“Kamu kok lesu banget. Ada apa?” tanya Rika seraya mengusap lembut lengan Fadli.
Fadli menghela napas, terlihat seperti tengah menanggung sesuatu yang berat dalam benaknya. Matanya menatap kosong pada layar televisi di depan mereka, tanpa benar-benar memperhatikan acara yang tengah ditayangkan.
“Ada apa, Fad?” Suara Rika terdengar mendesak. “Barangkali aku bisa membantu.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nggak enak sama kamu,” jawab Fadli. “Selama ini kamu sudah banyak bantu aku.”
Rika meraih tangan kanan pria berkulit kecokelatan itu dan menggenggamnya.
“Kamu kan suamiku, jadi wajar dong kalau aku bantuin kamu. Ngomong aja kamu butuh apa. Kalau aku bisa, pasti aku bantu.”
Fadli menatap tautan tangannya dengan Rika, lalu berpaling, memandang wanita itu dengan tatapan sayu. “Kamu mau bantu aku lagi?”
Rika mengangguk mengiyakan.
“Kamu ingat bisnis cuci mobil yang mau kubikin sama teman-teman SMA-ku?”
Rika mengangguk. “Oh, itu. Administrasinya sudah beres? Lokasinya sudah dapat, kan?” Dia mengambil remote untuk mematikan televisi, lalu memusatkan perhatian pada sang suami.
“Ya, itu … eum … temanku yang ngurusin lisensi dan lokasi mendadak kabur, bawa uang sewa yang aku kasih. Maksudku, itu uang yang kamu kasih buat mulai bisnis. Aku merasa nggak enak mau lapor polisi. Dia salah satu temanku yang paling baik. Dulu dia nggak begitu. Aku pikir … dia kabur pasti karena ada masalah keuangan yang bener-bener nggak bisa dia tangani.”
Selama beberapa saat keheningan menyelimuti ruangan itu sebelum akhirnya terdengar helaan napas Rika. “Ya, sudahlah. Kalau kamu merasa nggak enak lapor ke polisi, anggap aja kamu lagi buang sial. Terus, rencanamu gimana? Masih mau diterusin? Satu kabur, yang dua lagi gimana?”
“Mereka mau tetap jalan. Tapi, kami sudah nggak ada uang. Semuanya habis dibawa kabur Joni.”
Jeda kembali beberapa menit selama Rika berpikir, sementara itu Fadli menunduk, memperhatikan lagi tautan tangannya dengan sang istri. Warna kulitnya yang gelap terlihat kontras dengan warna kulit Rika yang putih. Teman-teman mereka kerapkali meledek seperti susu dan kopi.
Rika memandang sosok Fadli, dan dalam sekejap merasa betapa beruntungnya dia saat lelaki itu memilihnya di antara gadis-gadis lain yang mengejarnya. Apa pun akan dia lakukan demi cintanya pada sang suami. Uang bisa dicari, tapi di mana lagi dia mencari pria tampan seperti Fadli yang mau menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak cantik dan tidak seksi seperti dirinya?
“Baiklah. Aku kirim lagi lima ratus.” Rika melepaskan genggaman tangannya. Tanpa menunggu jawaban dari Fadli, diambilnya ponsel dari meja dan membuka aplikasi salah satu bank. Tidak sampai lima menit kemudian, dia menunjukkan layar ponselnya. “Sudah aku transfer.”
Fadli tersenyum. “Terima kasih, Cinta ….”
Rika balas tersenyum, lalu memajukan wajah untuk mencium pria itu. Tapi belum sempat dia melakukannya, ponsel di tangannya berdering. “Ini Vero. Sebentar, ya.” Rika bangkit dan berjalan menuju kamar untuk menerima panggilan telepon dari adik bungsunya yang sedang kuliah di Amerika itu.
Setelah Rika menghilang di balik pintu, Fadli mengambil ponsel dari atas meja dan membuka aplikasi penjualan tiket. Dia mengetik kata “Macau” dan memilih tanggal pada fitur kalender. Sudut bibirnya melengkung ke atas saat membayangkan semua permainan yang bisa dia lakukan di tempat-tempat judi di sana, dan gadis-gadis seksi yang akan menemani malam-malamnya di kota itu.
***
Tentang Penulis
Eunike Hanny, tinggal di Tangerang Selatan. Tulisan yang sudah terbit antara lain, Saat Gota Tersesat (cerita anak, bisa dibaca di Gramedia Digital), Klub Bunuh Diri (Bukuditeras), A Prenup Letter (bisa dibaca di iPusnas), dan skenario film pendek untuk layanan streaming. Penulis bisa dihubungi di IG @hanny1806 / FB Eunike Hanny.