Novel: Nayanika (Part 2)

Brown And Beige Vintage Floral Illustrative Romance Novel Book Cover 1 1

Jika itu cinta, seberapa besarnya pun rasa dongkol dan marahmu pada seseorang, kamu akan tetap merasa duniamu runtuh ketika mendapat kabar buruk tentangnya. Itulah yang kurasakan malam ini. Saat tiba di pintu kontrakan, dengan Ghani yang masih menungguku di luar (biasanya menunggu aku mematikan lampu baru dia pulang), aku membaca chat Mama di ponsel yang baru saja masuk.

‘Bisa pulang malam ini nggak, Nay? Kondisi Diandra drop. Ini lagi dibawa ke rumah sakit’

Seketika persendianku terasa lunak. Entah mengapa kabar buruk kali ini seperti lebih buruk dari biasanya. Separah apa pun kondisi Diandra, Mama tidak pernah mendesakku untuk pulang. Berbeda dengan kali ini.

Kecemasan dan rasa panik mulai menyerangku. Aku bingung hal pertama yang harus kulakukan. Jam tanganku menunjukkan pukul sembilan malam, dengan apa aku ke Surabaya jam segini?

“Nay? Kenapa nggak masuk?”

Suara berat dari Ghani refleks membuatku berbalik menatapnya. Seperti biasa laki-laki itu cukup peka pada perubahan mimik wajahku yang mungkin sekarang tampak seperti seorang jenderal yang kalah di medan perang.

“Aku… aku harus ke Surabaya malam ini.” Meskipun mencoba tenang, suaraku ternyata tidak terdengar setenang itu.

Ghani mendekat. Sepasang matanya penuh tanya, bergantian menatap ponselku yang kugenggam erat.

“Harus malam ini juga? Ada apa, Nay?”

“Diandra drop. Sepertinya cukup parah karena Mama minta aku pulang.”

Ghani mengambil ponsel yang kupegang, lalu membuka pesan yang dikirim Mama beberapa saat lalu.

“Tenang dulu. Kamu harus tenang biar bisa menyusun hal yang perlu kamu lakukan.”

Ghani memegang lenganku, menarik ke arah kursi kayu yang berada di teras. Setelah memastikan aku cukup tenang, laki-laki itu berjongkok di hadapanku, membuka sebuah aplikasi yang biasa kupakai ketika ingin memesan tiket perjalanan.

“Tiket ke Surabaya paling sudah habis malam ini, Nay. Paling cepat besok pagi pukul tujuh.”

Aku menggeleng cepat. Mengusap-usap lenganku yang disapu angin malam. “Nggak bisa. Aku harus cepat pulang. Aku nggak tenang kalau belum lihat kondisi Diandra.”

Ghani menggenggam kedua tanganku. “Hei. Kamu butuh bereskan urusanmu di kantor. Belum lagi barang-barangmu yang perlu dikemas. Besok pagi aja ya? Aku antar ke bandara.”

“Lalu Diandra bagaimana?” Tanpa sadar kedua pipiku sudah basah. Aku memang mudah menangis jika terkait dengan Diandra atau Mama. Karena hanya mereka keluarga yang kupunya.

“Coba telepon mamamu. Tanyakan kondisi Diandra seperti apa, lalu beritahu kondisimu yang baru bisa pulang besok pagi. Aku yakin mamamu memaklumi, Nay.”

Atas saran Ghani, aku menelepon Mama, menanyakan seberapa parah Diandra. Kemudian kuberitahu bahwa aku kehabisan tiket pesawat, dan sama halnya jika memakai kereta api karena jarak tempuh terbilang jauh. Tiba di Surabaya pun sama-sama pagi. Aku melakukan semua persis yang dikatakan Ghani, sebab pikiranku seperti sulit untuk diajak bekerja sama.

Setelah menelepon bagian HRD kantorku melalui panggilan pribadi dan menjelaskan kondisiku seperlunya, aku berhasil memperoleh cuti selama seminggu. Cukup menurutku. Toh selama ini aku tidak pernah menggunakan cutiku secara maksimal. Untung saja HRD-ku hanya menggerutu karena ditelepon malam-malam.

Karena ingin mengantarku pagi sekali, Ghani memilih menginap dan tidur di sofa depan TV. Katanya biar mudah kubangunkan. Dia tidak menjamin bisa menjemputku dengan tepat waktu jika berangkat dari apartemennya.

Sebelum tidur, aku mengemas pakaian dan segala hal yang perlu kubawa pulang. Termasuk laptop. Aku masih memiliki pekerjaan yang kutanggung dan harus kuselesaikan dalam tiga hari ke depan. Meski tidak nyaman cuti sambil tetap bekerja, namun itulah resiko yang harus kutanggung karena mengajukan cuti mendadak.

