Sebelumnya: A Way to Find You (Part 3)
***
BAB 4
“Mas, aku ke butik dulu. Kamu siap-siap, ya! Nanti aku pulang, kita langsung berangkat ke rumah Mamah.”
Tepat sesuai dugaan, Bima hanya menjawab dengan anggukan. Dengan tidak acuh, lelaki itu kembali fokus pada iPad di tangannya. Giska menghela napas dalam-dalam.
‘Sabar, Gis! Sabar!’
“Jangan lupa, cek lagi barang sama baju yang mau dibawa nginep!” perintah Giska untuk terakhir kali. Tanpa menunggu reaksi sang suami, ia turun ke bawah menuju tempat mobilnya terparkir. Giska menyempatkan diri mengirim pesan suara kepada sang manajer begitu duduk di belakang setir.
“Ra, gue on the way.”
Perjalanan menuju butik hanya membutuhkan waktu lima belas menit. Saat tiba di sana, Naura belum terlihat. Giska memutuskan untuk masuk terlebih dahulu ke dalam bangunan bertuliskan ‘Black and Rose Boutique’ itu.
“Selamat datang, Kak Giska,” sapa pegawai yang mengenali sang beauty influencer. Giska cukup sering membeli gaun di Black and Rose, sampai-sampai ia sudah akrab dengan pemilik dan seluruh pegawainya. “Mau fitting baju pesanan, ya?”
“Halo. Iya, saya mau final fitting gaun yang saya pesen bulan lalu. Udah ready, kan?”
“Sudah, Kak. Mari, masuk.”
Giska dan pegawai perempuan tadi berjalan ke ruang belakang butik yang disediakan khusus untuk tamu VIP. “Apa Kak Christie ada di sini?” tanya Giska.
“Nyonya Christie kebetulan sedang trip ke Bali sama suami, Kak. Baru berangkat kemarin sore. Mau tahun baruan di sana katanya.”
Sonia Christie merupakan perancang busana sekaligus pemilik tunggal dari butik Black and Rose. Perempuan berusia 32 tahun itu baru menikah beberapa bulan yang lalu dengan seorang bule asal Australia. Sebenarnya, dia tidak bersedia menerima custom order dari sembarang pelanggan, tapi Giska adalah salah satu pengecualian. Pengaruh sang beauty influencer itu cukup signifikan bagi kemajuan butik Black and Rose. Oleh karenanya, Giska masuk ke jajaran pelanggan VIP.
“Silakan duduk dulu, Kak. Saya siapkan gaunnya.”
Giska duduk menunggu di sofa beludru berwarna krem yang ada di ruang fitting. Tidak lupa, ia berswafoto untuk persediaan konten. Tepat saat si pegawai kembali dengan membawa gaun pesanan Giska, Naura muncul dengan sedikit tergopoh-gopoh.
“Sori, telat. Si bocil mendadak rewel tadi,” jelasnya begitu tiba di samping Giska.
“It’s okay. Gue juga belum lama. Pas banget baru mau coba.” Giska berdiri dari sofa, kemudian mengambil gaun berbungkus plastik dari tangan si pegawai. “Biar manajer saya yang bantu pakai.”
Saat fitting, biasanya klien akan didampingi oleh sang desainer. Namun, karena saat ini sudah fitting ketiga sekaligus terakhir, Giska tidak mempermasalahkan absennya Sonia Christie. Ia yakin gaun pesanannya sudah sempurna. Di fitting kedua kemarin, hanya kurang pemasangan payet di bagian ekor gaun. Jadi, untuk ukuran atau detail lain pasti tidak akan ada masalah lagi.
Giska dan Naura berjalan masuk ke bilik berukuran tiga kali tiga meter dengan tirai cokelat tebal yang terletak di sudut ruangan. Di dalamnya, terdapat cermin besar, settee tanpa sandaran berwarna putih, serta gantungan baju.
Naura menggantung gaun pesanan Giska setelah mengeluarkannya dari plastik pelindung. Keduanya mengamati gaun tersebut secara detail untuk memastikan keseluruhan desainnya sudah sesuai preferensi.
“Gorgeous,” puji Giska. Hasil tangan Sonia Christie memang tidak pernah mengecewakan.
“Buruan, coba.” Naura mengambil gaun tersebut dari gantungannya.
Sembari melepas blus yang ia kenakan, Giska bertanya, “Arkan rewel kenapa tadi?”
“Biasalah. Digodain bapaknya ampe nangis. Ampun, deh.” Naura memutar bola mata dengan kesal. “Hampir aja tu anak gue bawa ke sini. Untung mau digendong neneknya tadi, diajakin jajan.”
Giska tertawa kecil. Arkan, anak lelaki Naura yang kini berusia dua tahun, selalu membuatnya gemas.
Naura membantu memasangkan gaun berwarna burgundy tadi ke tubuh Giska. Jahitannya begitu pas membalut lekuk tubuh Giska yang proporsional. Bagian dada hingga seluruh lengannya tertutup oleh soft tulle transparan dan dihias dengan payetan yang begitu menawan. Kerahnya yang berbentuk U lebar mengekspos tulang selangka Giska yang indah.
“Coba muter,” perintah Naura.
Saat Giska berputar, bagian bawah gaun bermodel mermaid itu mengembang dengan cantik. Ratusan manik-manik kristal yang terjahit rapi tampak berkilau saat terkena sinar lampu. Warna gelap gaun tersebut juga membuat kulit Giska terlihat semakin cerah bercahaya.
Giska mengangguk puas. Gaun ini ia pesan khusus untuk menghadiri pesta pernikahan seorang teman selebritinya minggu depan. Karena daftar tamu undangannya terdiri dari para influencer, artis, dan bahkan pejabat terkenal, Giska tentu ingin memberikan penampilan terbaiknya di sana.
“Cakep!” puji Naura. “Gimana? Udah pas semua, kan?”
“Udah.” Giska mematut bayangan dirinya di cermin. Sambil memikirkan model rambut apa yang cocok untuk ia kenakan di acara besok, tangannya meraba detail gaun di tubuhnya. Gerakan Giska tiba-tiba berhenti ketika kedua tangannya meraba bagian perut. Tanpa sadar, ia mengusap perutnya yang rata.
“Ra,” panggilnya.
“Ya?”
“Gue … kepikiran buat punya anak.”
“Hah?” Naura, yang tengah sibuk mengambil foto Giska dengan ponselnya, kontan terperangah. “Serius lo?”
Giska menggigit bibir bawahnya. “Gue belum diskusi sama Mas Bima, sih. Tapi gue rasa, udah waktunya gue sama Mas Bima ambil keputusan.” Ia membalikkan badan, menatap si manajer yang sepantaran dengannya itu. “Menurut lo gimana?”
“Pastilah, gue dukung!” sahut Naura tanpa ragu. Ia menepuk sebelah bahu Giska. “Kalau emang udah mantep, ikut promil aja. Entar lo bisa konsul sepuasnya ama dokter.”
Giska mengangguk. “Thanks, sarannya.”
“Berarti, kita harus pinter-pinter atur jadwal.” Naura membuka catatan di ponselnya. “Jadwal kita udah full sampe satu setengah bulan ke depan. Kalau lo jadi ikutan promil, kita kurangin aja jatah endorsement-nya abis yang ini kelar.”
“Oke. Besok gue kabarin lagi.”
Keduanya lantas berpisah usai mengurus pembayaran di butik. Gaun akan dikirim ke rumah Giska tiga hari lagi.
“Mas? Udah siap?” panggil Giska begitu tiba di rumah. Sudah hampir pukul satu siang. Mereka harus segera berangkat ke rumah Kinar sebelum jalanan mulai padat dan macet akibat perayaan tahun baru.
