Bab 3
Ruangan enam kali enam meter dengan desain simpel itu menjadi lebih ramai dari biasanya. Meja kayu jati oval dengan enam buah kursi yang terletak di tengah ruangan yang biasanya hanya diduduki Gayatri dan Gumilar saat jam makan, kini sudah bertambah dengan kehadiran Kirei dan juga Atta. Selagi Kirei dan Atta masih dalam cuti kerja, mereka sengaja memanfaatkan momen kebersamaan, salah satunya di meja makan.
“Ehm.” Gayatri mendehem saat melihat Kirei menyuapkan sepotong roti pada Attala.
“Mama,” Kirei segera menjauh dari Attala dan memperbaiki duduknya, sedangkan Attala berusaha menampakan raut wajah datar dan tenang seperti biasanya.
“Kalian sudah pernah menengok rumah baru kalian? Bagaimana sejauh ini persiapan unduh mantunya?” Gayatri meletakkan sepiring mangga potong yang dibawanya dari dapur.
“Rencana hari ini mau melihat ke sana, Ma. Mama mau ikut? Ibu dan Ayah juga berencana ke sana hari ini.” Jawab Attala pada Gayatri.
“Nanti Mama tanya Papa kalian dulu. Kalau ada waktu luangnya hari ini, kami menyusul ke sana,” tangan Gayatri cekatan mengambil sepotong roti dan mengoleskan mentega, kemudian meletakkan di piring suaminya.
Gumilar yang sudah rapi dengan setelan jas hitam berdasi biru tua segera bergabung dengan istri dan anak beserta menantunya di meja makan. Senyum sumringah terpancar dari wajahnya.
“Pa, nanti setelah pulang dari rapat deviden, Mama mau ke rumah Pak Nugroho, itu orang pintar yang dulu membersihkan rumah ini saat Papa terkena kiriman santet.” Gayatri meletakkan susu hangat di sebelah piring Gumilar.
“Untuk apa, Ma?” Gumilar mengambil sepotong roti dan memasukkan ke mulutnya.
“Rumah ini sepertinya butuh dibersihkan, Pa. Ular tadi malam itu bisa jadi pertanda buruk untuk keluarga kita, bahkan rumah tangga Kirei dan Attala,” jelas Gayatri.
Gumilar menghela nafas panjang. Dia berusaha tenang menghadapi situasi yang canggung ini. Baginya bukan hal baru lagi istrinya membicarakan hal seperti itu. Tapi, bagi Kirei dan Attala tentu akan memiliki persepsi yang berbeda. Jalan pikiran mereka berdua lebih rasional dan bisa dicerna akal daripada mempercayai hal mistis seperti itu.
“Bagaimana menurut kalian, Kirei, Attala?” Gumilar menatap anak dan menantunya itu sambil memberikan kode dengan kedipan mata, bermaksud agar mereka berdua bisa mengambil keputusan bijak agar tidak menyakiti hati Gayatri.
” Kalau menurut Kirei, kita ambil tindakan yang lebih rasional saja, menelusuri siapa yang sudah mengirim kado itu melalui pihak WO, Pa.” Kirei menatap Attala.
“Bagi Atta, lebih baik kita pakai kedua cara itu, Pa. Nanti Atta akan menghubungi pihak WO untuk menelusuri pengirim kado itu agar jelas motifnya. Kalaupun Mama mau memanggil orang pintar silakan, Ma.” Attala memberikan jawaban yang lebih menenangkan. Baginya sangat perlu untuk menghargai Gayatri sebagai ibu mertuanya sekaligus menjaga stabilitas rumah tangga yang baru dibangunnya agar tidak memiliki konflik antara menantu dan mertua.
Sudah banyak permasalahan yang terjadi antara menantu dan mertua yang berujung rusuh karena masing-masing tidak bisa menempatkan diri pada posisi yang bijaksana. Saling beradu ego dan kepandaian. Yang muda dengan segala alasan rasionalitas, sementara yang tua merasa sudah banyak pengalaman sehingga menjadi overprotective dan menuntut untuk dituruti.
Mendengar jawaban Attala, Kirei justru marah dan segera beranjak dari ruang makan. Tidak berapa lama terdengar suara pintu kamar ditutup dengan kasar. Gumilar menatap Attala dan memberikan kode agar segera menyusul Kirei ke kamar.
“Sudah biarkan dulu, Kirei memang begitu sifatnya. Ia selalu marah dan menolak kalau Mama memberikan saran. Anak perempuan selalu saja membuat jengkel.” Gayatri melanjutkan sarapannya.
Sementara itu Attala mengikuti Kirei ke kamar. Ia ingin memastikan istrinya baik-baik saja setelah perdebatan di meja makan tadi.
Kirei memang tidak suka dengan hal-hal berbau mistis. Baginya itu semua tidak bisa diterima akal sehat, tidak logis, diluar nalar. Meskipun, ia minim pengetahuan agama, tetapi ia tahu kalau percaya pada dukun itu adalah syirik alias menyekutukan Tuhan.
“Rei, kamu baik-baik saja?” Atta mengusap punggung Kirei yang terlihat turun naik karena terisak-isak.
Kirei tak merespon. Tubuhnya masih telungkup sempurna di atas kasur sembari sesekali terdengar suara sesenggukan.
“Ayolah, jangan seperti anak kecil lagi. Kita harus bisa mengimbangi sikap Mama. Tidak ada salahnya kita mendengar dan menerima saran beliau. Anggap saja sebagai bentuk hormat dan bakti kita. Apalagi saat ini kita berada di rumah beliau. Kelak kalau kita sudah pindah ke rumah kita sendiri. Kita bisa bebas mengatur kehidupan seperti yang kamu mau.” Attala mengusap rambut Kirei.
Kirei yang menyimak penuturan suaminya langsung berbalik badan dan mengambil sikap tegak. Dia melihat mata Atta dalam-dalam. Apa yang disampaikan suaminya memang benar. Tidak ada salahnya menerima saran Mama. Toh, sebentar lagi, ia akan tinggal di rumah sendiri dan bebas mengatur kehidupan. Itulah yang Kirei suka dari Atta, logis dan bisa menyeimbangkan sikap. Sehngga bisa menjaga suasana agar tidak larut dalam emosi yang berlebihan.
Tanpa menunggu lama, Kirei memeluk erat suaminya. Bahasa cinta suaminya memang luar biasa. Act of service-nya begitu terasa. Suaminya itu selalu bisa langsung mengambil tindakan yang tepat atas emosinya yang meledak-ledak ciri khas perempuan. Ia melanjutkan tangisnya dalam pelukan suaminya. Setelah puas, dia merenggangkan pelukan dan menatap suaminya dengan mesra.
Tinggalkan Komentar