***

Pagi-pagi sekali Ghani mengantarku ke bandara. Untung saja cuaca sedang baik-baiknya, dan tidak ada kendala operasional hingga penerbanganku tidak mengalami delay, namun tetap saja, di dalam kabin pesawat, aku merasa waktu berjalan lebih lambat. Perjalanan yang memakan waktu tempuh kurang dari satu setengah jam, terasa seperti tiga jam bagiku.

Tepat pukul 08.25 pagi, aku tiba di bandara Juanda Surabaya. Setelah membereskan koperku di pengambilan bagasi, aku bergegas memesan taxi online yang seliweran memberikan promo pada calon penumpang.

Tanpa pikir lebih lama lagi, aku menerima tawaran mbak-mbak berseragam hijau yang rambutnya dikunci dengan polesan makeup tipis. Tidak lama kemudian, driver yang sesuai di aplikasiku datang menjemput dan memawab barang-barangku masuk ke bagasi mobil.

Ketika sampai di rumah, aku hanya sempat mengobrol sebentar dengan Mama. Beliau menawarkanku untuk makan dulu, namun aku sama sekali tidak merasa lapar, hingga lebih memilih mandi dan bersiap ke rumah sakit.

Saat sedang bersiap-siap menunggu sopir memanaskan mobil, aku tanpa sengaja melihat foto di dinding dengan ukuran besar di ruang tamu. Fotoku dan Diandra. Diambil saat kami merayakan kelulusan SMA. Diandra tersenyum tipis, terlihat tenang sesuai dengan pembawaannya, sementara aku merangkulnya dengan senyuman lebar, bahagia. Seolah aku berhasil meraih juara olimpiade yang tidak mungkin aku dapatkan. Saat itu, tidak ada satu pun yang tahu soal pergolakan batinku. Soal patah hati pertamaku karena cinta.

***

Bunyi denting lift menyadarkanku dari lamunan. Aku dan Mama tiba di lantai lima, lantai kamar Diandra dirawat. Setelah menyapa perawat di nurse station kami segera menuju pintu ketiga dari arah kami berdiri.

Mama menyentuh gagang pintu, lalu membuka setelah memberi salam. Aku mengekori dengan perasaan berdebar-debar secara tiba-tiba. Tubuhku bereaksi tanpa bisa kucegah. Kedua tanganku berkeringat dingin ketika melihat sosok maskulin di sofa yang menghadap bed.

Dia Arya Baga. Suami Diandra. Laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja hitam, yang kemudian dibalut dengan jas abu-abu bergaris biru pucat. Bawahannya memakai denim navy melengkapi tampilannya yang semi formal.

Arya adalah suami yang teramat menyayangi istrinya. Kata Mama, Arya sebenarnya tidak menyetujui Diandra berkarir setelah menikah, namun karena saudaraku yang berprofesi sebagai dokter itu memberikan alasan yang bisa diterima, Arya memilih mengalah. Diandra benar-benar berhenti bekerja ketika hamil karena merasa mudah kelelahan.

“Naya,” sapanya dengan suara yang lebih matang dan dalam dari yang kukenali dulu. Dia berdiri menyambut tangan Ibu, lalu mengangguk padaku. “Kapan kamu sampai?”

“Sekitar jam sebelas sudah sampai rumah, Mas.” Aku kembali memperhatikan wajahnya. Rahangnya yang tegas dibingkai dengan cambang tipis. Rambutnya yang hitam legam dipotong pendek dan rapih, bermodel low fade. Belahan di dagu seolah menjadi pelengkap fitur wajahnya. Namun di antara semua bagian di wajahnya, aku tidak pernah bisa menolak pesona matanya yang tajam sekaligus menyimpan kehangatan. Mata yang sesaat seolah memberikan perlindungan, namun detik berikutnya menunjukkan ketidakpedulian.

Sebelum aku terlihat seperti perempuan genit, atau lebih parah berperan menjadi Rani dalam film Ipar adalah Maut, aku mengalihkan pandanganku ke sosok yang terbaring lemah, dengan rambut yang sudah menipis. Meski rambut yang tersisa sedikit, aku masih bisa melihat ada wajahku di sana.

“Hei!” Aku tidak tahu sapaanku ini terdengar wajar untuk ditujukan kepada orang yang lagi sakit berat atau tidak, namun hanya kata itu yang ada di kepalaku.

Diandra tersenyum lemah, tangan kanannya seolah terasa berat dia angkat, memberikan reaksi agar aku semakin mendekat.

“Apa kabar?”

Suara Diandra terdengar seperti bisikan, bibirnya tampak pucat dan kering, kedua matanya tampak sembab, dan kelopaknya mengilat.

