Kata orang kebanyakan, pernikahan itu indah-indahnya ada di bagian permulaan, romantis-romantisnya ada di satu tahun awal pernikahan, lepas dari itu mulai muncul ketidakcocokan, perbedaan karakter yang menonjol dan lainnya. Lalu mengapa di aku tidak merasakan itu? Di awal saja aku tidak merasakan romantisme bersama Arya.
Sudah seminggu usia pernikahan kami, namun aku belum sama sekali pernah disentuhnya. Jadi sacara fisik, aku masih lajang, hanya statusnya yang bersuami. Sejauh ini aku tidak berani menanyakan perihal itu, takutnya aku dikatakan perempuan yang begitu haus belaian laki-laki, padahal jika dipikir-pikir itu adalah salah satu hak istri bukan?
Aku paham, mungkin Arya belum bisa sepenuhnya melupakan Diandra. Bisa saja ketika timbul hasrat ingin mendatangiku, dia tiba-tiba mengingat bayangan saudaraku itu. Terlebih wajah kami yang mirip. Entah pergulatan batin apa yang terjadi dalam diri suamiku, namun bagaimana denganku?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lelah memikirkannya, aku kembali fokus dengan hidangan di depanku. Aku menyiapkan sarapan di dapur, sembari mengawasi pengasuh anak-anak yang baru saja memulai hari pertamanya hari ini. Sedari tadi Ren berlarian bolak-balik dari ruang keluarga ke arah kolam renang, mengajak ayahnya untuk segera ikut sarapan, sementara Hime masih duduk manis di sofa, mengajak kenalan pengasuhnya.
“Hime, sarapan dulu yuk!” Aku menghampiri Hime dan menyodorkan tangan untuk dia pegang. Anak itu segera turun dari sofa lalu memegang tanganku, tersenyum senang begitu melihat hidangan di atas meja.
“Ren! Ada nugget!” teriaknya pada Ren yang masih menunggu ayahnya di tepi kolam.
“Duduknya yang baik, Nak. Nanti jatuh.” Aku memperbaiki posisi kursi Hime yang sudah miring, lalu sedikit memajukan ke arah meja hingga dia nyaman.
Tidak lama kemudian, Ren datang sambil menarik tangan ayahnya, menduduki kursi di sebelah Hime, sementara Arya duduk di seberangnya.
“Kamu nggak ikut sarapan?” tanyanya.
“Nanti. Bareng Bik Marni dan Mba Ika aja,” jawabku sambil menyendokkan nasi ke piring Arya, lalu ke piring Ren dan Hime.
“Mereka nggak akan keberatan kalau kamu makan duluan,” ucap Arya lagi.
“Nggak, Mas. Nanti aja.”
Di tengah mereka sedang makan, Ren asik bercerita tentang temannya yang juga memiliki mainan pesawat yang sama dengannya, dia berjanji akan membawa mainan itu ke sekolah hingga bisa main bersama.
“Makan dulu, Ren. Nanti ceritanya.”
Ren langsung terdiam dan melanjutkan makannya. Sementara itu, Hime memakan nuggetnya dengan dengan mulut penuh, seolah besok-besok tidak akan lagi menjumpai makanan itu.
“Pelan-pelan, Nak.” Aku membantu memotongkan nugget menjadi kepingan kecil di piringnya Hime.
“Assalamualaikum,” suara seseorang yang tidak asing di telingaku terdengar dari arah ruang tamu. Tidak lama kemudian sosok ibu mertuaku muncul diikuti Bi Marni di belakangnya.
“Nenek!” Ren kini turun dari kursi, begitupun Hime. Mereka tidak menghiraukan larangan ayahnya untuk menghabiskan makanan dulu.
Keduanya memeluk neneknya, memberitahu jika mereka sedang sarapan dengan makanan kesukaannya. Mertuaku mendekati dapur, dan menemukan sepiring nugget di atas meja.
“Kok makan nugget? Anak-anak kok dikasih makanan olahan seperti itu?” tanyanya, sambil memandangku penuh tanya. Garis wajahnya yang sedikit tegas memberi kesan aristokrat, ditambah model pakaiannya yang biasa saja namun memberi kesan mahal di tubuhnya. Usianya yang sudah memasuki kepala enam, masih terlihat bugar dengan postur yang masih bagus. Bagaimana hal itu tidak mengintimidasiku?
Tidak segera menjawab, aku mendekati mertuaku itu lalu menyalami dan mencium tangannya. “Apa kabar, Bu?”
Mertuaku berdeham. “Baik.” Dia melirik Arya yang masih anteng melanjutkan sarapannya.
Sejujurnya aku masih canggung dengan mertuaku. Entah kenapa aku merasa beliau tidak menyukaiku, meski selama ini tidak pernah dia ungkapkan secara terang-terangan.
“Kok anak-anak makan nugget?” ulangnya lagi. Kali ini menatap Arya dengan raut wajah tidak suka.
“Nggak pa-pa, Bu. Sesekali.”
Tidak puas dengan jawaban Arya, kini Ibu menatapku. “Kamu tahu kan nugget itu bukan makanan sehat. Diandra loh nggak sembarangan ngasih makanan ke anaknya.”
Dan ini lah yang kukhawatirkan. Dia membawa-bawa Diandra. Seolah aku tidak berperan menjadi ibu yang baik, justru merusak konsep pengasuhan saudaraku selama ini. Malunya itu dikatakan di depan Arya dan anak-anak. Daripada aku salah bicara, aku memilih diam.
“Tidak usah dibesar-besarkan, Bu. Diandra pun ngasih nugget ke anak-anak. Ini juga mereka sudah lama tidak makan.” Arya menatap Ren dan Hime. “Ayo kembali lanjutkan makanan kalian.”
Aku yang masih merasa canggung memilih membantu Hime kembali ke kursinya, walaupun kenyataannya anak itu bisa melakukannya sendiri.
“Nay. Ayo duduk. Makan bareng kami.” Nada suara Arya yang tidak terdengar keras namun terasa dingin membuatku tidak bisa menolak. Sebelum dia marah, aku segera meraih kursi di sebelahnya.
“Ibu, ikut sarapan bareng kami ya?” Aku tidak jadi duduk setelah mengingat mertuaku masih berdiri sembari memandangi kami. Segera aku meraih piring kosong untuk mengambilkannya makanan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya