Menggapai cita-cita semula, itulah mimpi Ratih terakhir untuk mengentaskan diri dari keterpurukan. Jerman, negara impian masa kecil yang seolah mengiang-ngiang memanggilnya. Yang telah terjadi tak bisa dihindari, biarlah waktu menghapusnya. Masa depan harus disongsong dengan penuh harap. “Bodensee, warte auf meine Ankunft!” bisiknya lirih penuh semangat. Tangannya mengepal, kedua netranya berbinar.
Ratih sedang bersiap-siap mau ke kampus. Dia janjian mau ketemuan sama sahabatnya Uut. Bersama sahabatnya, Ratih seharusnya sudah berangkat ke Jerman. Gara-gara malam jahanam itu Ratih batal pergi. Ternyata Uut ikut membatalkan keberangkatannya. Uut dibantu oleh Dekan fakultas mengurus penundaan semester berikutnya. Untuk urusan itulah keduanya menghadap Dekan.
Selesai urusan penundaan keberangkatan, keduanya ngobrol di resto baru dekat kampus. Resto ikan dan ayam bakar lesehan. Tempatnya nyaman sekali. Mereka sangat menikmati tiupan angin segar dan pemandangan hamparan padi yang masih menghijau. Saung mereka berada di bawah pohon sengon tua. Batangnya yang besar tertutup rambatan sirih belanda.
“Rat, maaf ya, ini bukan selentingan. Waktu kapan itu bapakku sedang rapat tutup buku di vila milik perusahaan. Vìlanya tetanggaan dengan vila suamimu. Pas lagi rehat ngopi di teras, Bapak melihat suamimu pulang entah dari mana bersama perempuan. Mereka mesra sekali. Sudah hampir dua bulan, lho, mereka tinggal di situ.”
Ratih terdiam, netranya merebak merah berkaca-kaca. Uut menggenggam kedua tangannya. “Aku merasa perlu mengatakan padamu, karena takut kau mendengar berita yang telah digoreng dan nggak jelas sumbernya.”
“Aku tau Ut, kau benar. Lalu, apa status mereka?”
“Kata penjaga vila kantor ayahku, mereka menikah siri di masjid daerah situ.”
Ratih menangis, Uut memeluknya. Semua usaha untuk menerima dan memaafkan perlakuan Toni ternyata sia-sia. Untuk seketika Ratih tidak tahu harus bagaimana. Pikirannya buntu, seperti menghadapi tembok beton yang kokoh.
Akhirnya Ratih berterus terang kepada Uut, bahwa pernikahan mereka statusnya adalah pernikahan kontrak selama tiga tahun. Perjanjian nikah ini sama sekali tidak diketahui oleh kedua orang tua dari kedua belah pihak. Suaminya memang sudah tunangan dengan wanita itu tanpa sepengetahuan orang tuanya.
“Tapi ….” Ratih sesenggukan lagi tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Pesanan mereka datang. Ratih menahan tangisnya. Setelah pramusaji pergi, Ratih memeluk Uut, menangis sepuasnya.
“Sebenernya, kalau tidak ditunda, waktunya pas banget. Aku mengambil master empat semester, artinya akan berakhir pas tiga tahun pernikahan. Kami bercerai! Tapi, aku mau minta cerai sekarang aja karena Toni sudah melanggar semua item perjanjian yang kami sepakati. Ayah mendukung.”
“Tapi, Rat kau tau akibat dari perceraian, kan? Bukan sekedar perpisahan! Statusmu Ratih, statusmu. Makanya banyak perempuan mempertahankan penderitaannya, karena status itu. Mereka tidak menginginkan status janda.”
Ratih terkesima, diingatkan akan konsekuensi dari perceraian. Waktu itu dia tidak memikirkan status itu. Andai saja Toni menghormati perjanjian itu, meskipun menjadi janda, dia tidak masalah, karena dia masih gadis utuh. Ratih mendesah dalam keluhan, sekarang, jika kami bercerai aku jadi janda bolong beneran! gumamnya dalam hati.
Ratih menatap sendu, entah apa yang dilihatnya, dan pikirannya pun kosong. Hatinya sakit sekali, tidak bisa dipungkiri Toni sudah bersemayam di hatinya. Cinta yang sudah tumbuh subur kini menyakitinya.
“Ut, apakah cinta sangat menyakitkan? Kenapa tidak seperti yang kubaca di novel-novel?”
“Ratih, kamu telah merasakannya, kan?” Ratih mengangguk. “Itulah cinta. Sekarang cintamu sedang diuji,” lanjut Uut.
“Tapi dia menikah lagi, biarpun nikah siri! Yang pasti, mas Toni … dia meninggalkanku! Ini menyakitkan, Ut … sangat menyakitkan!”
Uut hanya bisa memeluk sahabatnya, dia sangat prihatin atas apa yang Ratih alami. Dia tidak pernah curhat apapun masalahnya. Kehidupannya sepertinya baik-baik saja. Sampai dia kabur dari rumah. Biasanya, Ratih hanya menggeleng jika ditanya.
“Rat, lupakan sejenak masalah ini, oke? Makanlah mumpung masih panas,” ajak Uut melepas pelukannya, lalu menyuap makanannya, “masakannya enak, nggak rugi kita ke sini. Jangan buang-buang air matamu untuk laki-laki seperti itu. Abaikan saja, dan makanlah, nanti masuk angin!”
Walaupun tidak selera, Ratih mencoba makan, dengan polosnya dia membenarkan enaknya rasa menu yang dimakannya. “Iya bener Ut, masakannya enak. Tapi sambelnya kurang pedes!”
“Sementara jangan pedes-pedes dulu! Baru sembuh. Nanti kalau dah sehat beneran, balik asal,” kata Uut sambil tertawa. Ratih terpaksa ikut tertawa meskipun sedikit kecut.
“Tapi, Ut … rasanya satu-satunya jalan adalah bercerai. Sesudah itu aku akan tetap ke Jerman. Baru dipikirkan bagaimana ke depannya.” Uut melebarkan mata tidak percaya.
Sepulang makan siang Ratih minta pak Min putar-putar kota lewat kampung-kampung yang dia belum pernah ke daerah itu. Air matanya seolah tak henti mengucur dari mata indahnya yang kini tampak sendu. Menjelang asar dia pulang. Beruntung mamahnya sedang di kamar. Dengan berjingkat Ratih langsung naik ke kamarnya di lantai dua.
Tinggalkan Komentar