Aku duduk di kursi lalu menggenggam tangan kanannya. “Baik. Udah makan?”

Diandra memejamkan matanya sebentar. “Nggak bisa makan. Mual.”

“Tadi sempat makan bubur satu sendok, habis itu muntah, akhirnya nggak mau makan lagi.” Arya membantu menjelaskan kondisinya.

Aku melarikan tangan kiriku ke arah kepala Diandra. Membelai rambutnya. Rambut yang dulu hitam legam dan lebat seperti punyaku, kini terlihat lepek dan kuyu.

“Rontok,” lirih Diandra lagi.

“Tetap cantik,” Arya berujar menenangkan.

Aku ikut tersenyum. “Mau dibotak pun kamu tetap cantik, Di.”

“Maunya Mama memang dicukur aja. Tapi dianya gak mau. Takut terlihat seperti cowok katanya.” Mamaku sedari tadi berdiri tepat di sebelah kaki Diandra, mendengar kami berinteraksi sambil memijat betis anaknya.

“Hime dan Ren bisa takut,” balas Diandra.

Aku mengangguk mencoba memaklumi. Hime dan Ren adalah anak-anak Diandra. Sepasang kembar berbeda jenis kelamin. Kalau tidak salah usia mereka sudah memasuki lima tahun.

“Hm… mereka kok nggak kelihatan?”

“Aku minta mereka pulang. Ibunya nggak bisa istirahat nanti. Hime selalu ikut rebahan di bed, sementara Ren nggak mau kalah.”

“Trus kata dokter Diandra gimana, Nak Arya?”

Arya diam sejenak. “Sudah dijadwalkan PET scan nanti sore, Bu. Semacam pemeriksaan untuk mendeteksi apakah ada sebaran kanker atau tidak. Setelah tahu hasilnya, barulah dokter merencanakan treatment-nya lagi.”

Aku memilih diam meski mulutku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Aku tidak ingin pertanyaanku justru membuat Diandra cemas dan akhirnya semangatnya menurun. Setahuku, rasa percaya diri dan semangat memengaruhi kesembuhan pasien.

“Nay, kamu ke bawah dulu nyari makan. Kamu pasti lapar. Biar Mama yang jaga Diandra.” Ucap Mama sembari menyentuh lenganku. “Nak Arya juga kalau masih ada urusan, kami ditinggal saja dulu nggak apa-apa.”

“Nggak, Ma. Saya ingin menemani Diandra saat pemeriksaan nanti.”

Diandra kembali tertidur, sesekali mengerutkan dahi, namun sepertinya mengaduh pun tidak sanggup karena lemas.

“Ya sudah, Ma. Naya ke bawah dulu cari makan.”

“Biar aku temani.” Suara Arya tiba-tiba mengejutkanku. Aku terdiam beberapa saat. Maksudku aku bisa ke kantin sendiri, kenapa harus ditemani?

“Aku juga belum pernah makan,” ujarnya lagi. Sepertinya Arya paham pertanyaan di kepalaku.

Memahami keenggananku, Mama menimpali. “Ya sudah, sama Mas Arya saja, Nay. Kamu juga baru pertama kali ke sini, biar bisa langsung nemu kantinnya.

Bukan tidak suka jika dia mau makan bersama denganku, namun aku mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku tidak bisa menjamin jika selama kebersamaan kami nanti, aku tidak melakukan hal konyol. Mengatakan perasaanku selama ini misalnya? Percayalah, aku orang yang cukup tidak tahu malu jika diberi kesempatan berupa situasi yang mendukung.

Karena tidak punya pilihan, aku membuntuti Arya dari saat dia membuka pintu kamar hingga berjalan menuju lift. Sebisa mungkin aku berada di belakangnya, meski sesekali kulihat dia menolehkan kepala seolah menungguku untuk bersisian dengannya. Perasaan tidak enak ini diperparah dengan kondisi lantai lima yang sepi, bahkan hanya ada seorang perawat di nurse station. Detak jantungku seolah seirama dengan ketukan sepatu Arya yang beradu dengan lantai. Jika melihat tampangku sekarang, mungkin aku sudah seperti terdakwa hukum mati yang tidak lama lagi akan digantung.

Saat memasuki lift pun aku masih berdiam diri. Bingung membuka obrolan. Rasanya juga telat kalau ingin menanyakan kabarnya sekarang. Lagian kabar apa lagi yang ingin aku dengarkan kalau istri yang dia cinta dan kasihi tengah terbaring tidak berdaya seperti itu?

Maka sepanjang perjalanan hingga sampai di kantin, aku mencoba meredakan debaran jantungku. Memaksa otakku untuk berpikir jika laki-laki di sampingku itu adalah suami dari saudaraku sendiri. Perasaan yang kumiliki benar-benar salah.