Terdengar suara pintu pagar dibuka. Fadli dan ibunya sudah kembali. Fadli keluar dari mobil membawa sekantung kresek besar.
‘Rupanya mereka habis belanja juga. Pantas saja lumayan lama,’ batin Faik.
“Halo, Sayang,” sapa Fadli sambil mencium pipi istrinya. “Baunya wangi sekali.” Fadli menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya sambil tersenyum. “Sayang habis masak? Masak apa? Perutku langsung lapar.”
“Mama sama Mas Fadli belum makan? Sudah siang begini.” tanya Faik.
“Iya. Kamu kan enggak ikut kami, nak Faik. Tentu saja kami kepikiran kamu. Masak iya, kami berdua enak-enakan makan di luar sementara kamu sendirian di rumah,” Bu Atikah menjawab pertanyaan menantunya. “Ihsan mana? Tidur?”
“Iya, Ma. Ihsan tadi kan sudah agak rewel waktu Mama dan Fadli mau berangkat. Tidak lama setelah itu, dia sudah tidur,” jawab Faik.
Terdengar suara tangisan bayi dari kamar tamu. Sepertinya Ihsan tahu bahwa ia sedang dibicarakan.
“Mama dan Mas Fadli makan saja dahulu. Faik mau ke Ihsan dulu.” Faik bergegas ke kamar tamu untuk menyambut anaknya yang baru bangun tidur.
Saat kembali, ternyata Fadli sudah menata peralatan makan mereka bertiga di atas meja. Faik mendudukkan Ihsan di tempat duduknya. Ia sendiri mulai menuangkan bubur Ihsan ke sebuah mangkuk silikon untuk diberikan kepada Ihsan.
“Segini cukup, Sayang?” Fadli bertanya pada Faik sambil membawa sebuah mangkuk keramik. Ia ternyata berinisiatif mengambilkan makan untuk istrinya.
“Iya. Makasih, Sayang.” Faik tidak bisa tidak tersenyum dengan layanan yang diberikan suaminya.
Ihsan begitu bersemangat saat Faik meletakkan semangkok bubur untuknya. Ia daritadi sudah membuat mainan sendok makannya sambil menunggu ibunya selesai menyiapkan makanannya.
Saat makanannya benar-benar sudah tersaji di hadapannya, ia langsung bersemangat memakannya sendiri. Ia memang sudah terbiasa ikut duduk di kursi meja makan melihat kedua orang tuanya makan akhir-akhir ini. Ia juga ingin makan seperti mereka, namun, mereka tidak membolehkannya ikut makan.
Karena baru berlatih makan sendiri untuk pertama kalinya, banyak sekali makanan yang tumpah. Faik melihatnya sambil tertawa kecil. Ia membantu anaknya makan sambil memakan makanannya sendiri. Namun, ia tetap membiarkan Ihsan bila anaknya itu ingin menyendok sendiri makanannya.
Bu Atikah agak gemas dengan tumpahan-tumpahan makanan Ihsan yang tercecer ke mana-mana. “Aduh, Mama gemas. Sini, Ihsan Mama dulang saja.”
Bu Atikah sudah berdiri ketika Fadli mencegahnya. “Biarin aja, Ma. Namanya juga masih belajar makan, Ma. Justru bakal seram kalau tiba-tiba Ihsan bisa makan dengan rapi umur segini.”
“Mama tahu Ihsan memang sedang belajar makan, Fadli.” Bu Atikah menghembuskan napas dengan cepat. “Tapi, kalau makanannya yang tumpah segitu banyak, dia terus makan apa? Yang tumpah itu lebih banyak daripada yang masuk ke mulutnya. Kalau begitu terus, mana bisa ia kenyang? Kemarin-kemarin waktu Mama dulang, Ihsan sudah bisa makan cukup banyak lo. Nanti kalau perutnya lapar, Nak Faik yang bakal kesusahan mengurusnya karena Ihsan pasti akan rewel.”
Fadli dan Faik saling berpandangan. Faik akhirnya mengalah. Ia memberikan anggukan kecil pada Fadli agar membiarkan saja ibunya untuk melakukan yang ia inginkan.
Bu Atikah menghampiri dan menggendong Ihsan. Ihsan memberontak dan menangis. Ia sebal karena waktu makannya diganggu. Ia masih ingin bermain sambil belajar dengan makanannya.
Setelah dibujuk-bujuk dan diajak ke halaman oleh neneknya, Ihsan akhirnya berhenti menangis. Fadli dan Faik melanjutkan makan mereka hingga selesai. Faik kemudian segera menyusul ibu mertuanya di halaman untuk menggantikannya mendulang Ihsan makan. Ibu mertuanya itu belum menyelesaikan makannya sendiri.
Setelah selesai mendulang Ihsan (Faik sebenarnya agak terkejut karena Ihsan bisa menghabiskan isi mangkoknya terlepas dari makanannya yang sudah tercecer tadi), Faik memberikan Ihsan kepada Fadli yang sedang mencuci piring. Ia ingin menggantikan tugas suaminya mencuci karena tidak enak dengan ibu mertuanya.
Namun, sepertinya Ihsan punya pemikiran lain. Begitu digendong ayahnya, lagi-lagi ia menangis dan menggapai-gapai ibunya. Fadli berusaha membujuk Ihsan, tapi tidak bertahan lama. Ia menyerah pada rengekan anaknya dan akhirnya menyuruh Faik untuk berganti tugas dengannya.
Faik akhirnya menemani Ihsan bermain di lantai berkarpet di dekat pintu yang menghubungkan antara ruang makan dan kolam kecil di samping rumah mereka. Di sana, Faik duduk memangku Ihsan. Ia melihat anaknya tertarik pada suatu hal. Ihsan berusaha untuk menggapai benda tersebut. Ia meletakkan tangan dan lututnya di lantai dan berusaha untuk maju. Nyatanya, ia berhasil maju dua kali sebelum akhirnya jatuh menelungkup.
Faik langsung menolongnya. Rupanya Ihsan sendiri agak kaget sehingga merengek. Faik pun menenangkannya. Tidak lama, ia berusaha untuk merangkak lagi, namun masih gagal lagi. Ibunya yang melihatnya merasa sangat bangga dengan kegigihan anaknya.
Bu Atikah yang melihat ibu dan anak itu menghampiri mereka. Ia mengambil sebuah kotak berwarna dari kantung plastik belanjaan yang tadi dibawa oleh Fadli. Sepertinya Ihsan memang tertarik akan kotak berwarna cerah itu. Begitu kotak itu ada di tangan neneknya, Ihsan langsung menggerak-gerakkan tangannya berusaha untuk menggapainya.
1 Komentar