Novel : Room for Two Bab 10: Buah yang Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya
Sudah kuputuskan, aku tidak akan melakukan apa-apa untuk menghibur Reivan. Lebih tepatnya, aku tidak bisa. Aku tidak terpikir harus melakukan apa.
Reivan tidak pernah benar-benar terbuka kepadaku tentang kesulitannya, jadi aku pun tidak tahu harus melakukan apa untuk membuatnya merasa lebih baik. Beda dengan Alston. Kekasihku itu selalu terang-terangan mengungkapkan apa yang ia butuhkan. Katakan saja uang tunai, uang makan, uang kosan—karena perantau, Alston menyewa sebuah kamar kos selama tinggal di Bandung.
Hal yang paling baik yang bisa kulakukan untuk meringankan beban pikiran Reivan adalah dengan tidak bertanya apa-apa. Dengan begitu aku akan merasa ia baik-baik saja, sampai suatu ketika, aku malah menciptakan bencanaku sendiri.
Aku benar-benar tidak ingat, berapa pastinya uang yang kuhabiskan untuk “kebutuhanku”. Maksudku, tiap kali Alston meminta, aku akan langsung memberinya uang tanpa pikir panjang. Dan itu sudah berlangsung selama kurang lebih satu bulan.
Tidak ada masalah yang terjadi, setidaknya menurutku begitu, hingga Bu Nawang, ibunya Reivan, mengajakku belanja bulanan. Ajakan itu disampaikan oleh Bu Lia secara langsung di depan Reivan.
“Hari ini Bu Lia enggak belanja, ya, Neng. Ibu tadi telepon, katanya mau ngajakin Neng Ishana belanja.”
Hari itu hari Minggu. Reivan baru saja pulang dari kegiatan lari pagi dan aku baru beres sarapan.
“Kok, ibumu enggak telepon aku, sih?”
Reivan menggeleng sambil mengeringkan keringat yang membasahi kening dan lehernya menggunakan handuk kecil. “Ke saya juga enggak bilang apa-apa,” katanya. “Kapan Ibu telepon, Bu?”
“Tadi subuh, Mas. Tadi Ibu tanya mau masak apa, terus Bu Lia bilang, ‘belum tahu, Bu, Bu Lia mau lihat kulkas dulu ada sayur apa’. Terus taunya Ibu bilang, ‘Belum belanja? Ya udah, biar saya aja yang belanja sama mantu’, gitu katanya.”
Benar saja, Bu Nawang datang tepat pukul sembilan pagi sambil menyetir mobilnya sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi, ia malah memintaku duduk di kursi penumpang.
“Ibu sehat, kok, masih bisa nyetir sendiri,” jawabnya ketika aku meminta bertukar posisi.
Kami berbelanja ke supermarket yang terletak di jalan Riau. Aku, yang tidak paham harus belanja apa karena tidak tahu stok apa yang harus ditambah berapa, mengambil bahan makanan apa pun yang kupikir harus kusediakan di rumah. Aku harus bisa meyakinkan Bu Nawang bahwa selama jadi istri Reivan, aku cukup bisa diandalkan.
“Banyak banget, Na. Memangnya siapa yang sering makan mi?” tanya Bu Nawang ketika melihatku memasukkan masing-masing sepuluh bungkus mi rebus dan mi goreng instan ke dalam troli.
“Buat cadangan aja, Bu.”
“Kalau buat cadangan jangan banyak-banyak, Na, sebab Reivan, kan, enggak suka mi. Bu Lia juga enggak, nanti paling kamu sama Dewi yang makan. Enggak sehat, lho, apalagi kalau kamu sama Reivan lagi program mau punya anak, enggak bagus buat kesuburan.”
Aku tersenyum tawar sambil mengembalikan beberapa bungkus mi ke raknya.
“Reivan itu enggak pernah Ibu izinkan makan mi,” jelas Bu Nawang tanpa kuminta. “Ibu sempat kesusahan bikin dia lupa sama enaknya rasa mi instan, soalnya dulu dia terbiasa dikasih makan mi—pagi, siang, malam—sama ibunya. Syukurlah sejak tinggal sama Ibu lama-kelamaan dia bisa berhenti juga dari kebiasaan enggak sehat itu.”
“Memangnya Reivan ikut Ibu dari umur berapa?” Aku mengambil kesempatan itu untuk menggali masa lalu suamiku.
Bu Nawang berjalan mendorong trolinya sambil menatapku penuh tanda tanya. Kedua matanya yang berhias eye liner hitam dan eye shadow cokelat seakan-akan menelanjangiku. “Memangnya Reivan enggak pernah cerita?”
Aku menggeleng.
“Dasar anak itu. Padahal sama istri sendiri, tapi gengsinya masih aja tinggi,” gumamnya sambil tertawa kecil.
Saat itu aku terkagum-kagum melihat ibu mertuaku yang tampak awet muda. Antara ia pandai merawat diri atau mahir merias wajah, aku ingin terlihat sepertinya ketika kelak tiba di usia senja.
Kami lalu berhenti di rak minyak goreng. “Reivan ikut Ibu dari umur sepuluh tahun. Waktu itu dia masih kelas empat SD. Masa kecilnya sulit. Kamu pasti belum tahu, ya?”
Lagi-lagi aku menggeleng. Reivan memang tidak pernah bercerita apa-apa kepadaku. Lalu, mengalirlah kisah itu dari mulut Bu Nawang. Ia mengawalinya dengan menceritakan keluarga Reivan yang sebenarnya.
“Dulu Ibu punya pembantu, Suci namanya. Dia itu ibu kandungnya Reivan. Kerjanya bagus, orangnya rajin, tenaganya kepakai banget sama Ibu. Dia tinggal di kampung belakang kompleks rumah Ibu, jadi dia bisa pulang pergi—datang pagi, pulangnya siang atau sore. Kadang-kadang dia bawa anak-anaknya ke rumah, Reivan sama Resti, adiknya.”
Aku terkesiap. “Reivan punya adik?”
“Pernah punya,” kata Bu Nawang sembari menyibak rambutnya yang dipotong pendek ala polwan. “Adiknya meninggal, ibunya juga. Gara-gara bapaknya.”
“Maksudnya?”
“Mereka meninggal karena dibakar sama bapaknya Reivan. Cuma Reivan yang selamat.”
Tinggalkan Komentar