alami ditemukan pada nyamuk Aedes aegypti. Para peneliti sesudah itu memasukkan bakteri ke di dalam telur nyamuk dengan mengfungsikan jarum suntik yang amat kecil. Nyamuk yang tumbuh dari telur selanjutnya terinfeksi. Nyamuk Aedes aegypti yang menetas dan hidup dengan Wolbachia baik-baik saja. Dan seperti yang diharapkan, Wolbachia dapat memblokir beberapa besar virus yang memicu DBD. Hal ini memicu para peneliti berpikir jika mereka dapat menginfeksi seluruh nyamuk di desa atau kota, mereka barangkali dapat menghentikan penyakit tersebut. Berbeda dengan insektisida yang disemprotkan ke tiap-tiap jalan dan mengalir ke proses air, metode ini tidak bakal merusak ekosistem. Hal yang mirip disampaikan oleh Prof Zubairi yang juga menyatakan bahwa tujuan dikembangkannya proyek ini adalah untuk turunkan penyebaran Demam Berdarah (DBD), demam kuning, dan chikungunya.
“Bakteri Wolbachia ini dapat melumpuhkan virus dengeu yang terkandung di dalam nyamuk aedes aegypti. Gampangnya, ini seperti vaksin, tetapi yang divaksin itu nyamuknya supaya tidak menyebarkan virus ke manusia,” jelasnya. Di Indonesia sendiri, nyamuk Wolbachia telah disebar, tepatnya di Yogyakarta. Setelah diteliti oleh UGM, hasilnya mengejutkan, masalah DBD pada daerah yang diteliti mengalami penurunan sampai 77%. Begitu pun dengan presentase pasien yang dirawat di RS, turun sampai 86%.
Tinggalkan Komentar