Tepat setengah sembilan, aku mengikuti anak-anak memasuki kamarnya. Arya membiarkanku sendirian untuk menemani mereka tidur agar terbiasa dan anak-anak pun bisa merasa dekat denganku. Menurut Arya, anak-anak biasanya akan banyak bercerita di malam hari menjelang tidur. Persoalan di sekolah atau kegelisahannya yang seharian tidak mereka ungkapkan.
Kamar Ren dan Hime sedikit lebih kecil dibandingkan kamar utama. Dua ranjang tidur yang sama dengan dipisahkan oleh dua rak kecil berisi buku-buku dongeng yang biasanya dibacakan sebagai pengantar tidur.
Setelah memastikan mereka menggosok gigi dan mencuci tangan hingga kaki, aku mengambil kursi mini dekat lemari lalu meletakkannya di antara kedua ranjang mereka. Hime lebih dulu naik ke tempat tidurnya, lalu Ren setelah meletakkan pesawat mainan barunya di rak.
“Mama bisa baca dongeng?” Hime sudah berbaring, mengarah menatapku.
“Bisa dong. Kalian biasanya suka cerita apa?” tanyaku sambil memilah buku-buku berwarna solid di depanku.
“Aku suka Pinokio,” ucap Hime.
“Kalau Ren?” tanyaku ke anak itu. Bukannya menjawab pertanyaanku, Ren membalikkan tubuhnya membelakangiku. Menatap lemari di depannya.
“Ren suka Sinbad,” jawab Hime lagi.
“Hm… Gimana kalau malam ini kita baca Sinbad?”
Aku meminta persetujuan Hime, yang segera diiyakan, sementara Ren masih diam membisu.
“Oke. Kita mulai ya.”
Aku mulai membacakan dongeng. Hime perlahan menutup kedua mata, sementara Ren masih tampak segar dan tidak memiliki tanda-tanda mengantuk. Bahkan ketika buku selesai kubaca pun, anak itu tidak berhenti menatap lemarinya.
“Ren?” tanyaku pelan, takut mengganggu tidur Hime.
Karena tidak mendapat balasan, aku mengelilingi ranjang lalu menghampiri bagian depan tubuh anak itu. Aku berjongkok untuk bisa menatap langsung wajahnya.
“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?”
Ren hanya menatapku sekilas, lalu kembali menatap lurus ke arah bajuku.
“Mau Mama bacakan buku lain?” Kali ini aku mengusap rambutnya yang hitam legam, terasa halus di jariku.
“Ibu mana?” bisiknya. Meskipun suaranya sekecil itu, cukup membuat hatiku ikut sakit. Rupanya anak ini kangen dengan ibunya. Memang ini kali pertama mereka tidur di kamar ini tanpa ditemani ibunya, dan dengan bodohnya aku tidak memperkirakan perasaan mereka.
“Kamu rindu Ibu?” tanyaku kembali, yang dijawab dengan anggukan. Sedetik kemudian air matanya jatuh membasahi pipinya.
Hatiku seperti diremas. Selama ini aku tidak pernah melihat Ren menangis. Mungkin karena tidak lama kepergian Diandra, aku langsung balik ke Jakarta hingga aku tidak bisa menemaninya melewati masa-masa kehilangan sosok ibu, hanya saja sewaktu aku menelepon Mama, aku selalu meminta laporan perkembangan si kembar, dan Mama hanya mengatakan jika Hime lah yang sering menangis karena ibunya tidak muncul-muncul.
Tanpa sadar aku ikut menangis. Aku segera naik ke ranjang Ren lalu merangkul dan memeluknya. Entah apa yang ada dalam kepala anak ini, karena sewaktu aku ditinggalkan Papa, usiaku tidak sekecil Ren. Aku sudah mulai paham konsep kematian seperti apa. Sementara Ren? Dia belum cukup usia untuk tahu mengapa orang bisa pergi dan tidak kembali lagi.
“Ren. Kalau Ren mau nangis, nangis aja nggak apa-apa. Kalau Ren kangen Ibu, bilang aja ke Mama.”
“Ibu mana?” tanyanya, masih dengan isakan pedih. Dadanya naik turun tidak berirama.
“Ibu udah pulang, Sayang. Ke rumahnya yang dulu.”
Kini Ren mendongak, menatapku penuh tanya. “Di mana?”
Aku menghapus air mata di pipinya yang lembut. “Jauh, Nak. Tempatnya jauh.”
“Ren juga mau ke sana. Mau ikut Ibu.”
Semakin kueratkan pelukanku, mengecup kepalanya yang beraroma shampo. “Nanti ya. Kita semua akan ke sana kok. Ren, Hime, Mama, Ayah. Nenek pun akan ke sana.”
“Ketemu sama Ibu?”
“Bisa. Makanya Ren harus jadi anak baik. Biar bisa ketemu Ibu nanti. Ya?”
Meski mungkin belum sepenuhnya mengerti dengan perumpamaanku, Ren mengangguk ringan. Air matanya sudah mongering, meski isakannya masih terasa.
“Ren mau ketemu Ibu.”
“Iya. Pasti nanti ketemu Ibu. Ren yang sabar ya.” Aku menepuk-nepuk punggungnya lembut, dan beberapa saat kemudian, dia tertidur tenang, hingga membuatku takut bergerak sedikit pun.
Setelah merasa lengan kiriku kebas dan pasti akan kesemutan, aku meletakkan tubuh Ren sepenuhnya di kasur dengan pelan. Kutarik selimut hingga mencapai dadanya, lalu mencium pipinya sebelum mematikan lampu hingga penerangan di kamar itu hanya bersumber dari lampu tidur.
***
Arya masih terjaga ketika aku memasuki kamar. Dia dengan sepasang piyama garis hitam dan abu-abu muda tampak memangku sebuah buku dengan tangan kanan yang sibuk mengetik sesuatu di layar ponsel. Begitu melihatku, dia segera menyimpan bukunya di atas nakas.
“Mereka udah tidur?” tatapannya mengikuti gerakan langkahku.
Aku hanya mengangguk, memasuki kamar mandi untuk melakukan ritual malam sebelum tidur. Lepas gosok gigi, cuci muka dan buang air, aku berjalan ke arah meja rias untuk melakukan rutinitas perawatan kulit. Kulihat pantulan Arya di cermin, seolah tengah menunggu kesibukanku selesai.
Tidak berapa lama kemudian, aku berjalan menuju kasur dengan perasaan canggung dan berdebar-debar. Meski ini bukan kali pertama aku seranjang dengan Arya, entah perasaan deg-degan belum juga hilang, mungkin karena kami belum melakukannya.
Tinggalkan Komentar