Aku tengah sibuk memasukkan beberapa keperluan pribadi ke dalam tas kantor, ketika mataku menangkap bayangan perempuan yang sangat aku kenal. Saking kagetnya, aku hanya mematung menatap perempuan yang tengah berdiri di ambang pintu kamarku.
Rupanya bukan hanya aku yang kaget, melainkan perempuan itu juga. Dia mengamatiku dari atas sampai bawah dan kembali ke atas lagi seolah aku ini orang asing, bukan anak yang sudah dilahirkannya.
“Kamu mau ke mana, Karin?”
Aku menunduk, melihat tas hitam yang masih tergenggam erat di tangan kiriku, lalu beralih memandang Mama lagi
“Mau ke kantor. Ini, kan, hari kerja, Ma.”
“Arka bilang kamu cuti, ngapain ke kantor?”
“Cuti? Aku nggak mengajukan cuti.”
“Itu, kan, kantor punya kamu sendiri. Gimana, sih?” Mama benar. Tapi, kenapa rasanya ada yang salah?
“Kok malah bengong. Nggak mau peluk Mama? nggak kangen?”
Aku tertawa dan menghambur ke pelukannya.
“Kangen dong. Kangen banget. Tapi, Mama kenapa tiba-tiba datang?”
“Makanya punya ponsel tuh jangan dianggurin. Papa sudah tulis pesan dari semalam, tapi tidak kamu baca. Bahkan, setelah kami sampai pun belum juga kamu baca,” sela Papa yang aku lihat muncul dari balik punggung Mama. Aku hanya terkikik dan beralih memeluknya.
Kemarin setelah bersitegang dengan Arka, aku muntah beberapa kali karena bau kopi pekat yang dibuatnya. Akhirnya aku memilih tidur dan tidak melakukan apa pun. Arka menemaniku. Dia memijat kaki dan pundakku bergantian karena aku mengeluh lemas. Tulang dan ototku memang terasa melemah setelah aku memuntahkan semua yang kumakan dan minum. Aku sedikit mati rasa. Arka membantuku meminum obat antimual, tapi sepertinya efek obat itu tidak terlalu lama. Aku kembali muntah sampai rasanya pahit sekali. Sesi muntah itu berakhir saat aku sudah sangat lemas dan akhirnya tertidur.
Pagi ini aku merasa semuanya sudah membaik. Aku memutuskan untuk pergi ke kantor. Masalah Bu Hendrawan harus segera diselesaikan. Aku sudah janji dengan Tante Lani.
Sebenarnya, waktu mandi tadi aku sempat muntah, tapi Arka tidak mengetahuinya. Dia tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum Mama datang, aku sempat menelan obat antimual. Semoga Mama tidak menyadari keadaanku.
“Bawa oleh-oleh apa, nih?” todongku
“Enteng-enteng wijen, jenang Lasimun, kripik pisang Gunung Budeg, sama kerupuk rambak mentah. Mama sengaja bawa banyak buat dikasih ke Tante Lani juga besan.”
Setahun yang lalu, tepatnya tiga bulan sebelum acara lamaranku dengan Arka dilangsungkan, Papa memutuskan untuk mengajak Mama dan adikku Revan pulang ke kota kelahirannya di Tulungagung. Mereka menempati rumah nenek yang sudah lama kosong.
Setelah menikah, Arka mengajakku pindah. Dia membeli rumah di Banyumanik. Rumah besar Papa di kawasan Sriwijaya akhirnya dikontrakkan. Rumah itu terlalu besar untuk aku tempati berdua saja dengan Arka.
“Mama mau mengundang mereka buat makan malam.” Mama duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya mulai iseng membereskan apa saja yang dirasanya tidak rapi. Papa sendiri memilih ke luar dan sepertinya menemani Arka di dapur.
“Mama kenapa tiba-tiba ke sini?”
“Kamu lupa atau bagaimana kasih tahu Mama tentang undangan nikahan anaknya Tante Sha?” tanya Mama dengan mata menyipit.
Aku baru ingat kalau kemarin seharusnya aku datang ke pesta pernikahan anaknya Tante Sha, teman karib Mama. Undangan itu aku terima setengah bulan yang lalu, tapi karena kesibukan aku lupa memberi tahu Mama. Ditambah kabar kehamilanku yang membuat heboh semua orang semakin mengubur ingatanku tentang undangan dari Tante Sha.
“Mama baru ngeh sekarang. Kamu sampai lupa kasih tahu Mama soal undangan itu pasti karena lagi usaha banget, kan?”
Aku mendengkus. Kenapa ibu-ibu selalu ditakdirkan usil. Apalagi kalau menyangkut urusan anak perempuannya.
“Mama ngomong apa, sih?”
“Kenapa? Kehamilan itu berita bahagia. Ngapain harus kamu rahasiakan? Mertuamu juga senang mendengar kabar ini.”
“Mama dengar dari mana? Lagian hebat banget, ya, gosip itu bisa melintasi kabupaten, provinsi, sampai dengan selamat dari Semarang ke Tulungagung.”
Mama mencubit hidungku dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya menekan pahaku memakai telunjuk mungilnya. “Kamu, ya. Mama bukan dengar dari gosip, tapi dari Arka sendiri. Waktu kamu masih di rumah sakit dan tidur setelah diberi obat, Arka nelepon Mama. Dia bahagia banget. Mama bisa tahu dari caranya menyampaikan kabar kehamilanmu. Aduh Karin … kamu kok bisa-bisanya nggak menyadari kehamilan itu. Makanya, Mama maksa Papa buat cepetan ke sini. Mama mau memastikan keadaan kamu dan calon cucu Mama.”
Aku benar-benar tidak mengira kalau kehamilan ini membuat semua orang bahagia. Lalu bagaimana denganku? Bagaimana kalau mereka tahu aku belum siap? Bahkan aku dan Arka belum menemukan kesepakatan tentang apa dan bagaimana kami setelah adanya calon bayi ini. Aku masih muak dengan semua perlakuan Arka semenjak tahu aku hamil.
“Ada yang mau aku sampaikan, Ma.” Takut-takut aku melirik Mama yang tengah fokus memperhatikanku. “Sebenarnya, kami masih syok dengan berita kehamilan ini, Ma. Kami belum siap.”
Tinggalkan Komentar