Matahari telah tenggelam di ufuk barat ketika truk yang dikendarai Dadang dan Santi tiba di mess karyawan yang mereka tempati. Setelah mematikan mesin kendaraan, Dadang bergegas turun untuk membuka pintu rumah, kemudian ia kembali menghampiri truk demi membantu Santi turun dari bangku penumpang.
Dalam keadaan normal, Santi tidak memerlukan bantuan sama sekali. Ia sudah terbiasa naik-turun truk pengangkut buah sawit yang dipercayakan pengelola perkebunan kepada suaminya itu. Namun, keadaannya kini berbeda, kesehatan Santi belum sepenuhnya pulih setelah menjalani proses persalinan secara tradisional tiga hari yang lalu. Selain itu, kain panjang yang dipasang secara melilit dari bawah dada hingga ke mata kaki juga membuatnya sulit melangkah.
Hal pertama yang Dadang lakukan begitu memasuki rumah adalah menyalakan lampu, lalu meletakkan bayi mereka di atas tempat tidur setelah memastikan tidak ada semut ataupun kotoran di sana.
“Aku harus menemui Pak Bos sekarang untuk membicarakan cutiku besok,” ujar Dadang seraya mengatur posisi kipas angin supaya tidak mengarah langsung ke bayi mereka. “Cuma sebentar, kok,” tambahnya lagi.
Santi yang sedang memasang kelambu, hanya mengangguk.
“Sebentar lagi Magrib, usahakan kalian berdua jangan sampai tertidur. Ingat nasihat Nyai Lompu!” pesan Dadang. Ia mengecup kening istrinya, kemudian bergegas pergi.
Tentu saja Santi tidak lupa pada wasiat Nyai Lompu, paraji yang membantu proses persalinannya.
“Perempuan nifas dan bayi yang belum genap empat puluh hari memiliki aroma khas bagi Kelawih, layaknya aroma makanan yang sangat menggoda dan menggiurkan,” begitu kata Nyai Lompu kemarin dalam bahasa daerah yang kental.
“Kelawih? Apa itu Kelawih, Nyai?” tanya Santi setelah berkali-kali kata itu diucapkan Nyai Lompu dalam ceritanya. Sebagai seorang perantau yang belum lama tinggal di sana, Santi merasa asing dengan kata itu.
Dari keterangan Nyai Lompu, Santi mengetahui bahwa Kelawih merupakan makhluk supranatural kepercayaan masyarakat setempat. Makhluk itu menyukai darah nifas sebagai makanan favoritnya, sementara bayi yang baru lahir adalah mainannya. Berdasarkan keterangan Nyai Lompu pula, baik ibu nifas maupun bayi yang pernah diganggu Kelawih tidak akan selamat.
“Kalau bukan mati, pasti menjadi gila,” kata perempuan berusia tujuh puluh tahun itu.
Nyai Lompu juga menyebutkan beberapa nama perempuan dari kampung itu yang pernah menjadi korban Kelawih. Salah seorang di antaranya—yang masih hidup tetapi terganggu mentalnya—bernama Tami.
“Makhluk itu menghisap langsung darah nifas dari liang Tami. Kala itu Tami ditinggal sendirian di rumah, ibu dan suaminya membawa bayi Tami berobat ke kota kecamatan, sedangkan ayahnya sedang menghadiri kenduri di rumah tetangga. Ayah Tami-lah yang memergoki aksi makhluk itu, sedangkan Tami sudah tak sadarkan diri,” tutur Nyai Lompu. “Sejak peristiwa itu, Tami sering tertawa dan menangis sendiri. Pernah suatu kali orang tuanya mendapati Tami hampir memakan bayinya sendiri.”
Mengingat kembali cerita itu, seketika menghadirkan visualisasi mengerikan di benak Santi. Perempuan itu bergidik. Bulu romanya meremang. Kemarin, ketika pertama kali mendengarnya di rumah Nyai Lompu, Santi tidak merasakan takut secara berlebihan. Namun, saat ini situasinya berbeda. Ia sedang berada di sebuah rumah di tengah perkebunan sawit, hanya berdua dengan bayinya yang baru berusia tidak lebih dari tiga hari.
Berbeda dengan mess para karyawan lajang yang berbentuk bedeng gandeng dan ditempati berkelompok, pihak pengelola perkebunan memberikan fasilitas khusus berupa rumah tunggal bagi pekerja yang membawa serta keluarganya. Selain berada di luar kompleks mess, rumah-rumah itu letaknya berjauhan satu sama lain dan menyebar di sepanjang area perkebunan.
Tiba-tiba listrik padam. Santi pun terkesiap dari lamunannya. Perlahan-lahan, ia mencoba melepaskan diri dari bayinya yang sedang menyusu. Bayi itu hanya menggeliat sedikit, tetapi tidak terjaga dari tidurnya.
Dengan meraba-raba, Santi berusaha menemukan lilin yang biasa ia simpan di dalam laci lemari. Puas ia mencari, sampai-sampai dikeluarkannya isi laci satu per satu dan memanfaatkan pemantik api sebagai penerangan, tetapi lilin itu tidak didapatkannya. Padahal, ia yakin masih memiliki beberapa pak sebagai stok.
Terlintas di pikiran Santi tentang kemungkinan suaminya telah memindahkan lilin-lilin itu ke tempat lain. Namun, ia tidak benar-benar yakin. Laci itu memang mereka khususkan sebagai tempat menyimpan lilin, pemantik api, senter, dan anti nyamuk bakar. Kalaupun Dadang ingin memakai laci tersebut untuk keperluan lain, tentu yang dipindahkan adalah keseluruhan barang yang ada di dalamnya, bukan hanya lilin.
Santi mendesah. Ia menyesali ponselnya yang tidak dapat dimanfaatkan karena kehabisan daya. Selama tinggal di rumah Nyai Lompu, perhatiannya terfokus pada segala sesuatu yang berkaitan dengan persalinan dan bayi baru lahir. Ia bahkan lupa—atau lebih tepatnya tidak sempat—mengurusi benda pipih itu. Hal yang sama juga terjadi pada senter yang ada di dalam laci.
Bravo, Kak Juni
Thank’s kunjungannya, Bang ????
Ngeri kak Jun. Nggak kebayang tinggal ditengah perkebunan terus ada kejadian kek gitu ????
Iya, Ka. Untung kita nggak tinggal di perkebunan, ya ????
Kuy, ikutan nulis! Katanya mau njajal kemampuan ????
Menegangkan. Jadi takut tinggal sendirian kalo malam ????