Atas Pilihan Orang Lain
Suasana malam itu, terasa lebih sepi dari biasanya. Ayyara terduduk sendirian di kursi rotan yang berada di balkon kamarnya. Setelah benar-benar sehat, dia kembali menempati kamar yang terletak di lantai dua rumah tersebut.
Hujan tadi sore, menyisakan semilir angin dingin yang cukup menusuk tulang. Dia pun merapatkan sweater rajut yang membungkus badannya. Beruntung, Ayyara masih bisa mencium aroma petrichor yang menguar di udara. Wangi khas yang tercipta saat hujan turun di lahan kering. Bau alami yang menenangkannya dan mampu meredakan gejolak di dalam dada.
Perempuan dua anak ini kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas meja di depannya. Dia membuka ruang obrolan dengan seseorang di aplikasi whatsapp, lalu menelpon orang tersebut.
Nada sambung berdering beberapa lama, Ayyara pun masih menunggu dengan sabar. Sampai kemudian, suara seseorang mengucapkan salam dari seberang dan dia menjawabnya dengan suara sedikit bergetar.
“Hai, Ayy, apa kabar kamu?” spanya kemudian. “Maaf, ya … kita belum sempat jengukin kamu.” Terdengar suara penyesalan dari seberang.
“Nggak apa-apa, Fath … yang penting doanya saja. Aku juga ngerti, kok.” Suaranya kian bergetar karena menahan desakan air mata yang tak sanggup lagi dia tahan.
“Ayy, ada yang bisa aku bantu?” Fathiya langsung menawarkan bantuan tanpa bertanya kenapanya. Seakan dia tahu kalau sepupunya ini sedang tidak baik-baik saja.
Isakan halus pun mulai terdengar, suasana di sekitar menjadi hening seketika. Fathiya bersabar menunggu sampai Ayyara siap untuk berbicara lagi.
“Fath, aku mau cerai saja sama Mas Aby,” ucapnya lirih.
Â
“Astaghfirullah, Ay … kamu tenang dulu, ya! Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan rumah tanggamu, tapi please … jangan terburu-buru mengambil keputusan.” Fathiya berusaha bersikap tenang. “Minggu depan aku pulang ke Indonesia, kita bisa ngobrolin ini baik-baik. Sekarang, kamu sabar dulu, banyakin doa sama Allah … minta diberikan petunjuk terbaik-Nya. Oke?”
Â
Ayyara mengangguk seakan sepupunya itu ada di hadapan. “Iya, makasih Fath. Aku tutup dulu telponnya, ya. Salam buat Mas Tafa.”
Dia mengakhiri panggilan tersebut dengan salam. Fathiya itu sekarang, tengah berada di Malaysia karena suaminya ada urusan pekerjaan di sana.
Ayyara kembali termenung seorang diri. Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00, tapi belum ada tanda-tanda Abyan akan pulang. Dia pun kemudian membuka ruang obrolan dengan suaminya dan mengirimkan beberapa pesan.
Ayyara: Mas, lagi di mana? Masih di kantor?
Ayyara: Aku masih nggak percaya dengan ucapanmu tadi sore.
Ayyara: Mas, aku mau maafin kamu asalkan janji buat tinggalin perempuan itu!
Ayyara memandangi layar ponselnya untuk beberapa saat, tidak ada respon dari sang suami. ‘Mungkin urusannya belum kelar,’ hiburnya dalam hati.
Sampai kemudian, centang di pesan itu berubah menjadi biru, tapi balasannya tak kunjung datang. Dia menunggu untuk waktu yang cukup lama, tetap tak ada jawaban.
Wanita 27 tahun ini pun memutuskan untuk tidur lebih awal tanpa menunggu lagi kepulangan sang suami. Sementara Abyan masih melanjutkan pembicaraannya dengan Hardi di ruang meeting.
“Jadi, tindakan lo, apa?” tanya Hardi ketika membaca pesan terakhir dari Ayyara.
Abyan tidak langsung menjawab, matanya melirik ke arah jendela ruangan. Dia melihat ada bayangan melintas. “Kita lanjut ngobrolnya di ruangan gue aja, Har!” Lalaki ini langsung berdiri dan melangkah keluar ruang meeting. Hardi mengikutinya dari belakang tanpa banyak protes.
