Novel : Petaka Sebuah Janji (27)

Desain tanpa judul 20241108 210108 0000 2

Novel : Petaka Sebuah Janji (27)

Sepulang subuhan, Pakde berdiri di tengah ruangan, Pak Kardi menghadap pintu keluar. Keduanya bersedekap sambil memejamkan mata, dengan khusuk membaca mantra pelindung. Rangga membaca surat-surat pendek dan beristigfar sebanyak-banyaknya dalam hati.

Di kamar belakang, Simbok duduk di sajadah terus membaca ayat kursi tanpa henti. Suaminya, sebagaimana hari-hari biasa, mencuci mobil majikannya, sambil terus berzikir. Sementara Arum bergegas masuk kamar memeluk Ratih yang tampak ketakutan.

“Sayang, baca ayat kursi banyak-banyak! Ratih hafal, kan?” Ratih hanya mengangguk. Setelah putrinya tenang, Arum mengambil Quran untuk tadarus.

“Bun, tolong Quran buat Ratih juga.” Keduanya khusyu membaca ayat-ayat suci.

Sementara di luar rumah, angin berembus lumayan kencang, kerikil berjatuhan seperti gerimis. Dakim yang sedang membersihkan mobil, berteriak-teriak ketakutan. Dengan wajah pucat pasi terduduk lemas di samping mobil. Pakde berlari menuju teras, Pak Kardi mengikuti lalu menuju samping rumah tempat Dakim berada.

Pak Kardi langsung menyemprot area tempat kerikil itu jatuh sambil berkomat-kamit melafalkan mantra untuk melenyapkan gendam yang dibawa oleh kerikil-kerikil itu. Begitu tersiram air, kerikil-kerikil itu berdesis sambil mengeluarkan asap. Jeritan Dakim yang tanpa sengaja menginjak kerikil saat berdiri sedikit membuyarkan konsentrasi Pakde dan Pak Kardi. Pertahanan keduanya goyah. Telapak kaki Dakim yang melepuh langsung disemprot air dan diludahi pak Kardi.

Di kamarnya, Ratih tidak konsentrasi, selintas rasa kangen pada suaminya menghampiri. Lehernya terasa kering. Dia menggapai gelas minum di nakas. Belum lagi gelas menempel bibirnya, pecah berkeping-keping, sebuah kerikil jatuh ke lantai, Ratih menjerit kaget, bajunya basah.

“Astagfirullah, Ratih! Ada apa?” tanya bundanya sambil bangkit dari sajadah.

“Nggak tau, Bunda,” jawabnya sambil mencari kerikil yang jatuh di lantai.

Ratih menemukannya menggelinding hingga ke kolong bangku riasnya. Saat mau mengambil, Arum berteriak menghentikannya.

“Jangan dipegang, bilang Pakde dulu!” Arum segera membuka pintu kamar, lalu berteriak melapor, “Pakde, di sini ada kerikil, gelas minum Ratih pecah!”

Pakde bergegas menuju kamar Ratih. Mengamati kerikil, sambil membaca ayat-ayat suci. Mengambil tisu untuk alas memegang kerikil. Tisu mengepulkan asap, Pakde menjatuhkan kerikil, merasa jarinya kepanasan seperti tersentuh api.

“Astagfirullahaladzim…,” seru Pakde, dia ingat telapak kaki Dakim yang melepuh setelah menginjak kerikil.

Ratih melebarkan mata ketakutan, begitu juga bundanya. Keduanya menutup mulut mereka yang ternganga. Mereka sama-sama membayangkan jika Ratih ceroboh mengambil kerikil begitu saja, tangannya pasti terbakar.

“Jeng Rum, tolong ambilkan air, cepat!”

Arum segera masuk kamar mandi, lalu mengisi gelas di wastafel setengahnya, kemudian diberikan kepada iparnya. Pakde menjepit kerikil dengan pinset lalu merendamnya di air gelas. Terdengar bunyi seperti bara api yang terkena air, mengerikan sekali. Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah. Pletok, prang dari arah ruang tamu.

“Jeng Rum, tolong ambil air dalam wadah yang lebih besar. Sekalian jepitan kue.”

“Astagfirullah,” teriak Rangga di ruang tamu. Sesuatu meluncur dari kaca jendela yang pecah, jatuh di kaki kursi sofa, nyaris menyentuh kakinya. Rangga gemetar, wajahnya pucat, keringat dingin mengembun.

Pakde segera berlari ke ruang depan sambil membawa gelas berisi kerikil. Bibirnya tak henti-hentinya berkomat kamit. Arum datang dari dapur dengan baskom kecil berisi air putih dan jepitan kue. Rangga masih terpaku dengan wajah pias. Dia melihat ke arah sesuatu dengan bentuk aneh, yang masuk dari kaca jendela yang pecah. Sementara Ratih di kamarnya terduduk lemas di pembaringan. Air matanya meleleh di pipi. Dia menangis lirih.

Pakde menjepit benda yang masuk dari kaca pecah, lalu merendamnya di air baskom. Desis bara api terkena air disertai asap mengepul, seperti kerikil di halaman dan di kamar Ratih. Serangan iblis yang tidak main-main.

Pak De lalu duduk bersila dihadapan baskom dan gelas. Bibirnya tak henti berkomat kamit, jarinya menghitung ruas-ruasnya dari kanan ke kiri beberapa kali. Kemudian minta tutup gelas dan baskom. Pakde memejamkan mata, melafalkan mantra-mantra lalu meniup di atas kedua wadah, kemudian wadah ditutup. Kedua wadah ditaruh di pojok ruangan. Rangga menelepon seorang anak buahnya untuk memasang kaca pengganti yang pecah. Benar-benar pagi yang sangat melelahkan dan menegangkan.

Ternyata, kegagalan serangan yang terjadi semalam, menyinggung perasaan si dukun sakti. Dia langsung mengirim serangan berikutnya di pagi harinya. Serangan batu kerikil dan sesuatu yang memecahkan kaca jendela. Kedatangan Pakde Narto, sedikit banyak membuat keluarga Rangga merasa tenang. Mereka hanya bisa berzikir dan tadarus Quran serta istigfar. Tanpa bantuan Pakde mereka tidak mampu melawan serangan yang tidak kasat mata.

Sementara Mpek An Cong yang sudah tiba di kediaman Sumbogo, begitu masuk langsung duduk di lantai tepat di depan pintu. Dengan tenang dan penuh konsentrasi, duduk menghadap arah tempat tinggal Ratih, dia meningkatkan ketajaman ilmunya menghadapi pembalasan Erlika pada kekalahan sebelumnya.

Penulis menerbitkan buku novel Tri Logi Raden Arya di Penerbit Stiletto dengan Judul : Logi 1 - Vila di Atas Bukit, Logi 2 - Andre, Logi 3 - Reunion. 3 cerbung di KBM APP dengan judul : (1) Pesan dari Masa Lampau -TAMAT, (2) Kala Cinta Berkhianat - TAMAT, (3) Elegi Kehidupan - OTW