“Malam ini, kalian semua harus tuguran, berjaga-jaga,” ujar Pakde dengan suara rendah namun tegas. “Jangan ada yang tidur. Baca al-Quran sepanjang malam. Semua lampu dinyalakan, jangan sampai ada yang mati. Rumah dalam keadaan terang benderang, luar dan dalam. Serangan ini tidak main-main.”
Semua sibuk mempersiapkan untuk berjaga tidak tidur semalaman. Entah sampai kapan. Arum dan Simbok mempersiapkan lauk kering yang tidak perlu dihangatkan juga camilan. Rangga dibantu sopirnya memeriksa semua lampu.
Sementara di rumah dukun Jungsemi, Erlika terbangun oleh cahaya matahari yang menyusup dari celah-celah dinding kayu. Dia kebingungan, sedikit demi sedikit ingatannya pulih. Dia tersenyum, membenahi sarungnya, lalu bangkit duduk. Wajahnya terpantul jelas di cermin lemari. Tangannya mengelus wajahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bener kata Aki, aku lebih cantik,” gumamnya lirih sambil tersenyum puas. “Toni pasti akan lebih tergila-gila padaku! Gak nyangka, tujuannya nyantet, dapet bonus cantik.”
Dia merebahkan diri lagi. Perutnya mulai menagih minta diisi. Dia bangkit duduk bersandar dinding. Tiba-tiba pintu terbuka. Aki masuk membawa kantong kresek berisi bungkusan nasi dan lauk pauk, serta sekantong barang-barang kebutuhan ritual.
“Sudah bangun? Nih simpan di wadah, kita makan. Peralatan ada di dapur,” perintahnya.
Keduanya makan bersama sambil bercanda, seperti pengantin baru.
Ternyata Aki lembut dan hangat, gumam Erlika dalam hati.
Selesai makan, Erlika mencuci piring mangkuk bekas makan. Sambil cuci piring dia melihat sekitar ada bilik kecil di bawah rumpun bambu, “itu pasti kamar mandi. Dapet air dari mana? Aaah persetan yang penting ada,” bisiknya lirih.
Erlika masuk ke dalam didapatinya si dukun tidak ada. Dia mencium asap rokok. Aki sedang duduk di bale-bale depan rumah. Dia menyusul duduk di sebelahnya. Aki Jungsemi memasang tirai gaib menyelubungi tempat tinggalnya. Erlika merasa ingin dan ingin sekali merasakan sentuhan-sentuhannya.
Keduanya masuk, mereka berpagutan, meniti tangga menuju surga khayalan dilamun asmara hingga terpuaskan. Erlika tidak sadar energinya diserap si dukun untuk memperkuat kekuatannya. Si dukun juga memanfaatkan rasa benci Erlika kepada target, untuk memudahkan meneror targetnya secara gaib.
Erlika tergolek kelelahan, tubuhnya lunglai tidak bertenaga. Berkebalikan dengan Aki Jungsemi, dia begitu segar berenergi. Melihat Erlika yang lunglai, dia menggendongnya bak Gatotkaca yang sedang kasmaran menggendong Endang Pregiwa. Aki membawanya ke belakang, lalu melompat terjun ke dalam lembah, Erlika merasakan sensasi terbang yang indah. Keduanya mendarat dengan mulus di tepi sungai di dasar lembah. Air dingin dan jernih mengembalikan tenaga Erlika. Dia berendam sepuasnya.
***
Hari sudah menjelang sore, di kediaman keluarga Danusaputra semua persiapan sudah selesai. Mereka semua istirahat, hingga waktu asar berkumandang. Semua orang di rumah itu tidak tenang hatinya. Rangga dan Dakim, sopirnya yang merupakan suami Simbok, pergi ke masjid. Sementara Arum, Ratih dan simbok menunaikan salat Asar berjamaah di rumah.
Ternyata benar, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Rumah tinggal Ratih yang sudah dilindungi dengan pagar gaib oleh Mpek An Cong ditembus oleh kekuatan hitam. Mulai menjelang magrib suasana makin mencekam. Ratih kembali merasa lemah dan pucat. Dia mulai mendapat gangguan yang menakutkan. Selepas salat Magrib rasa kantuk menyerangnya. Dia tidak lagi mampu untuk duduk dan tadarus menunggu salat Isya. Bundanya melihat Ratih ngantuk berat, menyuruhnya tidur.
“Ratih, kalau ngantuk tidur saja. Nanti waktu isya Bunda bangunin. Jangan lupa berdoa,” saran bundanya.
Ratih menaruh al-Quran di nakas, lalu naik ke tempat tidur. Belum lama Ratih tertidur, dia mengalami mimpi buruk.
“Wuaaa … jangan! … jangan! Tolong …!” jerit Ratih.
Tubuhnya bergelung menggigil ketakutan. Bundanya yang sedang tadarus, segera bangkit membangunkannya. Ayahnya yang sedang tadarus di ruang tengah langsung naik ke kamar Ratih.
“Astagfirullahaladzim … Ratih, bangun! Bangun, Sayang.”
“Bunda … Ratih takut …,” kata Ratih langsung memeluk bundanya. Arum, memeluknya erat.
“Ular, Bun … ular hitam itu datang lagi, dan di–dia menjerat leherku, dia membawaku ke tempat gelap ….”
Mendengar kata-kata putrinya yang ketakutan, Rangga terpaku di depan pintu. Arum menggigil, tapi mencoba untuk tenang.
“Sayang, semua ini akan segera berakhir. Bunda sudah meminta Pakde Narto kemari. Pakde baru bisa berangkat, besok pagi. Semua akan melindungimu, Sayang. Ayo bangun, sebentar lagi isya.”
“Bun, Ratih mau minum susu.”
“Wudhu dulu, nanti Bunda ambilkan. Mau yang dingin atau yang biasa?”
“Yang dingin.”
Rangga memberi kode, dia yang akan mengambilkan. Selesai salat dan minum susu, Ratih duduk bersandar bantal lalu berzikir. Bundanya melanjutkan tadarus. Beberapa saat kemudian, Ratih kembali tertidur nyenyak. Setelah menyelimuti putrinya, Arum keluar kamar, bergabung dengan suaminya yang sedang tadarus.
“Bagaimana Ratih?”
“Alhamdulillah sudah tidur lagi. Makan dulu, Yah. Kita mau begadang, nanti masuk angin.”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya