Sebelumnya: A Way to Find You (Part 16)
***
Novel: A Way to Find You (Part 17)
BAB 17
Giska kehilangan keseimbangan. Ia tidak mampu melawan gaya gravitasi yang menarik tubuhnya ke bawah. Hanya terdengar pekikan tertahan dari tenggorokannya.
Perempuan itu sudah membayangkan dinginnya air yang akan membasahi seluruh badannya. Namun, belum sempat hal itu terjadi, tubuhnya mendadak tertarik ke belakang. Ia batal jatuh ke dalam air. Alih-alih, sekarang Giska jatuh menindih tubuh sang suami di atas tanah yang keras.
“Gis!” panggil Bima sedikit panik. “Kamu nggak pa-pa?”
Giska, yang kini terbebas dari ancaman harus ganti baju di tengah hutan, justru memelototi sang suami. “Nggak lucu, Mas, bercandanya!” bentaknya marah.
Kepanikan Bima berubah menjadi kebingungan. “Apa maksud kamu?”
“Kamu yang dorong aku, kan, tadi?”
“Nggak,” bantah Bima. “Aku nggak dorong kamu, sumpah!”
“Terus siapa?”
“Nggak ada orang di belakang kamu dari tadi, Gis. Cuma ada kita berdua di sini.”
Giska mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang benar. Sejak mereka berangkat mendaki, kondisi jalur begitu sepi seolah hanya ia dan sang suami satu-satunya orang di gunung ini. Giska sedikit menelan ludah. Ia berani sumpah, tadi ada yang mendorong punggungnya.
“Kamu pusing?” tanya Bima khawatir. Ia bangkit duduk beserta sang istri. Satu tangannya terangkat ke kening Giska.
Giska buru-buru menggeleng dan menepis tangan Bima. “Aku nggak kenapa-napa.”
“Tapi, tadi aku lihat kamu oleng dan hampir jatuh ke air.”
Giska tidak bisa berkata-kata. Sepertinya, percuma ia bersikeras bahwa tubuhnya memang didorong. Tidak ada bukti maupun saksi. Kekhawatiran Bima lebih masuk akal. Mungkin, memang ia sedikit pusing dan kehilangan keseimbangan tadi.
“Sini, biar aku yang ambil airnya.” Bima mengambil alih botol dari tangan sang istri. Ia mencuci tangan dan wajahnya sendiri, kemudian kembali menyerahkan botol yang sudah terisi penuh kepada Giska. Karena persediaan air minum mereka masih banyak, air tersebut akan mereka gunakan untuk bersih-bersih nanti.
“Kamu serius baik-baik aja? Masih kuat jalan?” tanya Bima.
“Ih, ngeledek, ya?”
Bima tersenyum geli melihat cemberut di wajah sang istri. “Mau aku bawain carrier-nya?”
“Aku nggak pa-pa, Mas. Serius, deh. Masa aku tega lihat kamu harus double carrier?” Sebagai bukti, Giska pun kembali menggendong carrier-nya dan berjalan lebih dulu. “Yuk, lanjut!”
Sepanjang jalan, Giska berusaha melupakan kejadian-kejadian ganjil yang menimpanya sejak tadi. Ia pun tidak berani jauh-jauh lagi dari sang suami. Saat mereka tiba di pintu masuk Gajah Mungkur di mana banyak pantangan yang tidak boleh mereka lakukan, Giska banyak-banyak berdoa dalam hati.
“Masih inget, kan, pantangan-pantangannya?” tanya Bima sebelum memasuki pintu.
Giska mengangguk. Pintu yang sejak awal selalu disebut oleh Pak Pram itu ternyata berupa dua tiang kayu yang ditancap di kanan-kiri jalur. Di atasnya, dipasang papan bertuliskan “Pintu Masuk Gajah Mungkur”. Entah karena sugesti atau apa, Giska merasakan hawa yang berbeda begitu melewati pintu tersebut.
“Mas, cium wangi melati, nggak?” tanya Giska tiba-tiba.
Bima mengendus sekitar. “Iya, cium,” jawabnya setengah berbisik.
Pasutri itu berusaha berpikiran positif bahwa memang ada tumbuhan melati di sekitar mereka. Akan tetapi, tak urung, Bima kembali teringat pada sosok wanita misterius yang kerap mendatangi mimpinya selama ini. Wanita itu selalu beraroma melati. Tiba-tiba, Bima membayangkan wajah si wanita yang cantik dan anggun. Bibirnya yang merah ranum bergerak-gerak seolah tengah berbicara padanya. Kedua tangannya terulur seolah ingin memeluk Bima.
‘Mikir apa, sih?’ Ia segera menggelengkan kepala, mengusir bayangan-bayangan aneh dari benaknya. Hampir saja kakinya terantuk batu gara-gara tidak fokus.
Jalan yang mereka lalui mulai ekstrem. Jalur menanjak terjal, sempit, dan berkelok-kelok. Keduanya pun tidak banyak bicara lagi. Di satu titik, Giska yang berjalan di depan mendadak melihat ceruk berbentuk huruf U di kiri jalur. Sontak ia teringat akan mimpinya di bus tadi malam.
“Kenapa, Gis?” tanya Bima karena sang istri tiba-tiba mengerem langkah.
Giska menggigit bibir bawahnya. “Itu,” tunjuknya pada jalan yang tampak tidak utuh di depan mereka.
“Oh, potong jalur lagi, ya?” Bima justru terlihat antusias. “Bisa, nih, besok buat meluncur pas pulang.”
Giska memukul lengan Bima. “Bahaya, Mas!”
“Lah, kalau keliatan dalem gitu pasti udah banyak dipake buat meluncur, dong.” Bima pun melangkah melewati Giska dan mendekati ceruk tersebut. Ia memeriksa ketinggian dan medannya, lalu mengacungkan jempol. “Aman ini.”
“Tapi, kalau tanahnya lembab gini, kan, nggak begitu licin buat meluncur,” sanggah Giska lagi. “Kecuali kalau bener-bener kering atau berlumpur.”
“Iya, sih.” Bima mengangguk setuju.
Perjalanan dilanjutkan setelah perdebatan kecil itu. Tak terasa, mereka sudah melewati batas ketinggian awan. Kabut telah menghilang. Semakin mendekati pos tiga, pemandangan di belakang mereka semakin menakjubkan. Lautan awan terhampar tanpa batas membelah langit biru. Di kejauhan, puncak Gunung Sindoro tampak menyembul di tengah gumpalan awan putih. Sabana luas yang berwarna hijau kekuningan sudah terlihat di depan mata mereka.
Bima dan Giska tidak henti-hentinya menarik napas kagum. Begitu indah lukisan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka bersyukur bisa menikmati pemandangan yang jarang dilihat langsung oleh banyak orang ini.
“Haa, akhirnya nyampe juga di pos tiga,” desah Giska senang.
Pos tiga merupakan titik paling terkenal dari jalur Gajah Mungkur. Pos yang dijuluki Top Sunset View itu memang luar biasa indah. Area sabana yang terbuka dan terbentang luas mengizinkan orang-orang untuk menikmati pemandangan secara keseluruhan. Di depan, puncak Sumbing sudah terlihat. Rasanya begitu dekat seolah bisa tergapai oleh tangan.
Karena jalur ini menghadap ke arah barat, salah satu momen yang tidak boleh dilewatkan oleh para pendaki adalah matahari tenggelam. Sama halnya dengan Bima dan Giska. Mereka tidak mau melewatkan momen indah tersebut, terlebih saat cuaca cerah seperti ini. Oleh karena itu, mereka tidak berlama-lama istirahat di sana. Selain karena tidak ada tempat berteduh, mereka harus mengejar waktu karena masih harus membangun tenda.
“Area camp-nya udah deket, kan?” tanya Giska.
Bima mengangguk. “Tinggal naik dikit dari sini.” Memang, tidak jauh dari pos tiga, terdapat area camp utama bernama Kandang Kidang. Di sanalah mereka akan bermalam.
Keduanya menyusuri jalan setapak di tengah sabana. Kanan-kiri jalan dipasangi tali pembatas agar para pendaki tidak keluar jalur. Meski jalanan terus menanjak, Giska sama sekali tidak merasa berat. Semua penat dan lelah seolah terobati oleh pemandangan indah di sekelilingnya. Gemerisik ilalang yang tertiup angin terasa begitu menenangkan jiwa, begitu juga dengan segarnya aroma tanah dan rerumputan.
Hari sudah beranjak sore saat mereka tiba di Kandang Kidang. Area camp tersebut cukup luas dan berbentuk tumpukan-tumpukan tanah yang diratakan seperti terasering. Bima dan sang istri memilih area yang tidak terlalu tinggi. Dengan cekatan, mereka bekerja sama mendirikan tenda, lalu menata barang-barang.
Bima menyiapkan peralatan memasak di depan tenda. Karena mereka bukan pecinta kopi, ia pun merebus air dan menyeduh dua cangkir cokelat panas. Minuman itu cocok untuk menghangatkan tubuh sembari menikmati langit senja.
“Duduk sini, Gis,” panggil Bima pada sang istri. Begitu Giska mendekat, ia menyodorkan secangkir minuman cokelat yang masih mengepul. Giska menerima cangkir dari tangan Bima dan ikut duduk di sebelah lelaki itu.
Matahari sudah turun ke peraduan. Langit biru perlahan berubah menjadi kemerahan. Sementara di atas kepala mereka, bintang-bintang mulai bermunculan. Pemandangan itu menjadi lukisan terindah yang tak akan pernah Giska lupakan.
“Cantik banget, ya, Mas,” ucap Giska tanpa melepas tatapannya dari langit barat. Ia perlahan menyeruput cokelat panasnya yang tinggal setengah. “Untung hari ini cerah. Kayaknya, alam pun merestui pendakian kita kali ini.”
Bima bergumam setuju. Ia juga belum mampu berpaling dari keindahan di depannya. Perjuangan mereka untuk naik sampai ke sini benar-benar sudah terbayarkan.
Perhatian Bima baru beralih saat Giska tiba-tiba berbicara, “Maafin aku, Mas,” kata perempuan itu dengan senyum sedih. Saat Bima menoleh ke arahnya, Giska ikut menoleh hingga keduanya bertatapan. “Maaf, kalau aku terlalu egois selama ini. Maaf, kalau aku terkesan nggak peduli dan sering nolak ajakan kamu. Aku nggak nyangka hubungan kita jadi begini gara-gara aku.”
“Aku juga minta maaf,” balas Bima lirih. Tangannya terangkat dan mengusap lembut kepala Giska yang tertutup beanie berwarna abu-abu muda. “Demi Tuhan, aku nggak pernah berniat nyakitin kamu, Gis. Maaf kalau tingkah aku bikin kamu nggak nyaman akhir-akhir ini.”
Air mata Giska merebak. Semua permasalahan rumah tangga yang terjadi berminggu-minggu lalu menyerbu pikirannya. Namun, ia menyadari tidak ada lagi rasa sakit dalam dadanya. Kata maaf yang baru saja terucap dari bibir sang suami menjadi balutan terakhir yang menutup luka di hatinya. Air mata yang keluar saat ini adalah wujud dari rasa bahagia, bukan lagi kecewa.
Giska beringsut mendekat dan memeluk sang suami. Bima pun meletakkan cangkirnya ke tanah dan balas merangkul sang istri. Berkali-kali ia mencium kening dan puncak kepala perempuan itu. Hatinya lega luar biasa.
Istrinya mungkin tidak tahu bahwa ada seorang wanita misterius yang mengganggu pikirannya sejak Desember lalu. Tapi, sepertinya memang lebih baik Giska tidak diberi tahu. Toh, sekarang Bima sudah merasa aman. Wanita misterius itu tidak pernah menampakkan diri lagi. Pendakian mereka di Sumbing kali ini benar-benar membuahkan hasil.
“Aku nggak pernah lupa janji kita pas nikah dulu,” kata Giska.
Bima diam mengingat-ingat sebentar. “Janji untuk menelusuri semua gunung di Indonesia berdua sama aku?”
Giska mengangguk. “Mungkin emang sulit buat nepatin janji itu sekarang. Aku baru sadar, kehidupan rumah tangga itu nggak semudah yang aku bayangkan. Nggak melulu bisa haha-hihi kayak waktu pacaran. Tapi, aku akan tetap berusaha pegang janji itu, Mas.”
“Jadi, kamu bakal ikut naik gunung lagi sama aku?” Bima menatap sang istri dengan mata berbinar.
“Akan aku usahain.” Giska tersenyum. “Aku akan atur pekerjaan lebih baik lagi. Kayaknya, aku harus mulai rekrut tim kreatif sama editor biar nggak repot ngerjain semuanya sendirian.” Giska mencatat dalam otaknya. Hal pertama yang harus ia lakukan begitu tiba di rumah adalah menghubungi Naura dan berdiskusi soal pembentukan tim. “Tapi, aku minta kamu juga ngerti kalau aku lagi bener-bener sibuk, Mas. Aku masih mau ningkatin karir aku lagi. Kalau emang mau naik gunung, kita harus atur jadwal jauh-jauh hari.”
Bima memeluk Giska dengan lebih erat. “Aku ngerti, kok. Aku selalu berdoa buat kesuksesan kamu, Gis.” Ia menyandarkan pipi di puncak kepala sang istri. “Mulai sekarang, kita omongin semuanya baik-baik, janji?”
“Janji,” sahut Giska dengan mantap. Setelah diam beberapa saat, ia berkata lagi, “Ternyata, cara aku mencintai kamu selama ini salah, Mas. Aku terlalu terobsesi sama penampilan. Aku selalu berpikir, kamu pingin aku jadi istri yang sempurna, yang selalu kelihatan cantik di depan kamu. Aku lupa kalau kamu bukan lelaki sedangkal itu.”
Bima tersenyum tipis. “Aku nggak pernah menuntut kamu untuk selalu sempurna tanpa cela, Gis. Mau cantik atau nggak, mau kulit kamu putih atau belang-belang sekali pun, kamu tetep istimewa buat aku.”
Giska mendengus tertawa. “Dasar gombal.”
“Aku serius, tahu!” Bima terkekeh kecil dan mencubit ujung hidung istrinya. “Aku nggak peduli gimana pun penampilan kamu. Aku cuma mau kamu selalu ada di sini, nemenin aku di setiap momen hidupku.”
Giska pun mengangguk. “Aku nggak akan biarin kamu kesepian lagi.”
Obrolan mereka berakhir dengan suasana yang menghangatkan hati. Giska sangat bersyukur. Apa yang dikatakan Naura ternyata benar. Gunung benar-benar menjadi obat yang mujarab bagi keretakan rumah tangganya. Ia telah berhasil menjembatani jurang yang selama ini memisahkannya dengan sang suami. ia juga telah mendapat jawaban atas kebimbangan hatinya.
Malam harinya, Giska mendadak terbangun. Telinganya samar-samar menangkap musik gamelan khas tanah Jawa di kejauhan. Ia sempat membeku sejenak. Semakin lama, suara tersebut semakin terdengar jelas. Begitu berhasil menggerakkan badan, ia langsung meraba ke samping untuk membangunkan sang suami. Namun, ia mendapati tempat di sebelahnya kosong.
***
Selanjutnya: A Way to Find You (Part 18)
Tinggalkan Komentar