Faik hanya bisa berdoa saja sewaktu ia melihat Ihsan disentuh oleh banyak orang saat itu. ‘Semoga Ihsan tidak apa-apa,’ batinnya. Ia sudah banyak membaca artikel yang menyatakan resiko jika bayi yang memang masih memiliki daya tahan tubuh lebih lemah dari orang dewasa dikerumuni dan disentuh orang banyak.
‘Ihsan sudah hampir berumur enam bulan. Dia bukan bayi yang masih merah lagi. Dia seharusnya sudah memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik. Aku juga sudah memberikan imunisasi yang lengkap sesuai dengan anjuran dokter anak Ihsan,’ Faik berusaha meyakinkan dirinya bahwa Ihsan akan baik-baik saja.
Faik menghampiri suami dan anaknya. Ia kemudian dikenalkan oleh Fadli pada orang-orang yang berkumpul di sekitarnya itu. Ternyata mereka adalah teman-teman kuliah Fadli. Faik mengenal seseorang dari mereka yang sering bersama dengan Fadli saat ia bertemu dengan Faik dulu.
Faik dan Fadli memang bukan teman akrab dulu. Mereka bahkan berbeda universitas. Mereka hanya berjumpa beberapa kali pada kegiatan komunitas di luar kampus mereka. Walaupun begitu, mereka memiliki hubungan yang lumayan intens melalui media sosial.
Faik sendiri sangat kaget saat Fadli tiba-tiba melamarnya di depan umum saat mereka bertemu di suatu kegiatan komunitas beberapa tahun setelah mereka lulus. Hal ini karena memang mereka berdua hanya berteman selama ini. Komunikasi yang mereka jalin melalui media sosial selama ini juga kebanyakan membahas tentang hobi dan kegemaran mereka yang kebetulan sama.
“Fadli ini benar-benar beruntung bisa menjadi suaminya Faik. Lihatlah istrinya itu. Dia cantik sekali, bukan? Jujur saja, dulu aku juga termasuk seorang yang tersepona dengan kecantikannya,” kata Randi, teman Fadli yang juga kenal dengan Faik.
Istri Randi, Arini, langsung melirik tajam suaminya yang dengan terang-terangan memuji Perempuan lain di depannya. Senyum yang tadi terpasang di wajahnya seketika menghilang.
Melihat kesalahan fatal yang dilakukan olehnya, Randi langsung menghadap istrinya. “Walaupun begitu, nyatanya aku sama sekali tidak tertarik untuk mendekatinya. Baik dulu sampai sekarang, aku sama sekali tidak berniat untuk mendekatinya. Itu karena dia tidak berhasil menggetarkan hatiku. Hanya kau, Sweetie. Hanya kau yang berhasil membuat hatiku bergetar. Getaran sangat hebat hingga membuatku tidak bisa tidur. Saat akhirnya aku berhasil mendekapmu, rasanya hidupku benar-benar lengkap sudah. Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak saat berhasil menikahimu.” Ia memegang kedua tangan Arini dengan kedua tangannya dan menciumnya.
“Kamu tidak mendekati Faik itu kan karena kamu tahu diri. Kamu tahu kalau kamu sama sekali tidak ada harapan untuk bisa bersanding dengan Faik. Kali ini aku memujimu karena kamu sudah tahu diri,” kata Arini.
Mereka semua tertawa mendengar perkataan Arini.
Kara, seorang teman Fadli lain berkata, “Biarkan dia tidur di luar rumah saja malam ini, Arini! Kalau bisa, malah selamanya.”
Randi menoleh tajam pada Kara. “Hush! Jangan ikut-ikut kamu.” Ia kemudian menoleh pada istrinya lagi. Pandagannya benar-benar seperti ia sangat mendamba istrinya itu. “Aku benar-benar jujur tadi. Aku memang mengakui kecantikan Faik, tapi hanya mengakuinya. Hatiku benar-benar hanya untukmu, istriku sayang. Bagiku, dirimu adalah segalanya. Kamu sempurna.”
Mereka semua kembali tertawa bersamaan. Fadli dan beberapa teman lelakinya memperagakan gerakan muntah. Arini yang tadinya mengambek, akhirnya tersenyum juga mendengar suaminya merayunya terus sambil menciumi tangannya.
Mereka akhirnya berganti topik pembicaraan. Mereka mengenang masa-masa kuliah mereka, membicarakan dosen yang mereka sukai dan mereka benci setengah mati. Mereka juga membahas tentang kampus mereka, tempat-tempat biasa mereka nongkrong, kantin yang menyajikan makanan enak yang biasa mereka nikmati saat awal bulan, dan kantin yang menyajikan makanan murah meriah dengan porsi banyak dan rasa yang tidak karuan yang biasa mereka tuju saat akhir bulan.
Mereka juga membahas tentang tempat-tempat lain yang menyimpan kenangan bagi mereka dan toilet di ujung lorong kampus mereka yang katanya berhantu. Sepanjang pembicaraan itu, Faik dan pasangan-pasangan teman Fadli yang tidak sekampus dengan mereka hanya bisa tersenyum dan ikut tertawa saat mereka membahas sesuatu yang lucu.
Faik tidak benar-benar tahu bagaimana keseluruhan kampus Fadli. Ia hanya beberapa kali mengunjungi kampus Fadli saat ia ada suatu keperluan di sana. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk kuliah, mengerjakan pekerjaan kuliahnya, dan mengerjakan pekerjaan sampingan daripada berjalan-jalan dan bergaul.
Faik bahkan memutuskan untuk tidak berpacaran sama sekali saat ia kuliah walaupun ada lumayan banyak lelaki yang mendekatinya. Ini karena ia ingin melepaskan diri dari keluarganya.
Faik sudah merasa bahagia sekali saat ia diterima di universitas di luar kotanya. Sebenarnya, ia dipaksa oleh orang tuanya untuk berkuliah di luar negeri. Namun, diam-diam dia membeli sendiri formular ujian masuk universitas dan diterima di sana.
2 Komentar