Novel : Room for Two Bab 12: Simulasi Jadi Suami Istri
Seperti narkoba, kenikmatan yang ditimbulkan oleh kepak sayap kupu-kupu itu membuatku ketagihan. Aku menginginkannya, sekali atau dua kali lagi. Bahkan jika aku tak tahu malu dan Alston tak ragu-ragu, mungkin aku akan meminta Aslton melakukannya sampai ia tidak sanggup lagi melakukannya. Namun, aku cukup pandai untuk tidak terlalu merendahkan diri di hadapan Alston.
Karena itu, ketika bangun keesokan harinya, aku bergegas membersihkan diri. Aku juga berinisiatif memesan sarapan lewat aplikasi pesan antar—ada beberapa pesan masuk dari Reivan tapi aku sengaja tidak membacanya—lalu menatanya di meja kecil di sudut kamar Alston. Melakukan semua itu membuatku merasa seakan-akan kami memang sudah berumah tangga. Kuanggap begitulah yang akan kurasakan kelak setelah aku menjadi istri Alston. Hanya ada kebahagiaan, hanya ada sukacita.
Ketika Alston bangun, aku langsung menyambutnya dengan pelukan dan ciuman. Segera kusajikan jatah sarapannya, ia menerima pemberianku dengan raut wajah yang gembira.
“Aku seneng kamu di sini,” katanya sambil menyuapkan satu sendok penuh nasi kuning ke mulutnya.
“Rasanya kayak kita udah jadi suami istri, ya?”
“Iya,” jawab Alston. Ia tertawa. “Ini kayak simulasi jadi suami istri.”
Aku ikut menertawakan ucapannya.
“Jadi, nanti malam kamu tidur di sini lagi?”
Tidak langsung kujawab pertanyaan itu. Namun, setelah kurenungkan, sebagian besar dari egoku ingin agar aku tidak kembali lagi ke rumah Reivan.
“Kayaknya aku ke sini lagi. Boleh?”
Kepala Alston mengangguk penuh semangat. “Kamu mau balik dulu ambil baju?”
Ganti aku yang mengangguk menjawab pertanyaan Alston. “Tunggu siangan dikit biar enggak ada Reivan di sana.”
Alston menghabiskan sarapannya dalam waktu singkat. Tiba-tiba, saat aku menemaninya merokok di luar kamar, ia mengingatkanku tentang rencana balas dendam itu.
“Mungkin udah saatnya?”
Aku diam.
“Kamu bisa manfaatkan mantan pacarnya.”
Aku masih diam, bukan karena tidak setuju, tapi karena tawaran itu terlalu menarik untuk kuabaikan. Namun, aku juga takut karena itu artinya aku akan menyalahgunakan kewenanganku sebagai seorang jurnalis yang seharusnya jujur, objektif, tidak berpihak, dan independen.
Lalu, pertanyaan-pertanyaan berikutnya menggangguku. Bagaimana jika Mbak Monic tahu? Mbak Monic pasti tahu, tapi bagaimana jika dia tahu kalau berita yang kutulis itu memiliki muatan dendam kesumat pribadi kepada Reivan? Bagaimana jika bukan hanya karir Reivan yang kupertaruhkan? Bagaimana jika semua itu menimbulkan kekacauan yang tidak kuperkirakan?
“Aku enggak nyuruh kamu nulis berita bohong, Hun. Kamu bisa, kan, nulis artikel kreatif yang bahas profil dia. Biar lebih menarik, kamu tambahin sedikit bumbu tentang spekulasi hubungan dia sama mantan pacarnya, terus sambungin ke urusan keuangan kantornya.”
Seakan-akan menyetujui ide balas dendam yang Alston utarakan, Mbak Monic tiba-tiba saja menelepon. Ia menyuruhku mengisi jadwal CMS yang kosong dengan berita-berita terkini yang aktual dan faktual. Apa pun.
“Apa pun?” Aku mengulangi kata-kata Mbak Monic.
“Iya. Back up dulu seharian ini, ya, aku sama Jun mau liputan ke luar. Kalau bisa kamu ke kantor, handle absen anak-anak CC,” timpal Mbak Monic. “Sama tagihin artikel dari mereka. Alesan aja pada bilang enggak ada bahan nulis berita, wartawan apaan yang kehabisan bahan berita?! Tulis apa pun! Apa pun! Mau konten yang lagi tren, viral, atau evergreen, tulis aja semuanya, bahkan kalau perlu, si Cipung bisa ngupil pakai jari kaki juga ditulis beritanya!”
Bisa apa aku kalau semua merestui rencana itu?
***
Aku kembali ke rumah Reivan sebelum matahari tepat berada di atas kepala. Alston ikut, tapi dia tidak masuk. Dia memarkirkan mobilku di luar gerbang dan menungguku di sana.
“Neng Ishana, Neng mau ke mana?” tanya Bu Lia ketika melihatku menarik pakaian dari lemari dan memasukkannya cepat-cepat ke tas spunbond terdekat yang bisa kutemukan. “Kasian Mas Reivan, Neng, jangan kayak gini.”
“Maaf, Bu, aku harus jauh dulu dari Reivan.”
‘Tapi, Neng, yang namanya berantem harusnya diselesain, Neng, diobrolin. Jangan pergi dari sini, nanti malah jadi panjang urusannya. Mas Reivan kalau marah biasanya cuma sebentar, kok, Neng, enggak pernah lama.”
Aku berhenti memindahkan pakaian ketika mendengar kata-kata Bu Lia. Kuhela napas panjang lalu kutatap Bu Lia yang berdiri di sebelahku, agak terhalang oleh pintu lemari yang terbuka.
“Tapi Reivan keteraluan, Bu, saya sakit hati.”
Lalu begitu saja, aku menangis di pelukan Bu Lia. Kurasakan tangan Bu Lia mengelus-elus punggungku. Saat seperti itu aku jadi merasa lebih rapuh dari sebelumnya.
“Aku enggak sanggup ketemu dia sekarang. Aku mau pulang dulu, mau nenangin diri dulu. Maaf, ya, Bu. Ibu jangan cerita apa-apa ke Bu Nawang, ya.”
“Tenang, Neng, semua rahasia di rumah ini aman sama Ibu—”
“Bu, itu Pak Abi kenapa enggak masuk?”
Dewi datang menyela keintimanku bersama Bu Lia. Aku buru-buru melepaskan diri dari pelukan Bu Lia.
Tinggalkan Komentar