Novel : Bertahan di Atas Luka – Part 6

Cover novel Pandora 2

Amira Dzakiya

Tanpa sadar aku tersenyum mengingat semua obrolanku dan Marisa tentang Mas Bayu.  Masih membekas rasa hangat wajahku setiap kali membicarakan lelaki dengan dagu terbelah itu. Delapan tahun lalu, ketika akhirnya Mas Bayu melamar dan minta izin kepada Mama dan Ayah untuk menikahiku tepat setahun setelah perkenalan kami.

“Lo yakin mau nikah sama Bayu, Mir?” tanya Marisa dengan tatapan tak percaya.  Ia menghentikan suapannya menanti jawabanku.

Aku meneguk segelas air putih dingin sebelum menjawab pertanyaannya.

“Mir!” desak Marisa tak sabar.

“Iya, sabar! Sebentar kenapa, gue masih minum, Sa!” sahutku dengan mata melotot.

Gadis berambut ikal di depanku tergelak.

“Puas, ya, bikin orang keselak,” kataku jengkel.

“Sori, Sayang.  Lagian lama amat minumnya.” Marisa kembali menatapku, menunggu jawaban.

“Kalau ditanya yakin apa nggak nikah sama Bayu, jujur, gue juga nggak tahu. Gue hanya nggak mau pacaran lama-lama. Hati kecil gue bilang, kalau Bayu cowok yang baik dan bertanggung jawab. Jangan tanya gimana gue tahu,ya? Gue udah bilang ini dari hati kecil gue.”

“Tapi lo kan baru kenal dia, Mir? Lo belum tahu sifat aslinya, belum tahu latar belakang keluarganya. Nanti kalau ternyata lo ngerasa nggak cocok, gimana?”

“Marisa …, gue kenal dia udah setahun. Gue rasa cukup buat tahu sifatnya. Buat gue, agamanya bagus, orang tuanya juga baik, itu udah cukup. Meskipun awalnya orang tua Bayu agak nggak setuju dia nikah sama gue, tapi akhirnya mereka ngalah.”

Aku mengangkat sendok dan memasukkan suapan terakhir ke mulut, lalu mengunyah dengan nikmat.  Pedasnya sambal soto membuat wajahku basah oleh keringat.

“Nah, apalagi orang tuanya sempat nggak setuju. Amira, nikah itu buat seumur hidup, lo mesti ingat itu! Nikah itu bukan perkara main-main. Nggak cukup modal cinta doang. Nikah itu nyatuin dua manusia berbeda, lo udah siap?” Marisa menasihatiku panjang lebar.

“Jangan khawatir, Sa. Lo doain aja gue, ya?” Aku menatap wajahnya dengan sayang.

“Doa mah, selalu, tapi doa aja kan nggak cukup, Mir.  Gue nggak mau lo nyesal karena Bayu nyakitin lo.”

Aku hanya tersenyum menanggapi kekhawatiran Marisa.  “Gue akan baik-baik aja, Sa.”

“Janji, ya, Mir! Kalau ada masalah, lo tahu gue di mana,” ujar Marisa lembut.

Janji itu selalu kuingat. Itulah sebabnya sebelum pulang, aku menghubungi Marisa untuk menjemputku di bandara. Mama dan kedua adik kembarku sengaja tidak kuberitahu tentang kepulangan ini.

“Good evening, Mam. Mau makan apa untuk makan malam?” Suara pramugari mengembalikan lamunanku.

“Ada pilihan apa?” tanyaku sambil menurunkan meja kecil dari kursi di depanku.

“We have Chicken Pasta and Briyani Rice with Chicken.”  Pramugari perempuan berseragam biru itu memegang dua box makanan dalam karton alumunium foil panas.

“Saya pilih Chicken Pasta aja. Sama air mineral, ya.”

Setelah memberikan nampan berisi makanan pilihanku, ia menuangkan air putih dingin di gelas plastik bening dan memberikan padaku.

“Enjoy your dinner!” katanya ramah sambil meneruskan pekerjaannya.

“Terima kasih.”  Aku menjawab dan mulai menikmati satu persatu hidangan yang ada di nampan. Selain Chicken Pasta, ada roti dan mentega, salad sayuran, dan puding. Sambi makan, aku memandang gelapnya malam dari jendela pesawat. Beruntung aku duduk di dekat jendela. Kursi di sampingku kosong, sehingga aku bisa leluasa menaikkan kaki bila terasa kaku.

Sambil makan, aku kembali teringat perjalanan kehidupan pernikahanku.

Pesta pernikahan kami termasuk sederhana menurut Mas Bayu. Ia menyampaikan kalau ayah dan ibunya ingin pesta yang biasa saja, tidak perlu mewah atau berlebihan.  Aku tidak keberatan, karena memang uang tabunganku tidak seberapa. Pesta yang menurut Mas Bayu biasa, menurutku cukup mewah.

“Maaf ya, Mir, aku nggak bisa kasih kamu dana lebih untuk bikin pesta yang mewah karena Ayah menolak membantu biaya pernikahan kita. Semua yang aku kasih ke kamu itu hasil tabunganku sendiri selama bekerja,” ujar Mas Bayu setelah acara lamaran.

“Jangan khawatir, Mas! Aku akan bikin acara yang indah meski dengan dana terbatas.  Bagiku, yang penting kita menikah dan mulai mengarungi hidup baru, berdua.”

“Iya, tapi dananya juga jangan dihabis-habiskan.  Kita masih perlu dana untuk membeli rumah.”

“Pelan-pelan aja, Mas. Kita kan bisa kontrak dulu sementara—”

“Jangan!  Aku nggak mau ngontrak. Daripada untuk bayar kontrakan, lebih baik untuk biaya cicilan rumah tiap bulan.”

“Iya, tapi untuk beli rumah kan perlu DP, Mas.  Dari mana uangnya?” tanyaku ragu.

“Nah, makanya sisihkan dari dana pesta. Bisa, kan?”

Perlahan aku mengangguk. Otakku bekerja keras menyusun rencana pesta dengan dana terbatas. Mas Bayu menepati kata-katanya.  Ia tidak menyerahkan semua tabungannya, sehingga aku terpaksa mengambil tabunganku yang selama bertahun-tahun kukumpulkan dengan susah payah.

Ada rasa tidak nyaman dengan keputusan Mas Bayu.  Namun, aku berusaha mengerti dan memakluminya.  Akhirnya, sebulan setelah menikah, kami mulai mencari rumah. Sementara ini, ia setuju kami mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan kantorku untuk mengurangi pengeluaran.  Sedangkan Mas Bayu menggunakan motor untuk ke kantor.

Seorang ibu rumah tangga dan penulis novel yang ingin berbagi kebaikan melalui tulisan.