Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 26)

Desain tanpa judul 20241108 210108 0000 2

Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 26)

Perempuan penuh dendam dan kesepian, bersama si dukun mesum terbangun saat fajar menyingsing. Si Aki mesum langsung mengelus tempat-tempat sensitif wanita, memasukkan lidahnya ke telinga sambil berbisik.

“Kau harus menyerap sinar surya pagi pertama untuk mendapatkan kekuatan dan kecantikan. Aku akan membantumu.”

Si Aki mengambil kembang tujuh rupa masing-masing satu, meremasnya lalu menyuruhnya untuk memakannya. Erlika menolak. Dukun itu memaksanya dengan memasukkan langsung gumpalan bunga ke dalam mulut Erlika. Dengan segera melakukan sentuhan dan ciuman di tempat-tempat tertentu, Erlika melupakan rasa kembang. Dia terus mengunyah dan mengunyah lalu menelannya sambil menikmati manisnya air asmara. Keduanya seperti hidup di sorga di jaman Adam dan Hawa baru tercipta, tak ada rasa malu.

Mentari sudah bulat penuh, Erlika mandi kembang, menghadap matahari terbit. Wajah mendongak tepat ke arah surya yang baru meninggalkan peraduannya. Seluruh tubuhnya dibaluri kembang tujuh rupa oleh si dukun. Erlika tidak menyadari, Aki Jungsemi memasukkan mantra ke tubuh dan pikirannya tanpa kecuali, membuat dirinya dalam kendali penuh si dukun cabul. Setelah ritual mandi versi dukun cabul selesai keduanya pulang.

“Sekarang tidurlah, aku puas dengan pelayananmu. Tidak rugi, aku sudah uluk salam mengganggu orang yang kau benci. Aku akan menambah penderitaannya. Dia pasti sangat kesakitan. Aku mau turun ke kampung membeli kebutuhan untuk makan dan ritual.”

Erlika hanya mengangguk. Dia terlalu lelah dan ngantuk, perut laparnya tidak dia hiraukan. Tanpa ganti baju dia langsung tergolek berbungkus sarung, lalu tertidur pulas. Sebelum pergi Aki Jungsemi melakukan ritual. Kedua tangannya menjentikkan jari. Dari jari-jari itu muncul bulatan-bulatan kecil yang menyatu membuat bulatan hitam berduri. Jungsemi meniupnya dan wuss menghilang menerobos dinding.

***

Rasa sakit perut Ratih semakin memburuk, membuat bundanya tidak tidur. Keningnya berkeringat karena menahan sakit. Mamah Ninit juga tidak bisa tidur, dia bergegas keluar untuk mengambil obat dan minuman hangat.

Bundanya membaluri Ratih dengan minyak gosok di perut, punggung, ujung kakinya yang dingin dan basah, lalu kedua tangannya. Melihat bilur-bilur di tubuh putrinya, dahi Arum langsung mengernyit.

“Sayang, memar-memar ini … nggak mungkin karena jatuh, kan?”

Ratih hanya menangis. Bundanya minta penjelasan, Ratih langsung memeluk dan menangis nelangsa. Terdengar langkah kaki mendekat, Ratih langsung melepas pelukan, menghentikan tangisan dan kembali rebahan. Bundanya juga tanggap, meneruskan balurannya. Kemudian mengganti baju Ratih yang basah oleh keringat. Ninit, masuk.

“Ratih, minum dulu untuk menghangatkan perutmu!” Teh hangat satu cangkir, langsung dihabiskan. Ninit memberikan obat dan segelas air putih.

“Sayang, besok ke dokter, ya? Sekarang minum ini dulu untuk mengurangi rasa sakitnya.”

Setelah minum pereda rasa sakit, ditambah kurang tidur, membuat Ratih tertidur. Bunda dan mamahnya pun ikut tertidur. Keesokan harinya, Ratih nggak mau sarapan. Perutnya melilit lagi seperti semalam, terasa semakin parah. Dia minta pulang. Barman, dan Ninit mengizinkannya. Toni pun tidak berkeberatan.

Keluarga Danusaputra pamit, sekalian membawa Ratih ke dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tak ada yang salah dengan fisiknya. Namun rasa sakit itu begitu nyata bagi Ratih, tangan dan kakinya pun sedingin es. Rangga dan Arum hanya bisa saling pandang. Dokter pun heran.

“Kau terlihat baik-baik saja secara medis,” kata dokter, sambil memandang Ratih dengan ekspresi bingung dan prihatin. “Tapi jika kau merasa sakit, mungkin kita perlu pemeriksaan lebih lanjut? Mmm … sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG.”

Ratih menolak, dia minta obat penghilang rasa sakit saja seperti semalam. Rasa sakitnya berkurang, dia juga bisa tidur.

“Apa yang diminum?”

Bundanya menyebut merk obat yang dijual bebas. Dokter hanya menyetujui untuk pemakaian tiga hari saja. Jika sakitnya belum hilang juga, dokter menyarankan untuk pemeriksaan menyeluruh.

Ratih hanya mengangguk, hati kecilnya merasakan bukan sakit yang wajar. Rasa sakit yang dia rasakan bukan berasal dari tubuhnya. Jika dia terus berzikir rasa sakit itu akan berkurang, sebentar saja dia berhenti rasa itu akan kembali menyengat sangat menyakitkan.

Dalam perjalanan pulang, Ratih kembali menegaskan, “Bunda, Ayah, perutku benar-benar sakit. Aku tidak bohong! Tapi … aneh sekali! Sekarang nggak sakit lagi!” kata ratih kebingungan.

“Jangan-jangan …,” Rangga ragu untuk mengatakannya.

“Perempuan itu tidak tau kalau Ratih pulang!” celetuk Ratih. “Coba Ratih nggak pernah tinggal di rumah itu …,” gumamnya sedikit kesal, matanya merebak merah.

“Ratih, sudahlah … semua ada yang mengatur,” kata bundanya dengan lembut. “Sekarang, kita harus bersyukur, kita telah aman. Semoga kita aman seterusnya,” lanjut Arum diaminkan oleh Ratih dan ayahnya.

Sesampai di rumah, Arum segera menghubungi Pakde Narto, saudara iparnya, yang memiliki kemampuan dalam dunia spiritual. Dia menjelaskan secara garis besar semua yang Ratih alami, hingga pagi ini. Pakde Narto berpesan, semua orang malam ini tanpa kecuali tidak boleh tidur walau sepicing pun.

Penulis menerbitkan buku novel Tri Logi Raden Arya di Penerbit Stiletto dengan Judul : Logi 1 - Vila di Atas Bukit, Logi 2 - Andre, Logi 3 - Reunion. 3 cerbung di KBM APP dengan judul : (1) Pesan dari Masa Lampau -TAMAT, (2) Kala Cinta Berkhianat - TAMAT, (3) Elegi Kehidupan - OTW