Pintu langsung tertutup rapat begitu keduanya memasuki ruangan Abyan. Mereka kembali duduk di sofa tamu yang ada di sana saling berdampingan. Posisi Abyan berada di ujung sofa dengan sedikit memiringkan tubuhnya sehingga terlihat lebih menghadap ke arah Hardi.
“Barusan kita habis ngomongin urusan perusahaan dia, jadi … lo tahu kan, buat saat ini, nggak mungkin gue ninggalin Lidya.” Abyan menjawab pertanyaan Hardi sebelumnya, yang diikuti anggukan kepala dari sahabatnya itu.
“Apalagi sekarang, kita nggak cuma sebagai konsultan bisnisnya saja, tapi juga jadi investor di perusahaan itu.” Abyan menambahkan jwabannya.
“Bukan kita, tapi tepatnya itu lo karena gue tahu pasti, ini uangnya dari pribadi lo sendiri bukan milik perusahaan.” Hardi menanggapi ucapan Abyan. “Cuma, gue nggak expect aja kalau alasannya sejauh ini.”
Abyan menyipitkan matanya memandang ke arah Hardi. “Maksud lo?”
“Ya ini, gue baru tahu alasan lo berinvestasi di perusahaan Lidya itu karena nggak cuma prospek bisnisnya yang bagus, tapi karena lo mau nikahin dia juga,” jawab Hardi sambil balik menatap Abyan yang terlihat memalingkan wajahnya.
“Awalnya nggak ada niatan begitu, Har … tapi gue udah janji depan ibunya sebelum meninggal kalau gue nggak bakalan ninggalin Lidya terpuruk sendirian.” Abyan menjawab sambil berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya.
“Tapi apa iya sampai harus—” Hardi tidak menyelesaikan kalimatnya karena dering ponselnya berbunyi. Dia lihat nama istrinya muncul di layar. Segera dia angkat panggilan tersebut.
“Iya, Sayang … aku baru selesai meeting-nya.” Hardi terlihat fokus mendengarkan ucapan istrinya di seberang. “Nggak kok, ini sudah mau otw pulang. Kenapa?” Hardi kemudian menoleh ke arah Abyan yang masih duduk di kursi kerjanya. “Ini, ada di depan aku.”
Abyan menggerakkan alisnya seakan bertanya, “Kenapa?”
“Nggak tahu juga. Kenapa memang?” tanya Hardi pada istrinya. “Oh, oke, entar aku bilangin.”
“Lo masih mau di sini?” tanya Hardi pada Abyan begitu sambungan telepon terputus.
Abyan membuka laptopnya. “Kayaknya iya, ada beberapa file yang harus gue tindak lanjuti,” ujarnya beralasan tanpa menoleh ke arah sahabatnya.
“Barusan Manda tanya, lo masih di kantor apa nggak? Katanya Ayya telpon dia tadi.” Hardi menyampaikan pertanyaan titipan dari sang istri.
Abyan melihat sekilas ke arah Hardi, lalu kembali fokus pada layar monitor. “Oh, oke. Nanti gue kabarin Ayya.”
“Oke, deh. Gue cabut duluan, ya!” Hardi tanpa berlama-lama langsung pergi meninggalkan ruangan.
Abyan menatap kepergiannya dengan hati gelisah. ‘Sebenarnya apa yang lagi kamu hindari Aby?’ batinnya bertanya pada diri sendiri.
Lelaki itu menarik napas dalam-dalam, lalu pandangannya kembali ke layar monitor. Dia mulai menggerakkan tetikus mencari file yang dia inginkan. Sebelum mengklik file tersebut, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya.
Abyan pikir, itu pesan dari Ayyara, tapi ternyata nama Lidya yang muncul di pop-up message-nya.
Lidya: Gimana, Mas … jadi meeting?
Abyan langsung membalas chat tersebut.
Abyan: Jadi. Ini baru beres.
Tidak membutuhkan waktu lama, pesan langsung terbaca dan terlihat tulisan typing di bawah nama kontaknya.
Lidya: Berarti, kamu masih di kantor sekarang?
Abyan belum sempat membalas karena Lidya langsung melakukan panggilan video. Begitu sambungan terhubung, Abyan langsung memalingkan wajahnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang kala melihat Lidya dalam balutan baju tidur berbahan satin dengan bagian depannya sedikit terbuka.
“Li, telpon suara aja, ya! Nggak enak, masih ada Hardi di sini,” ujar Abyan berbohong. Lalu dia mengubah ke mode panggilan suara. Entah kenapa, ada perasaan bersalah dalam hati Abyan kala melihat Lidya dalam tampilan seperti itu.
“Maaf, Mas, aku nggak tahu kalau di sana masih ada Mas Hardi.”  Terdengar suara penyesalan dari Lidya.
“Iya, nggak apa-apa. Kenapa, Li?” tanya Abyan sambil berulang kali menarik napas dan menghembuskannya perlahan guna meredakan debaran di dalam dada.
“Gimana, niatanku ikut festival makanan itu di ACC, nggak?”
“Kita tunggu beberapa hari, ya! Soalnya kami perlu mengkaji lebih detail sebelum memutuskan ikut daftar atau tidak, guna meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi.”
“Oh, oke. Makasih banyak untuk semua dukungan kamu.” Ucapan Lidya terdengar tulus. “Oh, iya, kamu sudah makan, Mas?”
Â
Abyan memejamkan mata mendengar suara lembut Lidya. Tangannya mencengkram kuat tetikus yang ada dalam genggaman sehingga tanpa sengaja file yang tadi dia cari tertekan. Dia terkesiap begitu membuka mata, wajah Ayyara tengah menggendong Zayyan sesaat setelah melahirkannya, muncul di layar monitor.
“Li, sudah dulu, ya. Masih ada yang harus aku kerjakan.” Abyan kembali berbohong. Dia tak sanggup lagi menghadapi situasi seperti itu. Satu sisi terbuai dengan suara dan perhatian Lidya, tapi di sisi lain dia pun merasa bersalah pada Ayyara dan kedua buah hatinya.
Sambungan telepon terputus. Mata Abyan masih terpaku pada layar monitor. Tangannya perlahan mengusap pipi Ayyara yang ada di layar. Bagaimana bisa dia mengkhianati wanita yang sudah berjuang untuknya tanpa pamrih.
Ingatan Abyan pun melayang ke awal-awal perjumpaannya dengan Ayyara. Tepatnya 11 tahun lalu, saat dirinya baru saja naik ke kelas 2 SMA.
“Mulai pekan depan kita semua akan pindah ke Bogor,” ujar Bu Gayatri malam itu.
“Kok, tiba-tiba?” protes Abyan yang sebelumnya tidak pernah ada pemberitahuan pada dirinya terkait pindah rumah ini.
“Nggak tiba-tjba, kok. Mama sama Papa sudah merencanakan ini dari setahun lalu. Ternyata sesuai rencana, bisnis Papamu berkembang pesat dan mau nggak mau kita harus pindah ke sana.”
“Terus, kenapa Mama nggak pernah cerita ke aku?”
“Ya, buat apa? Kamu juga tahu, toh … pendapatmu itu nggak akan mengubah keputusan,” jawan Bu Gayatri enteng sekali.
“Tapi setidaknya, aku kan bisa siap-siap. Ada beberapa kegiatan aku yang melibatkan teman-teman. Kalau aku pergi gitu aja, kan kasihan mereka.” Abyan mencoba mengutarakan isi hatinya.
“Halah, gayamu, Yan … nggak usah terlalu berlebihan. Pokoknya, kamu nurut saja apa yang Mama sama Papa katakan! Semua demi kebaikanmu, kok.” Bu Gayatri seperti biasa akan memutuskan semua hal terkait kehidupan Abyan, tanpa bertanya pendapat putra tunggalnya itu terlebih dahulu.
Abyan hanya bisa menatap nanar pada sang bunda yang berjalan keluar dari kamarnya. Ada rasa sakit di dalam dada, tapi dia merasa sangat kesulitan untuk mengutarakannya.
‘Sampai kapan aku harus menjalani kehidupan atas pilihan orang lain?’
Tinggalkan Komentar