Novel : Padamu Aku Akan Kembali (Part 1)

20240808 135617 0000

Novel : Padamu Aku Akan Kembali (Part 1) : Bab. 1

Menyembunyikan sebuah rahasia dari seseorang yang sangat dicintai yang selama ini telah menjadi bagian hidup kita adalah hal yang sangat sulit. Kita seperti menarik diri untuk tersesat dalam sebuah gua yang tak tahu ke mana ujungnya. Semakin kita jauh melangkah semakin masuk dalam ruang hampa yang gelap dan pengap. Kita terperangkap dalam satu kebohongan yang akan menarik kebohongan-kebohongan selanjutnya. Kita akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari hal itu.

Kita selalu berlindung dari alibi yang menuntut raga ini untuk berlari mencapai sebuah kebebasan. Namun, rasa takut untuk kehilangan apa yang kita miliki membawanya untuk terus masuk dalam jurang kebohongan lebih dalam lagi. Sanggupkah menanggung beban atas kebohongan yang telah kita ciptakan?

Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku yang terperangkap dalam sebuah jurang kehancuran dari sebuah hubungan terlarang dengan Tiwi. Seorang perempuan cantik yang tahun ini akan melangsungkan pertunangan dengan pria pilihan orang tuanya. Ya, saat ini aku pun telah memiliki istri dan dua orang anak.

Perselingkuhan ini berjalan cukup lama, hampir hampir tiga tahun hingga akhirnya Tiwi hamil.

“Fan, aku punya kejutan buat kamu.” Dengan mata yang berbinar Tiwi merogoh isi tasnya yang ia letakkan di sofa. Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru muda dari dalam tas.

“Yeay … buka dong!” ucap Tiwi sangat senang.

Lalu, Tiwi memberikannya padaku. Tiba-tiba kecemasan menghampiriku saat Tiwi mengatakan ada sebuah kejutan untukku. Rasa penasaran sekaligus gelisah. Aku berusaha tetap tersenyum di depannya.

Aku tetap menerima kotak itu dengan senyum terbaikku. Kubuka kotak biru itu dengan hati-hati. Secarik kertas berwarna biru dan sebuah testpack dengan tanda  dua garis merah. Apa yang selama ini kukhawatirkan dan kujaga dengan baik-baik terjadi juga. Aku bingung dan tak bisa lagi kututupi kecemasanku.

“Nggak mungkin! Udah sering, kan, aku bilang hati-hati. Kita harus selalu main aman, Tiwi. Apa jagan-jangan kamu nggak minum pil KB-nya, kan?”

Aku masih tidak percaya dengan kabar ini yang datang tiba-tiba.

“Atau mungkin saja kamu sudah melakukannya dengan Danish, calon tunanganmu itu di belakangku.”

“Tidak! Aku tak pernah melakukan apa pun dengan Danish. Meski aku sempat berniat memanfaatkannya, tapi aku belum senekat itu,” sanggah Tiwi.

“Aku memang menerima lamaran Danish, berharap suatu saat nanti aku bisa melepasmu. Tapi … aku belum bisa, Irfan.”

“Coba kamu pikirkan lagi, Tiwi. Tak ada gunanya juga kamu mempertahankan janinmu itu. Maksudnya, mmm ….”

“Kamu mau lari dari tanggung jawabmu? Kamu mau menghindar dariku, dari calon anak yang ada dalam rahimku ini?” Tiwi mencecarku dengan nada meninggi

“Bukan. Bukan begitu, maksudku.”

Aku semakin dibuat dilema. Aku menikmati hubungan terlarang ini dengan tiwi. Bersama Tiwi aku banyak menemukan hal-hal baru dan mencoba hal-hal yang memacu adrenalinku sebagai laki-laki. Meski sebenarnya semua wanita itu sama. Tapi, bersama Tiwi kutemukan sesuatu yang berbeda. Ada sensasi tersendiri yang kurasakan. Aku mendapatkan kebahagiaan lebih yang tidak kudapatkan pada Haura, istriku.

Aku tersadar, aku telah terlena dengan kebahagiaan sesaat yang Tiwi berikan. Satu sisi aku ingin tetap menikmati semua ini. Aku membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Tetapi, aku juga sadar apa yang kulakukan salah. Aku sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan keluargaku. Apa yang kulakukan ternyata menyisakan luka pada mereka. Aku egois. Aku hanya memikirkan kebahagiaanku sendiri.

Kebahagiaan tak seharusnya kuraih dengan menghancurkan dan melukai orang-orang yang kucintai, istri dan anak-anakku. Mereka yang telah lebih awal kupilih menjadi bagian dari setiap cerita dalam hidupku. Mereka yang telah memberikan semangat untuk kehidupanku.

Terutama anak-anakku, Tiara dan Raka. Aku tidak mungkin menghancurkan jiwa anakku dengan memisahkan mereka dari ibunya. Tetapi, kalau kupilih poligami, rasanya lebih tidak mungkin. Aku tak mungkin melakukan itu. Meski memang anakku belum paham apa yang dialami orang tuanya. Aku tidak mungkin membiarkan anak-anakku tumbuh dalam kebingungan karena mereka harus menerima keadaan memiliki dua orang ibu.

Lalu, Haura, istriku. Mungkinkah dia menerima keputusanku? Jika pada akhirnya aku menikahi dua orang yang kucintai tanpa harus melepaskan salah satunya.

Pikiran-pikiran itu yang kini menghantuiku. Mungkin saja Tuhan sedang menghukumku dengan datangnya kabar kehamilan Tiwi. Telah lama aku menjatuhkan diri ke dalam jurang kenistaan dan kehancuran dalam hidupku. Berkali-kali Tuhan menamparku untuk  mengingatkan kesalahanku, tapi tak kuindahkan peringatannya.

Pertengkaranku dengan Tiwi masih berlangsung. Aku yang terdiam. Isi kepalaku terlalu ramai memikirkan bagaimana kelanjutannya. Apa yang harus kulakukan?

“Ingat, Irfan! Aku nggak mau kamu pergi meninggalkan aku dan anakmu sendiri. Sudah lama aku memintamu untuk tinggalkan keluargamu itu. Kamu pun pernah menjanjikan padaku untuk menceraikan Haura. Tapi, mana buktinya?” Tiwi terus saja mendesakku.