Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 30)
“Astagfirullahalazim!” Pak Kardi tersentak merasa kecolongan. Hanya sedetik terpesona melihat rumah mewah yang mereka datangi, membuatnya terlena. Pendengarannya yang tajam menangkap suara dari dunia lain. Terdengar suara gelak tawa mengejek penuh kemenangan dari sebentuk bayangan hitam.
Melihat serangan iblis yang menimpa Ratih, Pak Kardi bergegas keluar mobil sebelum mematikan mesinnya. Ratih meringkuk kesakitan sambil menangis. Pak Kardi merapal mantra-mantra dan membaca doa-doa lalu mengusapkan kedua tangan di punggung Ratih. Gumpalan bara di perutnya meredup. Sebagian gumpalan yang tidak sempat masuk langsung kabur. Pak Kardi menggendong Ratih sambil terus merapalkan mantra-mantra tolak bala aliran putih, diiringi doa dan zikir diperkuat ayat-ayat pilihan.
Mendengar kehebohan di halaman depan, keluarga Sumbogo keluar dengan tergesa. Begitu pintu rumah terbuka, Pak Kardi yang menggendong Ratih menyerobot masuk, diikuti Arum yang menangis lirih. Suami istri Barman dengan kepala penuh tanda tanya hanya bisa mengekor. Bahkan Toni, terduduk lemas di lantai, dia menangis. Hatinya seperti diremas-remas tanpa daya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ratih ditidurkan di kamarnya. Pak Min segera berlari melihat majikannya digendong dari mobil, dia menggantikan Pak Kardi memarkir mobil di depan garasi. Perlahan Toni bangkit menyusul istrinya. Terseok-seok nyaris terjatuh di tangga, menuju kamarnya. Penyesalan mendera tak berkesudahan.
Begitu Ratih tergolek di tempat tidur, sisa gumpalan di perutnya berputar keras menyerap energi dari tubuh Ratih dan bergolak di perutnya. Ratih merintih kesakitan. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi kening dan punggungnya.
Pak Kardi tidak henti-hentinya berkomat-kamit sambil terus berusaha meredakan rasa sakit yang diderita Ratih. Ketika jempol kakinya dipijat, Ratih berontak berteriak-teriak kesakitan. Arum dan Ninit hanya bisa menangis sambil memohon pertolongan kepada yang Maha Penyembuh.
Barman dan Toni juga merasa khawatir dan takut luar biasa. Keduanya merasa sangat bersalah. Air mata Toni terus mengucur dari matanya. Tak henti-henti dia terisak oleh rasa tak berdaya melindungi istrinya.
“Tolong, semuanya berzikir dan tadarus sebisanya. Ini serangan yang berat. Waspadalah, sepertinya mereka tidak main-main!” perintah Pak Kardi tegas.
Barman dan putranya beranjak mengambil al-Quran dan sajadah. Pak Kardi menahannya pergi.
“Tunggu sebentar!”
Barman dan Toni terhenti lalu memandang pak Kardi dengan keheranan. Pak Kardi berdeham lalu melanjutkan bicaranya.
“Maaf pak Barman, saya tidak tahu keadaan rumah ini. Tolong semua yang ada di rumah ini tanpa kecuali dibagi ke seluruh ruangan yang ada termasuk gardu sekuriti, untuk berzikir dan tadarus. Buka pintu yang mengarah ke dalam, agar seluruh bagian rumah menyatu. Pintu keluar ditutup rapat. Mbakyu Rangga dan ibu Barman, tolong di sini saja menjaga Jeng Ratih.”
Barman segera membagi tugas. Pak Kardi minta semangkuk besar air putih matang, kemudian menggelar sajadah di ruang tamu, setelah diberitahu arah kiblat. Pak Kardi salat sunah dua rakaat. Kemudian membaca surat-surat pilihan al-Quran beberapa kali, dilanjut ayat-ayat ruqyah di depan air dalam mangkuk. Jemari di tangan kanan tak henti menghitung biji-biji tasbih.
Azan magrib berkumandang dari televisi yang menyala tanpa penonton. Semua lelaki yang ada, termasuk sekuriti, salat jamaah di ruang tamu. Pak Kardi yakin, ayat-ayat suci yang dibacakan dan doa-doa yang diaminkan bersama-sama akan memberi energi positif pada air di mangkuk.
Di kamarnya Ratih terbaring lemah. Dia terpaksa salat sambil tiduran. Selepas salat Magrib, Ninit ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Arum teringat bawaannya.
“Nit, aku bawa beberapa lauk. Rantang ada di jok depan.” Ninit mengangguk sambil berterima kasih.
Mata Ratih terasa sangat berat. Tak terasa dia tertidur pulas. Bundanya segera membangunkannya.
“Ratih, bangun jangan tidur di waktu magrib. Ingat kata-kata pak Kardi. Teruslah bezikir,” perintah bundanya, sambil bangkit dari sajadah, lalu meninggikan bantal, hingga tubuh Ratih bisa lebih tegak.
“Bun, perutku sakit sekali,” rintih Ratih. Tubuhnya bergelung seperti posisi janin di perut.
Arum langsung mengusap punggung sambil melafalkan ayat-ayat suci, dilanjutkan doa Rasul pereda rasa sakit. Arum mengganti baju putrinya yang basah oleh keringat dingin. Tidak hentinya Ratih mendesis kesakitan.
Pak Kardi masuk setelah mengetuk pintu. Arum melaporkan jika Ratih kesakitan. Pak Kardi mengheningkan cipta sebentar. Kemudian menyuruh Ratih minum air doa dalam mangkuk sebanyak tiga tegukan.
“Mbakyu, ini sisanya dibalurkan ke seluruh tubuh dan kepalanya, jangan sampai ada yang terlewat.” Pak Kardi memberikan air sisa di mangkuk, lalu segera melangkah keluar.
Tubuh dan kepala Ratih diseka dengan sisa air doa. Rasa sakit mereda, tubuhnya pun terasa lebih segar, rasa kantuk pun hilang. Kemudian Arum memberikan al-Quran yang dibawa dari Rumah.
“Teruskan tadarus untuk menghilangkan kantukmu. Bertahanlah sampai salat Isya.” Ratih mengangguk sambil menerima al-Quran pemberian bundanya. Keduanya tadarus sampai azan Isya terdengar.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya