Novel : Petaka Sebuah Janji (END)
Pertempuran ilmu gaib tingkat tinggi berakhir, Jungsemi tewas, Pakde sujud syukur. Usaha mereka melenyapkan kebatilan berhasil. Berdua Mpek An Cong mereka duduk bersila kelelahan. Tubuhnya babak belur, napasnya tersengal. Sedikit lebih lama lagi pertempuran berlangsung, mungkin mereka akan tumbang. Namun semesta berpihak pada mereka. Kebaikan lebih unggul dari kejahatan. Karena kecabulannya Jungsemi dapat ditundukkan, kekuatan dan kesaktiannya lenyap.
Pakde dan Mpek An Cong mengatur napas, melancarkan jalan darahnya. Kelompok klenteng menghancurkan rumah dan semua peralatan ritual lalu dipendam di dasar lembah lebih ke hilir. Sedang jasad Jungsemi mereka kubur di seberangnya. Salah seorang turun tebing mengambil air untuk minum Mpek An Cong dan Pakde.
Erlika diam-diam merangkak untuk berlindung di bawah pohon besar yang dikelilingi semak belukar. Dia duduk dengan lemah bersandar pohon melihat dengan nanar, orang-orang yang sedang menghancurkan rumah Jungsemi hingga rata dengan tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam keadaan setengah sadar, Erlika terlalu lemah sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Dia ditemukan oleh orang dari kelompok klenteng yang mengambil air. Erlika segera ditolong. Pakde menotok beberapa titik di tubuhnya, untuk memulihkan sedikit tenaga yang tersisa.
“Aku … menyerah …,” bisik lirih Erlika, “aku tak bisa lagi melanjutkan ini.”
***
Ada awal ada akhir. Seperti itulah hukum alam yang berlaku. Begitu juga dengan derita. Tiada penderitaan yang tak berakhir.
Serangan kedua yang menimpa Ratih membuatnya muntah darah. Dia segera dilarikan ke rumah sakit langganan keluarga Sumbogo. Pak Kardi ikut mendampingi untuk mencegah serangan berikutnya. Barman menelpon direktur rumah sakit meminta pertolongan untuk menangani kondisi kesehatan Ratih.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam, tapi beberapa dokter yang berkompeten sudah berada di rumah sakit. Ratih langsung dibawa ke ruang observasi. Pak Kardi pamit untuk segera kembali ke rumah keluarga Barman, mencegah masuknya lagi bayangan gaib ke dalam rumah.
“Saya pamit, pulang ke rumah Pak Barman. Sebentar lagi mereka akan menyerbu rumah dukun sakti itu. Saya khawatir, dukun itu sempat mengirim utusannya lagi. Saya tidak mau kecolongan, membiarkan bayangan itu lolos masuk rumah lagi.”
“Silakan, Pak. Saya titip rumah,” kata Barman. “Kalau butuh sesuatu, minta pada Isah. Nggak usah sungkan Pak Kardi,” lanjutnya memberi saran.
Dengan kekhawatiran yang sangat, keluarga Ratih di luar ruang observasi, menunggu dengan gelisah. Arum tak henti-hentinya menangis. Perasaannya campur aduk. Dia merasa sangat bersalah, sekaligus menyesal. Ninit yang sedang menenangkan sahabat sekaligus besannya itu, akhirnya ikut menangis. Barman langsung khawatir akan kesehatan istrinya.
Sedang Toni hanya bisa menangis dalam diam. Dia sedang dihakimi oleh pikiran warasnya. Banyak andai-andai yang berseliweran dibenaknya.
Semua telah terjadi. Kebodohanku telah mencelakakan Ratih, istri sahku, rutuk hatinya.
Toni merasa sedang berusaha menolak pemberian tuhan. Dia sangat terluka, merasa mencelakai adik kecil yang dulu sangat dia sayangi dan kini menjadi istrinya. Dia menggumam lirih di tengah sedu-sedannya sambil menjambak kepalanya.
“Seharusnya aku menyadarinya, dan mensyukuri karunia ini. Allah sudah mendekatkan jodohku dari kecil, malah mengejar iblis pendendam dan ambisius. Bodohnya aku!”
Sementara di ruang observasi, Tim dokter terkejut mendapati adanya benda-benda tajam di lambung Ratih. Sampai tiga kali USG oleh tiga ahli, hasilnya sama. Tim dokter minta persetujuan direktur untuk melakukan scanning. Hasilnya sama, meskipun lebih akurat. Mereka segera mendiskusikan hasil observasi dengan keluarga.
“Lalu, putriku muntah darah, itu kenapa Dok?” tanya Arum sambil berurai air mata. Ninit memeluk menguatkan hati sahabatnya.
“Masih diobservasi, Bu, belum selesai. Sesuai hasil USG, dinding lambungnya banyak goresan. Kami masih mencari penyebab muntah darah. Kami terlalu fokus pada pasien yang kesakitan di bagian perutnya. Bagaimana benda-benda itu bisa masuk ke perut pasien, terus terang, kami juga tidak bisa memperkirakan.”
Semua diam membisu. Toni semakin terpukul dengan penderitaan istrinya. Rasa benci yang datang terlambat kepada Erlika, makin memuncak. Tak seorang pun yang bicara, meskipun mereka tahu dari mana asalnya benda-benda itu. Mereka kemudian berembuk mencari solusi terbaik.
Arum mengabari suaminya tentang kondisi Ratih. Dia menyesal mengijinkan Ratih tinggal di rumah mertuanya. Arum hanya bisa menangis.
“Aku akan kesana, jika diijinkan Pak Kardi! Tenanglah secara medis sudah ada yang menanganinya. Biar nanti sekalian aku melapor pada Pak Kardi.”
“Mbakyu bicara dengan Mas Rangga?” tanya Barman. Arum mengangguk.
“Boleh saya bicara?” Arum mengangguk lagi sambil memberikan ponselnya.
“Halo, Mas Rangga. Sudah mendengar keadaan Ratih sekarang? Coba, Mas Rangga minta pendapat Pak Kardi.”
Tidak makan waktu lama Rangga sudah sampai di rumah sakit. Arum lega melihat suaminya. Dia langsung memeluk dan menangis di dada suaminya. Rangga hanya mampu memeluk sambil menenangkan. Setelah istrinya tenang, Arum di papah duduk di sebelah Ninit, kemudian dia menyampaikan hasil pembicaraan dengan Pak Kardi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya