Novel : Bertahan di Atas Luka Part 36
Amira Dzakiya
Aku tertegun melihat Mas Bayu berdiri di teras. Wajah tampannya terlihat lelah. Kucubit lengan untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Aku meringis. Sakit. Berarti ini nyata. Lelaki terkasih itu sedang duduk dengan memegang ponsel di tangan. Ia sedang meneleponku. Koper hitam besarnya diletakkan tak jauh dari pintu ruang tamu. Jantungku berdebar kencang, sampai aku takut Mas Bayu akan mendengar detaknya.
“Mas?” sapaku lirih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menatapku penuh kerinduan. Dua bulan tak bertemu membuat kami saling merindukan. Sebelum aku sadar dari rasa terkejut, Pras menyusul sambil memanggilku.
Wajah Mas Bayu berubah. Matanya tajam menatapku. Senyum manisnya menghilang berganti dengan rahang yang mengeras.
“Mir, tas kamu ketinggalan!” Pras mengejar dan menyusul ke teras.
“Kamu pulang kok nggak ngasih tahu, Mas?” tanyaku tanpa memerdulikan Pras yang terpaku di sampingku.
Mas Bayu tidak menjawab. Pandangannya beralih menatap Pras.
“Apa kabar, Pras?” sapanya dingin menatap Pras tajam.
“Eh …, baik, Mas. Kamu kapan datang?” tanyanya serba salah. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban karena ia pasti bisa melihat koper besar Mas Bayu.
“Pantas aku dari tadi ngebel nggak ada yang bukain pintu. Nggak tahunya lagi pergi berduaan. Pantas juga nggak mau diajak pulang ke Riyadh, ternyata urusan nggak beres-beresnya tuh ini. Ya, nggak akan selesai kalau urusan ini, sih!” sindir Mas Bayu tajam.
“Maaf, Mas. Rumah emang kosong karena Ibu lagi nginep di rumah Tante Yeni di Bogor. Aku barusan keluar sama Pras, ada perlu soalnya,” jelasku takut-takut. Aku benar-benar merasa sangat berdosa.
“Cepat buka pintunya, biar aku bisa masuk. Kalau kalian masih ada urusan, silakan! Aku nggak akan ganggu.” Mas Bayu mengambil tas tangannya dengan kasar dan menghadap pintu.
Tergesa aku meraih kunci dan berusaha membuka pintu ruang tamu dengan tangan gemetar.
“Mir, aku pulang, ya?” ujar Pras serba salah. “Saya permisi dulu, Mas. Nanti kapan-kapan jalan bareng, yuk, sambil ngobrol-ngobrol.”
Mas Bayu melengos dan langsung masuk tanpa menghiraukan Pras.
“Iya, Pras. Hati-hati di jalan!” Aku membalas ucapan Pras dan mengambil tasku.
Pras segera pergi dengan tergesa-gesa.
“Kenapa pulang nggak ngasih kabar, Mas?” Aku mengikuti Mas Bayu ke kamar.
“Kenapa? Biar kamu bisa menghindar terus dan nggak ketahuan kalau pergi sama Pras?” jawabnya ketus.
Aku membisu. Kuempaskan tubuh di tempat tidur sambil terus memandangnya.
“Maafin aku, kamu harus ngeliat aku jalan sama Pras,” ujarku mencoba bersikap tenang.
“Aku mau mandi terus istirahat, Mir! Capek baru sampai.” Mas Bayu tidak mengindahkanku. Ia membuka koper, mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Aku melangkah ke dapur untuk membuatkan minuman. Ketika masuk sambil membawa teh manis hangat, Mas Bayu sudah duduk di tempat tidur dan mengecek ponselnya. Rambut pendeknya masih terlihat basah, aroma harum sabun menguar dari tubuhnya yang terbalut kaus putih dan celana training biru.
“Mas, kalau kamu mau marah, marah aja. Aku siap.” Aku meletakkan cangkir teh di meja dan duduk di sampingnya.
Mas Bayu menoleh sejenak, lalu kembali asyik dengan ponselnya.
“Mas! Jangan diam kayak gini, dong!” Aku tak tahan. Kuguncang tangannya supaya ia berhenti bermain HP dan bicara padaku.
“Kenapa aku harus marah? Memang kamu bikin salah apa?” tanyanya dingin.
“Aku tadi jalan sama Pras abis dari katering, buat urusan pernikahan Sasha.” Aku mencoba menjelaskan.
“Kenapa bukan Sasha yang ngurus sendiri? Sama calon suaminya? Kenapa harus kamu? Kenapa juga harus berdua Pras?” cecar Mas Bayu.
Aku tak kuasa menjawab. Lidahku kelu.
“Kamu tahu aturannya seorang istri yang jauh dari suami? Pernah belajar agama, kan? Apa pantas seorang istri jalan berduaan sama laki-laki lain?” Pertanyaan Mas Bayu benar-benar menohokku. “Apa itu alasannya kenapa kamu nggak mau pulang?” lanjutnya dengan nada keras.
Aku terdiam. Rasanya aku belum siap untuk berdebat sekarang. Aku masih kaget dan belum menemukan alasan yang tepat. Dadaku mulai sesak oleh rasa bersalah. Kutahan air mata agar tidak menetes.
“Iya, aku salah. Memang nggak pantas seorang istri pergi berduaan dengan laki-laki lain di saat suaminya nggak ada. Aku memang istri yang nggak tahu diri! Suaminya berjuang mencari nafkah, istrinya malah bersenang-senang sendiri,” aku berhenti untuk mengambil napas sambil menahan air mata, “tapi aku tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama, Mas. Pras juga sangat menjaga diri, nggak pernah berbuat kurang ajar.”
Mas Bayu seperti tidak mendengar kata-kataku. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Sasha yang minta tolong aku untuk bertemu katering karena ia masih sibuk di kantor. Nanti kalau sudah dapat menu dan harganya, ia dan Bintang akan ngurus sendiri,” imbuhku pelan.
“Amira … Amira! Bukan soal kamu nggak berbuat macam-macam. Jalan bareng lelaki yang bukan mahram saja itu nggak benar. Masa gitu aja masih dikasih tahu? Atau kamu memang mencari pembenaran aja supaya bisa pergi berduaan?” sentak Mas Bayu.
Aku tak kuat lagi mendengar nada sinis suamiku.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya