Novel : Bertahan di Atas Luka Part 38
Bayu Ramadhan.
Aku terpaku melihat Amira pulang bersama lelaki lain. Prasetya. Lelaki yang kukenal sebagai sahabat Amira dan Marisa, lelaki yang baru saja kehilangan istrinya. Ada apa sampai ia berani pergi berdua dengan istriku? Rasa lelah selama perjalanan, cuaca panas kota Jakarta, dan cemburu—istri bersama lelaki lain—membuat darahku mendidih.
Aku bisa melihat wajah terkejut Amira. Ia pasti tidak menyangka aku ada di Jakarta dan sedang berdiri di hadapannya. Tiba-tiba wajah itu memucat saat Pras memanggilnya. Mata Amira memandangku dengan cemas. Aku mengatupkan mulut menahan geram serta berkali-kali beristighfar agar setan tidak menguasai diriku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalau tidak ingat tetangga, ingin sekali aku meninju wajah Prasetya. Untuk apa ia mendekati istriku? Bukankah ia tahu kalau Amira sudah bersuami? Tidak pantas rasanya seorang perempuan bersuami jalan dengan laki-laki lain di saat suaminya tidak ada. Dengan menahan marah, aku minta Amira untuk membuka pintu ruang tamu. Aku tidak bisa berlama-lama melihat mereka berdua. Jantungku berdetak cepat dan napasku memburu. Aku memilih diam untuk meredam emosi daripada mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Kami bertengkar hebat sore itu. Amira menangis dan berkata kalau ia tidak punya hubungan apa-apa dengan Pras. Ia meyakinkanku kalau hanya bersahabat dengan lelaki itu. Untuk apa bersahabat dengan lelaki? Toh, ia sudah punya Marisa, sahabat yang selalu ada untuk membantunya. Aku sungguh tidak percaya kata-kata istriku. Mungkinkah mereka pernah punya kisah asmara dulu sebelum Pras menikah dengan Safira? Apakah Pras cinta pertama istriku?
Bermacam pertanyaan yang timbul membuatku semakin frustrasi. Akhirnya malam itu aku putuskan untuk tidur di sofa dan besok aku akan pindah ke rumah kami di Depok. Biarlah untuk sementara Amira tinggal di rumah Ibu. Aku butuh menyendiri untuk menenangkan diri dan konsentrasi pada pekerjaan.
Jujur, hatiku hancur melihat mata Amira yang membengkak karena terlalu banyak menangis. Aku tidak ingin menyakiti hatinya. Namun, Amira telah menyakiti hatiku. Ia telah merendahkan harga diriku sebagai laki-laki dan seorang suami dengan pergi bersama laki-laki lain. Ia tidak menghargai semua usahaku untuk mempertahankan pernikahan kami. Amira memang ingin sekali berpisah denganku. Apakah karena ada Pras?
Malam itu, setelah selesai mengetik proposal untuk memulai rencana pembukaan restoran, aku berbaring di sofa yang ada di kamar sambil memandang wajah Amira yang tertidur pulas. Wajah itu begitu putih dan bersih, sungguh sebuah kecantikan alami. Alis mata yang tebal dan hidung bangir merupakan perpaduan sempurna dengan lekukan di kedua pipinya. Aku memandangnya tanpa rasa bosan. Amarah karena cemburu mulai mereda. Amira tidak sepenuhnya salah. Ia hanya sedang merasa kecewa dengan pernikahan kami.
Sebetulnya aku ingin sekali memeluk dan menanyakan perasaan hati istriku terhadap Pras, tapi aku tak sanggup untuk mendengar jawabannya. Aku juga teringat kata-kata Pak Farhan tentang meredam kemarahan di antara dua waktu salat. Itu berarti besok subuh, aku harus meredam kemarahanku dan berbaikan dengan Amira. Apakah aku sanggup? Sementara bayangan wajah Pras selalu menghantui dan mengejekku. Aku tidak bisa tidur, gelisah memikirkan tindakan apa yang harus kuambil.
Aku terbangun saat azan Subuh berkumandang, setelah tadi malam menderita karena tidur tidak nyenyak. Kulihat Amira sedang duduk di atas sajadah dengan masih mengenakan mukena.
“Kamu bisa tidur di sofa, Mas?” tanyanya lembut.
Dengan mata yang masih sulit terbuka, aku mencoba duduk. Perbedaan waktu empat jam dengan Saudi membuatku merasa masih sangat mengantuk.
“Bisa. Kamu udah salat Subuh?” tanyaku sambil berjalan ke kamar mandi.
“Belum, tadi salat malam aja. Aku nunggu Mas biar kita bisa salat bareng.”
“Ya sudah, aku wudu dulu.”
Kami salat Subuh berjamaah. Hatiku menjadi lebih tenang dengan membaca zikir selesai salat. Memang, dengan mengingat Allah, hati kita akan menjadi tenang. Ragu-ragu Amira mencium tanganku. Ketika kutarik, tanganku telah basah oleh air mata. Tuhan, ingin sekali kurengkuh tubuh kurusnya, tapi saat terbayang wajah Pras, amarahku muncul lagi.
Amira segera menyiapkan sarapan. Lalu bersama Sasha dan Shanaz, kami menikmati makan pagi bersama.
“Sha, selamat, ya! Mas dengar mau jadi manten, nih?” tanyaku pada Sasha.
Gadis itu tersenyum malu.
“Insyaallah, Mas. Doakan, ya! Katanya kan nggak boleh pacaran lama-lama.”
“Betul itu. Lebih baik segera halal, supaya kalau mau ke mana-mana berdua jadi aman. Nggak takut godaan setan. Bahaya kan kalau pergi berduaan aja,” ujarku sambil melirik Amira.
Istriku itu tampak serba salah.
“Iya, Mas. Mbak Mira udah ngasih tahu, makanya Sha langsung bilang ke Bintang. Iya, kan, Mbak?” Sasha memandang kakaknya.
“Eh, iya, Sha! Pastikan aja tanggal berapa kamu nikahnya, supaya lebih enak nyiapinnya.” Amira balas memandang Sasha dengan sayang.
“Naz, lo mau bareng gue, nggak?” tanya Sasha.
“Iya. Bentar gue ambil tas dulu,” sahut sang adik.
Kedua adik kembar Amira itu sangat mirip satu sama lain. Orang bilang kembar identik. Sasha lebih tua tiga menit dari Shanaz. Mata mereka sama-sama bulat seperti mata Amira. Hidung mancung dengan alis tebal. Hanya rambut yang membedakan. Aku sempat melihat dulu sebelum mereka mengenakan jilbab. Sasha memiliki rambut hitam bergelombang, sementara Shanaz hitam lurus sebahu.
Halaman : 1 2 Selanjutnya