“Mas Bima?” panggil Giska lagi karena sang suami tidak menjawab. Dengan tergesa, ia melangkah menaiki tangga.
“Mas! Aku panggil kok diem aja, sih?” omel Giska kesal. Sia-sia saja dia teriak-teriak dari lantai bawah. Ternyata, suaminya itu tengah melamun sambil menatap keluar jendela kamar.
“Ayo, buruan ganti baju! Kan udah aku bilang buat siap-siap dari tadi. Entar kena macet di jalan, lho. Ini juga, kasur belum diberesin.” Giska merasa menjadi istri yang makin cerewet akhir-akhir ini. Omelannya kian panjang dari hari ke hari. Yah, apa mau dikata? Perubahan sikap Bima benar-benar menguras kesabarannya.
Bima baru bergerak dari tempatnya setelah mendengar omelan sang istri. Masih tanpa suara, lelaki itu mengambil kemeja dan celana panjang dari dalam lemari.
“Minimal jawab, kek, kalau diajak ngomong,” gerutu Giska sebal. Ia dengan cekatan menata sprei, selimut, dan bantal-bantal di tempat tidur, kemudian mengecek tas pakaian yang berisi barang bawaan mereka. Setelah lengkap, barulah mereka turun ke bawah.
“Biar aku yang nyetir. Kamu kebanyakan ngelamun dari kemarin,” kata Giska.
Bima dengan patuh duduk di kursi penumpang depan. Sepanjang perjalanan, lelaki itu tidak banyak bicara. Ia hanya akan membuka mulut kalau Giska bertanya. Belum-belum, Giska sudah merasa putus asa. Bagaimana bisa mereka berdiskusi soal momongan kalau Bima berubah pendiam seperti ini?
***
“Ontyyyy! Angkeeel!” Seruan ceria seorang bocah berusia lima tahun menyambut kedatangan Bima dan Giska.
Suasana rumah Kinar sudah ramai oleh kehadiran keluarga yang lain. Ada Yudha, kakak sulung Bima, bersama istri dan kedua anaknya. Kemudian ada Lani, kakak kedua Bima, bersama suami dan si bocah perempuan tadi. Selain itu, om dan tante Bima yang tinggal di Bandung juga ikut meramaikan rumah Kinar. Mereka semua sudah menginap di sana sejak beberapa hari yang lalu dalam rangka merayakan libur Natal dan Tahun Baru.
“Erlin, Sayang!” Giska berlutut untuk memeluk keponakan imutnya.
“Onty sama Angkel lama!” protes Erlin di pelukan Giska.
“Iya, maaf. Tadi Onty ada kerjaan dulu.” Giska mengelus kepala Erlin penuh sayang. “Kok kamu nggak tidur siang? Nanti malem kita mau main kembang api, lho.”
“Nggak mau dia dikelonin mamanya. Maunya bobok sama Onty Giska, katanya,” jawab Lani yang baru muncul dari dapur.
Giska tertawa. Ia pun bercipika-cipiki dengan kakak iparnya itu. Setelahnya, ia dan Bima mulai menyalami anggota keluarga satu per satu. Erlin dengan setia mengekor di belakang Giska.
“Kok diem aja dari tadi, Bim?” tanya Yudha, yang menyadari keterdiaman adik bungsunya.
“Lagi sakit tenggorokan dia, Bang,” kata Giska berbohong. Habis, alasan apa lagi yang bisa ia katakan untuk menjelaskan sikap suaminya? “Kalau diajak ngomong, paling cuma ngangguk atau geleng kepala,” lanjutnya agak sinis.
Giska pura-pura tidak melihat saat tatapan Bima tertumbuk kepadanya. Ia memilih untuk mengabaikan suaminya itu. “Erlin, yuk, bobok siang! Onty udah beli kembang api besar buat entar malem.”
“Tapi, Erlin maunya bobok di kamar Onty. Nggak mau di kamar Mama,” sahut Erlin manja.
“Ya udah, yuk ke kamar Onty!”
Erlin dengan senang hati menyambut gandengan tangan Giska. Bocah itu berdadah-dadah ria pada sang mama, yang hanya bisa menggelengkan kepala karena gemas.
Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Dari tiga kamar yang ada di atas, salah satunya disediakan khusus untuk Bima dan Giska setiap kali pulang ke rumah Kinar. Tanpa disangka, Bima ikut membuntuti keduanya.
“Lho? Nggak ngobrol sama Mamah dulu, Mas?” tanya Giska.
Bima hanya menggelengkan kepala.
“Oh,” gumam Giska datar. Lebih baik, ia menghindari perdebatan dengan suaminya saat ada Erlin di sini.
Setibanya di kamar, mereka tidur berjejeran di kasur queen size, dengan posisi Erlin di tengah antara Bima dan Giska. Giska berbaring menyamping, menghadap ke arah keponakannya. “Erlin, kalau di sekolah belajar apa sama Bu Guru?” tanya Giska.
“Erlin belajar gambar sama mewarnai. Kemarin mewarnai buah-buahan.”
“Oh, ya? Buah apa aja?”
“Ada semangka, terus pisang, terus apel, stroberi ….”
Sembari mendengar celoteh Erlin, Giska menepuk bokong keponakannya beberapa kali dengan lembut. Biasanya, tindakan itu manjur untuk membuat si bocah mengantuk.
“Pensil warna dari Onty masih ada, kan?” tanya Giska lagi.
Erlin mengangguk. Matanya mulai tampak sayu. “Masih.”
“Kalau Erlin rajin mewarnai, besok Onty beliin pensil warna baru.”
“Tapi, Erlin maunya crayon, kayak punya Aleta.”
Giska terkekeh. “Oke, kalo gitu, besok kita beli crayon. Sekarang, Erlin merem dulu.”
Tidak lama setelah menutup kelopak matanya, napas Erlin mulai teratur, menandakan anak itu sudah tertidur. Barulah, perhatian Giska berpindah kepada sang suami. Ia mendapati Bima tengah berbaring menghadap ke arah Erlin juga.
“Mas,” panggilnya pelan, tidak mau mengganggu bocah yang tidur di sampingnya, “aku pingin deh, punya anak kayak Erlin. Cantik, pinter, ceria.”
Giska berhasil memancing perhatian Bima. Tatapan sang suami, yang sejak tadi tertancap lurus ke arah Erlin, kini beralih kepadanya. Ekspresi lelaki itu tidak terbaca.
Giska memaksakan seulas senyum muncul di bibirnya. “Kalau kita punya anak, kamu mau anak cowok atau cewek dulu, Mas?” tanyanya hati-hati.
Lama, Bima terdiam. Giska melewati detik demi detik dalam ketegangan. Senyum palsunya menghilang. Jujur saja, setelah sekian lama mereka tidak pernah menyinggung pembahasan soal anak, ada ketakutan tersendiri dalam hati Giska. Ia takut Bima memberi respon negatif. Ia takut suaminya itu berselisih pendapat dengannya, yang pada akhirnya bisa melukai perasaan masing-masing. Apalagi, sikap Bima telah berubah akhir-akhir ini.
“Cewek.” Akhirnya, Bima menjawab dengan lirih.
Giska nyaris tidak memercayai pendengarannya. Napasnya tertahan selama beberapa detik, sampai satu embusan penuh lega lolos dari mulutnya. Bibirnya kembali mengembangkan senyuman, kali ini tulus dari hati.
“Aku juga,” bisik Giska. Tenggorokannya serasa tersekat oleh rasa haru. Sepertinya, masih ada harapan bagi ia dan Bima untuk menguatkan lagi tali pernikahan mereka yang telah melemah beberapa minggu ini.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 5)
Tinggalkan Komentar