Novel : Bertahan di Atas Luka Part 41
Amira Dzakiya
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan seolah ingin membuang semua beban di hati. Perlahan aku bangun, berjalan ke lemari baju, dan mengambil sebuah jam tangan wanita yang terlihat mahal dan mewah. Sebuah jam hadiah kejutan dari Mas Bayu saat ulang tahun pernikahan kami. Lembut aku mengelus jam itu dan teringat saat-saat manis pertama kali aku bertemu lelaki tampan dengan belahan di dagunya. Kenangan manis saat kami masih menjadi pengantin baru, saat ia mengajariku memasak, dan mengajak berkeliling kota Riyadh.
Aku tercenung memikirkan kata-kata Ibu dan Marisa. Mereka benar. Aku tidak boleh lari dari masalah. Aku harus menghadapi dan menyelesaikannya, sepahit apa pun itu. Kalau memang Mas Bayu bisa meyakinkanku untuk bersama, aku akan mengalah. Akan tetapi, kalau memang ia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk melepaskanku, aku juga sudah siap. Bukankah ini yang kuminta dari Mas Bayu: perpisahan, kebebasan, dan kebahagiaan menentukan pilihan hidupku sendiri?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku bertekad akan bicara pada Mas Bayu. Biar bagaimana pun, suamiku itu pernah melukis warna-warna indah pelangi di hidupku. Ia adalah lelaki yang Allah pilihkan untukku. Aku juga bertekad akan melupakan Prasetya, sesulit apa pun itu. Aku tidak ingin menambah masalah yang lain. Apalagi Pras juga sudah memutuskan untuk pergi jauh dan berkata kalau ia tidak akan bisa melupakan Safira. Keputusanku sudah bulat, aku akan mengunjungi Mas Bayu dan kami akan bicara sampai tuntas.
“Assalamualaikum!” Aku mengucap salam sesampainya di rumah dan membuka pintu ruang tamu.
“Mas!” Aku memanggilnya. Hening. Tak ada jawaban.
Penasaran aku melangkah ke kamar kami. Kosong. Tempat tidur terlihat berantakan: handuk, baju dan celana tidur, sarung, semua tergeletak jadi satu. Aku menahan senyum, teringat semua kebiasaan buruk Mas Bayu. Aku mengambil dan membawa semuanya ke tempat cuci di belakang. Ketika melintasi ruang makan, tampak sisa sarapan masih belum dibersihkan. Aku menggelengkan kepala. Namun, ketika masuk ke dapur, aku kaget melihat panci penuh soto ayam, lengkap dengan telur rebus dan kentang goreng serta sambal.
“Mas!” Aku kembali memanggil Mas Bayu.
Kali ini aku melangkah ke taman belakang. Benar dugaanku, lelaki terkasih itu sedang duduk di kursi, membelakangiku, asyik mengetik di laptop. Berlembar kertas berserakan di meja dan di lantai. Mas Bayu memakai earset (perangkat telinga), makanya ia tidak mendengar suaraku.
Perlahan aku mendekati dan menepuk lembut bahunya dari belakang.
Reflek lelaki terkasih itu menoleh dan mencabut earset dari telinganya.
“Lho, kapan datang, Mir? Aku nggak dengar suara mobil.” Mas Bayu berbalik dan memandangku.
“Gimana mau dengar, orang kupingnya ditutup kayak gitu. Kalau ada orang masuk terus ngerampok, kamu juga nggak dengar deh, Mas.” Aku menjatuhkan diri di kursi.
“Doanya jelek banget, sih! Senang, ya, kalau aku celaka terus meninggal? Jadi kamu bisa bebas dan nggak perlu susah-susah minta pisah.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Mas Bayu.
“Tolonglah, Mas! Aku ke sini berniat baik. Aku mau kita ngomong baik-baik. Tapi belum apa-apa kamu udah nuduh sama ngomong yang nggak-nggak. Mau kamu gimana, sih, Mas?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Lho, aku ngomong apa adanya. Kalau aku nggak ada, kan kamu bisa bebas. Bisa jalan sama Pras tanpa perlu khawatir aku marah. Salah, aku ngomong kayak gini?”
Mas Bayu menatapku tajam. “Aku nggak sembarangan ngomong, tapi memang kenyataan kan, kamu senang bisa pergi berdua sama Pras? Kamu pikir aku siapa, Amira?” sergah Mas Bayu keras.
Mataku mulai berkaca-kaca.
“Kamu sebenarnya masih cinta nggak sih, Mas, sama aku?” tanyaku terbata-bata.
Mas Bayu tertegun. Wajahnya memerah.
“Kok kamu nanya gitu?” Ia lalu pindah ke sampingku. “Kalau aku nggak cinta sama kamu, ngapain aku marah dan cemburu waktu kamu jalan sama Pras? Kalau aku nggak cinta kamu, ngapain aku bolak-balik nanya kapan kamu mau pulang ke Riyadh? Kalau aku nggak sayang, ngapain aku bela-belain nerima kerjaan di sini supaya bisa sama kamu? Masih kurang apa lagi, Mir?” jawab Mas Bayu bertubi-tubi. Napasnya memburu dengan dada turun naik.
“Justru aku mau tanya sama kamu, apa masih ada rasa cinta sedikit aja buat aku?” tanyanya ketus.
Aku terperangah. Tak menyangka Mas Bayu akan bertanya balik seperti ini.
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan debar jantung yang semakin kencang.
“Kamu pasti tahu jawabnya, tapi aku butuh waktu untuk meyakinkan diri dan hatiku. Aku juga butuh bukti kamu benar-benar mau mengubah sifatmu.”
“Kamu butuh bukti apa lagi? Aku sudah berusaha semampuku, loh! Kamu mau gimana lagi? Baik, sekarang coba katakan, apa lagi salahku?”
“Benar kamu nggak akan marah kalau aku ngomong?” tanyaku masih ragu.
Mas Bayu bergeming. Ia menegakkan tubuh dan melipat kedua tangan di dada.
Aku melepas jilbabku dan meletakkannya di meja. Setelah menarik napas beberapa kali aku mulai bercerita.
“Mas ingat kan, beberapa kali kantorku ngadain acara wisata ke luar kota untuk pegawai bersama keluarganya?” Aku memandang Mas Bayu.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya