BAB 2 | Rencana Merayakan Perpisahan
Zayn menghampiri Ayahnya untuk mengambil sate kambing. Pada saat bersamaan, Zoya menarik lenganku menuju kamar. Rupanya Zayn memberi kesempatan kepada adiknya untuk membawaku kabur dari pandangan papanya. Aku memang sedang butuh waktu untuk melepaskan rasa sedihku. Namun, aku nggak menyangka kalau kedua anakku bisa sepeka itu.
Zoya mengajakku duduk di tepi ranjang kamarnya. Dia memelukku sekali lagi dengan durasi yang cukup lama. Rasanya nyaman sekali. Zoya jarang memelukku karena perihal jarak. Anak gadisku memilih tinggal di Jogja ketimbang tinggal bersama papa dan mamanya. Jujur saja, aku sangat merasa kesepian selama dia merantau. Dia anak ceria yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup dan ramai.
“Ma,” panggilnya lirih, lalu melepas pelukannya. “Aku menghormati keputusan Mama. Tapi, sebelum Mama bilang sama Papa soal rencana … itu. Boleh, nggak aku minta satu permintaan?”
Aku langsung mengangguk. Mendengar Zoya nggak mau menyebut kata perceraian membuat dadaku mencelus. Sesedih itu, kah kamu, Nak?
Zoya menghela napas berkali-kali. Ia mendadak diam setelah berbicara satu dua kata. Hal itu ia ulangi sampai berkali-kali.
“Katakan saja, Nak. Mama siap mendengarkan apa yang mau kamu bicarakan.” Aku berusaha meyakinkan Zoya, walau sebenarnya aku sendiri tidak yakin apakah aku benar-benar siap untuk mendengarnya.
“Boleh nggak, Mama menunda perceraian dan merahasiakan ini semua dari Papa sampai hari ulang tahun pernikahan kalian? Selama 6 bulan yang akan datang, aku dan Zayn akan mengusahakan untuk merayakan ulang tahun kami, Papa dan Mama seheboh mungkin.” Zoya menghela napas panjang sekali lagi. “Aku cuman pengin merayakan ulang tahun kita semua sebelum Mama dan Papa berpisah. Itu saja.”
Kalau dipikir-pikir lagi, kami memang jarang merayakan momen ulang tahun bersama sejak Zayn dan Zoya remaja. Kalau tidak salah ingat, terakhir kami merayakan ulang tahun Zayn dan Zoya pada saat sweet seventeen. Aku tidak keberatan dengan rencana Zoya. Hanya saja, aku harus lebih sabar menghadapi Ardi. Berada satu atap dengan orang yang membuat kita nggak nyaman itu sungguh menyiksa batin.
Zoya mengusap telapak tanganku. “Tolong lebih sabar lagi menghadapi Papa ya, Ma. Aku nggak tahu apa yang Mama rasain sekarang. Tapi, aku selalu berdoa semoga porsi bahagia Mama lebih banyak lagi.”
Entah kenapa kalimat yang keluar dari mulut anak-anakku malam ini membuatku sesak. Rasanya aku ingin berlari menerobos derasnya hujan, hal yang sering aku lakukan ketika Zoya dan Zayn tidak di rumah. Sayangnya, kali ini aku hanya bisa diam di rumah tanpa bisa melakukan apa pun.
***
Seperti yang sudah aku duga, Ardi bertanya soal mataku dan Zoya yang sembab. Beruntungnya, aku nggak perlu menjawab. Zoya dengan cekatan mengambil alih peranku untuk menjelaskan semuanya. Tentu saja anakku tidak menjawab jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengarang bebas cerita kalau kami menangis gara-gara menonton drama Korea. Ini kali pertama aku menyaksikan kebohongan anakku sendiri dan sialnya aku nggak bisa marah.
“Memang seajaib itu, ya akting pemainnya?” Ardi mengambil setusuk sate yang sudah disiapkan Zayn di piring masing-masing. “Papa nggak pernah mau nonton drama-drama begituan. Menyita waktu banget. Mending main sama Jaya.”
Tuh, kan! Aku bilang juga apa? Jaya, si burung murai sialan itu berhasil merebut posisiku dari Ardi. Dia senang sekali memuja dan memuji burungnya ketimbang istrinya sendiri. Ia tidak peduli dengan yang lainnya, asalkan ada Jaya.
“Yaelah, burung lagi,” celetuk Zoya. “Jangan main sama Jaya mulu dong, Pa! Sekali-kali, tuh ajakin main Mama. Sekarang, kan udah nggak perlu mikirin biaya kuliah kami. Jadi, kalian bebas bersenang-senang kayak pengantin baru dulu.”
Aku tersedak bumbu sate yang lumayan pedas. Sebisa mungkin aku menahan batuk, tapi tenggorokanku makin terasa pedas dan sakit. Pasrah. Akhirnya aku melepaskan batuk sampai Ardi yang duduk di seberang meja turun tangan menepuk punggungku. Sementara itu, Zayn dengan cekatan mengambil segelas air minum. Setelah batukku reda, Zoya melanjutkan obrolannya.
“Beneran, deh, Pa. Kayakanya Papa sama Mama harus banyakin liburan bareng. Hitung-hitung kasih reward karena sudah berhasil menyekolahkan kedua anaknya sampai sarjana.” Zoya mengambil dua tusuk satenya untuk dibagikan kepada Ardi.
“Untuk apa, Zoya? Jadwal Mama kamu padat. Mana ada waktu untuk liburan? Walaupun kalian sudah wisuda, kami masih harus menabung untuk biaya pernikahan kalian,” seloroh Ardi seperti tanpa beban. Kali ini giliran Zayn dan Zoya yang tersedak.
Jujur aku sudah nggak nyaman berada di meja dapur ini. Kepalaku sedikit pusing dan mengantuk karena efek menangis tadi. Satu-satunya hal yang menarik perhatianku, yakni ucapan Ardi yang bilang kalau jadwalku padat sampai nggak punya waktu untuk liburan bareng. Rasanya, aku ingin melempar sepiring sate ini ke wajah Ardi. Sayangnya, hal itu nggak akan mungkin terjadi. Aku masih takut dosa karena statusku masih menjadi istri sahnya. Mungkin, akan aku pertimbangkan kalau nanti kami sudah bercerai.
“Nggak perlu pikirin biaya pernikahan kami, Pa. Kami bisa cari sendiri, kok. Lagi pula perjalanan untuk sampai ke sana masih jauh banget.” Zayn menyenggol lengan Zoya. “Iya, kan, Zoy?”
Zoya buru-buru mengangguk. “Aku masih punya cita-cita mendaki gunung Fuji, Pa. Jadi, sepertinya rencana pernikahan itu masih 7 tahunan lagi, lah.”
Papa memukul telapak tangan putrinya, tapi Zoya berhasil mengelak. Tawa Zoya dan Ardi pun pecah. Suasana kembali mencair setelah Ardi membahas soal kehebatan Jaya. Aku bosan mendengarnya. Ucapan Ardi seperti templat yang kalimatnya terus berulang. Anehnya, Zoya masih kelihatan antusias mendengar penjelasan papanya.
Zayn memberiku dua tusuk sate kembing. Ia memisahkan daging dari tusukan dan mempersilakan aku makan hanya dari lirikan mata dan senyumannya. Melihat ekspresi Zayn mengingatkanku dengan masa muda Ardi. Perlakuannya mirip sekali dengan Ardi. Kalau soal ketampanan, Zayn jelas lebih tampan karena aku mewariskan gen hidung mancung padanya.
“Habisin, Ma. Habis itu langsung istirahat aja. Kalau mau dengerin Papa ngobrolin Jaya, bisa sampai besok pagi,” bisik Zayn yang duduk tepat di samping kiriku membuat suasana hatiku yang tegang sedikit mencair.
Aku menghabiskan dua belas tusuk sate tanpa nasi sampai bersih. Bukan karena aku lapar, tapi karena aku sudah muak mendengar omongan Ardi. Tuhan, berapa banyak kelas keterampilan yang harus aku ikuti sampai ulang tahun pernikahan kami? Rasanya aku sudah tidak sabar untuk mencapai garis finish dan segera keluar dari rumah ini.
Tinggalkan Komentar