Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 31)
Mpek An Cong dan Pakde sedang menyusuri jalan setapak di dalam hutan menuju ke tempat kediaman Aki Jungsemi. Mereka mengikuti alur jalan sesuai hasil penelusuran kelompok klenteng. Perjalanan keduanya akan dibayang-bayangi kedelapan kelompok klenteng.
Sekitar tiga jam jalan kaki dari tepi hutan menuju titik sasaran. Mereka melalui jalur penduduk pencari kayu bakar. Dari hasil pengamatan kelompok klenteng: makin dalam masuk ke hutan, semakin tinggi pula kemampuan makhluk-makhluk gaib yang merintangi jalan. Mereka harus berhati-hati dan terus waspada.
Udara mulai terasa dingin, suasana hutan tampak remang-remang diterangi cahaya alam. Kabut mulai naik dari arah lembah, menyebar menyelimuti hutan tempat mereka berada. Perasaan aneh menyusup masuk dalam hati dan pikiran. Hamparan hutan mulai berubah, mereka merasa berada di dunia lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa disangka, sekelebat makhluk besar hitam pekat, menghadang dan menyerang dengan tiba-tiba. Meski bentuknya hanya segumpal bayangan, tapi serangannya begitu nyata dan terasa. Serangan yang bertubi-tubi dari Mpek An Cong seperti menembus asap. Mpek An Cong kebingungan, dia harus menghindar dari serangan lawan yang mematikan, sedangkan serangannya tidak mampu menyentuh lawan.
Di tepi arena pertempuran, Pakde duduk bersila sambil mengheningkan cipta. Bibirnya komat-kamit melafalkan doa, zikir dan mantra-mantra. Menyatukan kekuatan di kedua tangannya, kemudian mengepal di kedua sisi pinggang. Dia menerapkan aji pameling membisiki Mpek An Cong. “Menghindarlah ke samping, aku sudah siap!”
Tanpa menjawab, Mpek An Cong menyerang lawannya sambil melenting menghindar 10 depa ke samping. Bersamaan dengan itu Pakde melepas serangan pukulan sinar biru lembut berlapis zikir dan ayat-ayat ilahi. Makhluk itu hancur berkeping, lalu lenyap disapu angin malam.
“Pakde, ini baru lapis pertama sudah ngedap-edapi. Bagaimana kedepannya? Gila itu orang yang bergelar Jungsemi, sebagai tuannya pasti lebih dari ini!”
“Kita harus yakin, Mpek. Tuhan selalu bersama kita. Beliau paling tidak suka kepada umat yang berbuat kerusakan! Kita bertarung untuk membasmi kebatilan.”
Di bawah pohon tua yang rindang, keduanya duduk bersila mengatur napas, menyatukan akal budi meningkatkan pendengaran. Mereka berjengit merasakan pergerakan dari arah belakang dan sisi kanan kiri mereka. Aura jahatnya sangat mengintimidasi. Mpek An Cong dan Pakde diam membisu, sambil mempertebal pertahanan dan meningkatkan jurus-jurus ilmunya ke tingkat yang lebih tinggi. Keduanya harus menghemat waktu dan tenaga.
Dari arah belakang, datang sosok raksasa tinggi besar, hitam pekat. Matanya merah menyala-nyala penuh kebencian. Mulutnya menganga siap menelan keduanya. Dia mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka menampakkan kuku-kuku yang runcing mengerikan. Mpek An Cong menaikkan jurus ilmunya ke tingkat lebih tinggi.
Di samping kanan Pakde, seekor maung besar merunduk siap menerkam. Kaki depannya yang berkuku tajam menghitam lurus kedepan. Mulutnya menggeram memamerkan taring-taring besar dan tajam. Mata merahnya mengintimidasi. Pakde mempertajam pendengaran dan mata batinnya.
Sebelah kiri Mpek An Cong siap menerkam ular hitam sebesar pohon pinang. Tubuhnya meliuk ke kanan kekiri seperti sedang mengukur kekuatan lawan. Matanya merah menyala menatap bengis, lidahnya menjulur-julur. Mulutnya menganga lebar siap mematuk, sambil tak henti mendesis. Mpek An Cong langsung bersiap meningkatkan jurus melawan ular.
Seperti dikomando ketiga makhluk gaib menyerang bersama-sama. Pertarungan dua manusia melawan tiga makhluk gaib tak terelakan. Mpek An Cong dan Pakde melenting tinggi masih dalam posisi duduk bersila, membuat ketiga lawannya saling bertubrukan. Mereka marah lantas mendongak disambut ledakan hantaman sinar kuning dan biru yang keluar dari tangan Pakde dan Mpek An Cong.
Auman maung, teriakan raksasa dan desisan kuat ular hitam memenuhi hutan. Raksasa dan maung berusaha menerkam Mpek An Cong yang sudah mendarat sambil terus meningkatkan ilmunya. Sementara ular hitam dengan marah meluncur ke tempat Pakde mendarat.
Apakah ular ini yang menghantui Ratih? gumam Pakde dalam hati, sambil meningkatkan kewaspadaan.
Makhluk tanpa kaki dan tangan itu terus meluncur dengan mulut menganga lebar mematuk-matuk kepala lawan. Tubuhnya menggeliat berputar menggulung musuh, lalu menyabet dengan ekornya. Kecepatan dan kekuatannya, membuat Pakde sedikit kewalahan. Dia harus lincah menghindar agar tidak terbelit lawan. Sangat menguras tenaga, sedang lawan yang sesungguhnya masih menunggu.
Pakde mengheningkan cipta sebentar, seketika tangan kanannya sudah menggenggam bambu kuning sebesar genggaman dengan panjang sedepa. Ujungnya runcing diarahkan ke arah lawan. Kekuatan zikir dan mantra-mantra dialirkan ke bambu yang dipegangnya. Matanya fokus pada titik di antara kedua mata ular siluman itu.
Sementara, pertempuran semakin seru, waktu tengah malam hampir menjelang. Kelompok delapan berniat mengambil alih pertempuran. Dengan menggunakan aji pameling dilambari tenaga dalam tingkat tinggi, Gendon berbisik kepada Mpek An Cong.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya