Novel : Because Of You, Re! (Part 4)

Because of you Re 1 1

Because of you Re 1 1

Because of You, Re!
Part 4: Ghea

Malam setelah kunjungan orang tuanya ke kediaman Dito, Rere juga tidak memberikan tenggang waktu dirinya menginap di rumah lelaki itu. Rere tetap mau pulang dan sang suami mengiyakan asal lelaki itu diperbolehkan mengantar dan memastikan istrinya tidak terjadi apa-apa dalam perjalanan.

Setelah tahu bahwa istrinya menginap di hotel, Dito sempat menawarkan agar Rere tinggal di hotel miliknya atau jaringan bisnis penginapan tetapi wanita itu tegas tidak mau jika tempat yang ia huni terafiliasi dengan unit usaha Dito. Rere yang tidak nyaman menginap di hotel terus-terusan membuat perempuan itu akhirnya menyewa apartemen yang berada di dekat kantornya. Bangunan berlantai puluhan yang sudah dipastikan tidak ada koneksi dari papa dan juga suaminya. Kecuali kekuasaan mereka secara gila mengakuisi bangunan itu.

Rere tidak membuka peluang apapun membuat pernikahan yang sudah lewat satu bulan itu tidak membawa perkembangan hubungan apapun. Perempuan itu tidak luluh meski tahu bahwa hampir setiap pagi Dito akan menunggunya di depan kantor dan menepati janji untuk tidak menemui langsung atau memaksa melakukan interaksi meskipun sebatas komunikasi. 

Pintu ruang kerja yang dibuka dari luar membuat Rere mengangkat kepala yang sedari tadi tengkurap di atas meja kerja. Senyum ia suguhkan dengan ketika tahu siapa yang datang. Matanya juga melirik kemasan makanan.

“Bawa apaan?” tanya Rere pelan dengan dagu yang digerakkan menunjukkan bawaan sahabatnya, Ghea.

“Gue kira lo yang pesan. Ada ojol yang kirim makanan buat lo, karena udah bayar juga makanya gue bawa ke sini.”

Rere tidak menanyakan lagi karena dia tahu siapa yang mengirimkan makanan itu. rajin untuk mengirimkan makan siang melalui kurir. Memberikan informasi apa saja aktivitas lelaki itu termasuk beberapa hari yang lalu mengabarkan bahwa Dito akan melakukan perjalanan bisnis ke Mamuju. Dari pesan yang Rere baca namun tidak dibalas juga terdapat info bahwa lelaki yang belum lelah mendapatkan balasan atas perasaan itu hari ini sudah kembali ke Jakarta.

“Dari suami lo? Masih belum nyerah juga, ya!” kata Ghea sambil meletakkan makanan di sofa tamu ruangan Rere. 

“Gue sih antara mau apresiasi kegigihan, pertahanannya sama ngerasa dia goblok aja, berjuang bertahun-tahun cuma buat lo suka balik. Untungnya lo sahabat gue, sehingga gue tahu alasan apa lo worth it diperjuangkan.”

“Ngomongin yang lain deh, Ghe.”

“Eh, iya, mau datang ke pameran foto gue, nggak?” tanya Ghea sesuai tujuannya mengunjungi kantor sahabatnya yang terkadang dia ambil job freelance fotografer dari Rere.

“Undangannya mana? nanti gue kosongin jadwal khusus buat lo.”

“Thank youuu,” ucap Ghea dengan tulus.

Rere menangguk sebagai balasan atas ungkapan terima kasih yang diucapkan oleh sahabatnya. Jika setiap tahun Ghea mengikuti pameran fotografi untuk mempromosikan hasil jepretan kameranya, Rere belum pernah sekali pun absen hadir.

“Karya lo itu bagus-bagus. Pasif income dari lo jual foto udah masuk tiga digit tiap bulannya. Terus sekali event jepret harga lo enggak murah. Yakin nggak mau buat event pameran tunggal? Tim gue bisa kok bikinin itu buat lo. Gratis, lo cuma perlu bilang oke aja!”

“Nanti lah, Re!” Ghea pun kemudian menggunakan sofa yang ada di ruangan sahabatnya untuk berbaring sambil main hape. “Sorry, pas pindah ke apartemen baru gue nggak bantuin. Gimana, nyaman nggak di sana?”

“Aman, dekat sini juga, kan.”

“Lusa aku main dan temani kamu menginap di sana. Ini masih agak hectic.”

“Gak pa-pa.”

Kemudian keduanya sudah tida berbincang lagi. Ghea yang baru saja datang dari Malaysia dan langsung ke kantor Rere butuh untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali agenda fotografer itu untuk rapat terkait pameran yang akan diikuti. Sedangkan Rere dia sedang memikirkan kehidupannya yang sepertinya semerawut semenjak menikah. 

“Ghe!”

“Hmmm,” sahutan Ghea dengan mata yang terpejam.

“Almira sama Caca masih kontekan nggak, ya?” tanya Rere. Di kondisi seperti ini, ia butuh dukungan orang-orang yang memberikan cinta tanpa pamrih. Mereka adalah sahabat sejak masa SMA.

Ghea langsung membuka mata dan menatap wanita yang duduk di balik meja kerjanya. Kemudian, perempuan yang menekuni hobi foto akhirnya duduk seraya menerawang. “Kenapa kompakan pindah rumah juga dua orang itu.” gumam Ghea karena ia dan Rere putus kontak dengan dua sahabatnya yang lain. 

Rere tidak lagi menanggapi ucapan lirih Ghea. Apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah hal yang membuatnya kesal karena saat pulang ke Indonesia seperti ini tidak bisa bertemu langsung dengan Almira ataupun Caca.

“Eh, Re, apa kita cari info di kantor bokapnya Caca, ya? Baru deh, setelah bertemu Caca kita cari Almira,” tanya Ghea penuh antusias karena merasa menemukan petunjuk jejak dua manusia di muka bumi yang sudah seperti saudara.

“Kita agendakan itu setelah pameran yang lo ikuti itu selesai.”

Ghea mengamini usul rencana yang dikatakan oleh Rere. Jika memaksa dalam waktu dekat sepertinya tidak mungkin, karena sudah banyak kerjasama yang ditandatangi Rere begitu pula dengan Ghea yang perlu mempersiapkan karya dan printilannya di pameran foto.

Penulis novel, temukan cerita seru menemani hari-hari mu