Novel : Room for Two Bab 8: Rekonsiliasi dengan Musuh Bebuyutan
Aku sebetulnya sayang Papa, tapi aku merasa tidak memiliki kedekatan dengannya. Begitu juga dengan Mama.
Jujur saja, aku tumbuh besar secara mandiri, nyaris tanpa sosok orang tua. Kedewasaanku kudapatkan secara otodidak, bukan karena bimbingan mereka.
Papa adalah seorang abdi negara berpangkat tinggi. Setahuku, karirnya terus menanjak hingga ke puncak tanpa kendala yang berarti. Sejak kecil aku sering ditinggal pergi olehnya, sebutlah tugas ke luar pulau, tugas ke luar negeri, tugas begini dan begitu. Bukan hanya sehari dua hari, tapi bisa berminggu-minggu bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.
Sebagai istri, kurasa mau tidak mau Mama harus mendampingi Papa. Sementara itu, aku dan Bang Hadi, kakakku, ditinggal bersama beberapa pembantu dan ajudan yang berpura-pura bisa menggantikan posisi mereka. Tidak lupa kami juga diberikan jadwal padat les ini dan itu. Alasannya, agar kami tidak sempat meratapi ketiadaan mereka.
Tentu saja aku mengalami berbagai perubahan perasaan mengenai hal itu. Awalnya aku sedih, lalu aku kecewa. Setelah itu aku marah. Namun, lama-lama aku malah bahagia. Aku senang saat mereka jauh dari rumah, sebab hanya saat mereka pergi aku bisa bebas menjadi diri sendiri tanpa ada yang benar-benar mengawasi.
Sebagai anak kolong, tentu saja didikan Papa begitu keras. Papa sangat galak, tidak segan main tangan, bahkan terhadap diriku, anak perempuannya sendiri. Mama, ya, begitulah. Sama saja. Mama selalu ikut apa kata Papa. Bukan karena nurut, kalau kulihat, tapi lebih karena tidak mau ribut.
Berbeda dari Bang Hadi, Papa dan Mama selalu melabeliku “anak yang sulit”—sulit diatur, sulit dinasihati, sulit diajari, dan kesulitan-kesulitan lainnya. Ya, maksudku, aku tidak pernah minta dilahirkan sebagai anak Papa dan Mama. Mereka juga tidak pernah betul-betul menjalankan fungsi sebagai orang tua, lalu kenapa mereka merasa punya hak untuk mengaturku harus seperti ini atau seperti itu?
Jika Bang Hadi menurut ketika disuruh kuliah di Fakultas Ilmu Hukum, aku sebaliknya. Saat Bang Hadi patuh ketika disuruh menjadi perwira TNI, aku juga sebaliknya. Meski harus melalui amarah Papa dan kekecewaan Mama, aku tetap memilih jalan hidupku sendiri, kecuali untuk satu hal: menikahi lelaki yang kucintai. Untuk itu aku tidak bisa menolak, karena meski Papa sudah pensiun dari TNI, tapi Papa masih memiliki relasi kuat dengan orang-orang yang bisa membuat hidup Alston “berada dalam bahaya”. Dan aku tidak mau kekasih hatiku celaka karena Papa atau karena abangku.
Jadi, begitu melihat Papa menaikkan volume suaranya, bahkan di depan Reivan yang kemarin baru saja membentakku, aku benar-benar terluka. Serius, tidak adakah lelaki di dunia ini, selain Alston, yang benar-benar peduli pada kebahagiaanku?
“Di mana sopan santun kamu sebagai istri?” Pertanyaan itu disampaikan Papa dengan nada tinggi.
Aku memalingkan wajah dari Papa, sibuk membangun benteng air mata baru dari sisa reruntuhan yang diciptakan Reivan. Aku tidak mau Reivan melihatku menangis lagi. Aku tidak mau dia melihatku dalam keadaan lemah. Aku bukan perempuan semacam itu.
“Suami datang ke sini bukannya cium tangan dulu, tanya sudah makan atau belum, malah ngusir—”
“Hana enggak ngusir, Hana cuma tanya dia mau apa—”
“Sama saja!”
“Sudah, Pah ….”
“Enggak apa-apa, Pah—”
Dua kalimat terakhir itu diucapkan bersamaan oleh Mama dan Reivan, tetapi aku tidak merasa terbantu sama sekali. Sambil mengentakkan kaki, kuhampiri Reivan dan kutarik lengannya. Aku mencium punggung tangan suamiku itu dengan perasaan dongkol luar biasa. Ketika aku hendak beranjak meninggalkannya, Reivan menahan tanganku dan menarikku agar duduk di sebelahnya.
“Bikin malu saja, kayak enggak pernah diajari!”
Hampir saja aku menyahut memang enggak pernah diajari! seandainya Reivan tidak cepat-cepat berkata, “Hana mungkin cuma masih kesal sama saya, Pah. Enggak apa-apa.”
Kuperhatikan wajah Reivan, jarak kami begitu dekat. Dari sisi sebelah kirinya, baru kutemukan ada dekik memanjang yang muncul hanya jika ia melebarkan pipinya untuk tersenyum. Dekik yang sama juga ada di tepi dagu kiri bawahnya yang diselimuti anak-anak janggut tipis. Oh, ada tahi lalat hitam di bagian bawah daun telinga kirinya. Ada satu lagi, tersembunyi di balik rimbunnya cambang yang tumbuh di tepi rahangnya. Pernahkah Reivan menyadari hal itu?
“Ya sekesal-kesalnya seorang istri tetap tidak boleh begitu sama suami. Bagaimanapun suami itu kepala rumah tangga, istri harus hormat supaya hidupnya berkah.”
Pandanganku beralih ke Papa dan idealismenya tentang posisi istri terhadap suami. Hanya karena Papa mendapatkan Mama yang penurut, bukan berarti aku harus seperti itu juga, kan?
“Paham Hana?” tanya Papa. Kumis hitam trapesiumnya—yang tegak lurus di tepi oreng, tepat di bawah lubang hidungnya dan miring di sudut-sudut bibirnya—bergerak-gerak seirama dengan kata-katanya.
“Iya.” Aku menimpali sambil mengedip-ngedipkan kelopak mata, mengeringkan tangisan sebelum mereka sempat berjatuhan.
Tinggalkan Komentar