“Saat pagi begini inilah saat Ihsan tidur paling pulas akhir-akhir ini. Kenapa malah kamu bangunkan?” Faik tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya. “Biasanya, dia bisa tidur tiga atau empat jam kalau pagi begini.”
Ia menyadari bahwa suaminya pasti rindu dengan Ihsan. Namun, ia juga merasa sangat kecewa sekali karena suaminya itu tidak bisa menahan diri dari meluapkan kerinduannya itu sebentar saja sampai Ihsan bangun.
Faik sudah bisa membayangkan nikmatnya bisa tidur di pagi hari setelah Fadli mengajaknya pulang pagi-pagi. Namun kenyataannya, suaminya itu justru sekarang malah membuat anaknya bangun dan menangis kencang. Bayangan nikmatnya tidur seketika langsung menghilang.
“Maaf, Sayang.” Fadli hanya bisa mengatakan itu. Ia merasa benar-benar bodoh karena tidak bisa menahan diri dari membangunkan Ihsan.
Faik mengambil Ihsan dari gendongan Fadli dan membawanya naik ke atas. Ia berharap bisa membuat Ihsan tidur kembali.
Ia mencoba untuk menyusui Ihsan. Namun, bayi montoknya itu menolak untuk menyusu. Akhirnya, Faik hanya menggendong Ihsan sambil berjalan dan bersenandung agar Ihsan menjadi sedikit tenang.
Rencana tidur Faik hanya menjadi kenangan saja saat akhirnya Ihsan sudah tenang dan tertidur lagi ketika kantuk Faik sudah menghilang. Seluruh badannya terasa kaku karena kelelahan. Ia akhirnya memutuskan untuk membaca buku sambil menggendong anaknya.
Ia tidak meletakkan Ihsan di kasur karena ia tidak mau lagi mengambil risiko jika anaknya itu terbangun. Ia merasa penat sekali dan tidak yakin mampu menguasai dirinya lagi jikalau harus mendengar tangisan bayi.
Tak lama Faik membaca buku. Otaknya tidak bisa ia ajak kerja sama untuk mencerna isi buku yang ia baca. Otaknya malah masih sibuk memikirkan bagaimana suaminya yang tega membangunkan anaknya saat ia begitu kelelahan tadi.
Faik menyerah. Ia menutup buku dan menaruhnya kembali di nakas. Ia sendiri duduk bersandar di kasur sambil memejamkan mata. Dirinya sadar betul kalau ia membutuhkan istirahat walaupun ia sudah tidak merasa mengantuk.
Sementara itu, Fadli yang masih merasa sangat bersalah memutuskan untuk memasak. Ia berpikir dengan begitu, ia akan bisa memperbaiki hubungannya dengan istrinya.
Fadli sudah tidak mendengar tangisan Ihsan. ‘Semoga saja Ihsan bisa tidur dengan tenang lagi supaya Faik juga bisa beristirahat lagi,’ batinnya. ‘Saat bangun nanti, tentunya Faik akan merasa lapar. Aku harus sudah bisa menyelesaikan ini saat ia terbangun nanti.’
Fadli mengambil sebuah panci dan mengisinya dengan air dingin. Ia kemudian mengambil ayam potong dan berbagai bahan lain yang akan ia gunakan untuk membuat kaldu dari kulkas. Sambil menunggu kaldu yang dimasak, ia mulai mempersiapkan mi dan bahan-bahan pelengkap ramennya yang lain.
Fadli begitu sibuk memasak sambil melihat tutorial dari sebuah laman web sampai tak menyadari berlalunya waktu. Ia tersentak kaget saat mendengar suara istrinya yang tiba-tiba sudah menuruni tangga.
“Baunya wangi sekali, Sayang,” sapa Faik ketika ia sampai di dapur bersama Ihsan. Ia menghirup napas dalam-dalam untuk mengambil banyak-banyak bau sedap masakan Fadli. “Masak apa?”
Fadli tertawa kecil mendengar pujian istrinya. “Ramen, Sayang. Sepertinya kita sudah lama sekali tidak makan ramen.” Fadli menarik sebuah kursi dan mempersilahkan istrinya untuk duduk. Ia juga membantu Ihsan untuk duduk di kursinya sendiri dengan berbagai mainan di atas mejanya.
Fadli kemudian dengan cekatan menata mi beserta berbagai macam taburannya pada dua mangkok dan menyiramkan kuah kaldunya. Setelah selesai, ia pun membawa kedua mangkok tersebut ke meja makan dan memberikan salah satunya kepada istrinya.
Melihat semangkok ramen di depannya membuat Faik langsung memegang kedua pipinya sambil tersenyum lebar. “Kelihatannya enak sekali. Kuahnya begitu kental dan baunya wangi sekali. Aku coba ya.”
Faik tak menunggu jawaban suaminya untuk langsung mengambil sesendok kuah ramen dan menyesapnya perlahan. Sambil memejamkan mata, ia berkata, “Mmmm… Enak sekali, Sayang. Perpaduan rasanya pas sekali.”
Ketika baru sadar bahwa suaminya belum menyentuh makanannya dan hanya memandanginya saja, Faik langsung tersenyum malu. “Maaf. Aku sampai tidak menunggumu untuk mekan bersama.”
“Iya. Enggak apa-apa kok, Sayang. Tidurmu pulas?” tanya Fadli sambil tersenyum. Ia merasa bahagia sekali saat melihat wajah istrinya yang berseri-seri.
“Alhamdulillah. Aku tadi tidur sambil duduk n memangku Ihsan. Walaupun begitu, tidurku pulas banget. Makan, yuk. Aku sudah lapar banget,” jawab Faik sambil tetap tersenyum.
Fadli hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian langsung mulai makan. Saat mencicipi masakannya, ia cukup terkejut karena ternyata rasanya jauh dari bayangannya. Ia tadi sempat ragu akan rasa masakannya karena ia memang jarang memasak. Namun ternyata, rasanya memang seenak perkataan Faik.
“Sayang, kita bisa buka restauran saja kalau ramenmu seenak ini. Sungguh deh,” kata Faik setelah ia menelan sesuap ramen. “Kekenyalan minya juga pas banget. Ditambah lagi, kaldunya begitu kental dan gurih dengan sedikit sentuhan pedas. Aku jamin, para pelanggan akan bersedia mengantri kalau kita buka restauran.” Ia mengambil sesendok penuh kuah ramennya lagi dan menyesapnya perlahan. “Ini enak banget.”
Tinggalkan Komentar